‘Sultana’s Dream’: Bagaimana Jika Dunia ini Tak Pernah Mendiskriminasi Perempuan?
Sultana’s Dream adalah film feminis yang kau harus tonton.
Tidak ada yang lebih mengerikan dari lahir sebagai perempuan. Bahaya selalu mengintai mereka layaknya bayang-bayang yang akan terus bersama dengan manusia sampai ia mengembuskan nafas terakhirnya. Inés perempuan berdarah Spanyol menyadari fakta ini saat ia mulai tumbuh dewasa. Kejadiannya bermula saat ia diam-diam dikuntit oleh seorang laki-laki ketika sedang menunggu ayahnya di taman kota.
Laki-laki itu menguntitnya bagai hewan buas yang tengah mengintai mangsa. Tak peduli ada berapa banyak orang di taman itu, sang predator dengan mata merahnya terus mengintai Inés. Ia besembunyi di balik pepohonan, menunggu Inés menurunkan kewaspadaannya.
Inés pun diliputi kekhawatiran dan ketakutan. Bahkan setelah hari penuh kengerian itu resmi berakhir, mata-mata predator terus menghantui tiap langkah Inés. Inés telat menyadari bahwa sebagai perempuan ia hidup selayaknya dalam kurungan bersama hewan-hewan buas. Ia senantiasa diliputi kegelisahan setiap ingin pergi keluar rumah.
Dalam dunia penuh tatapan para predator ini, suatu hari ia tak disengaja menemukan salah satu karya Begum Rokeya, penulis perempuan kelahiran Bangladesh di toko buku. Dengan sampul berwarna merah pekat, karya Begum Rokeya yang berjudul berjudul Sultana’s Dream langsung menarik perhatian Inés.
Dalam karya yang disebut sebagai salah satu fiksi feminis berpengaruh di kesusastraan India, Begum Rokeya bercerita tentang dunia Impian para perempuan bernama Ladyland. Di Ladyland, perempuan bisa hidup bebas lepas dari kekhawatiran dan ketakutan. Tak ada satu pun laki-laki terlihat di ruang-ruang publik.
Mereka semua dikunci di dalam rumah, membuat perempuan bisa lebih leluasa pergi keluar tanpa hijab dan kapan saja bahkan malam hari sekalipun. Gelak tawa perempuan yang saling bercengkrama di ruang-ruang publik yang tak pernah mereka jamah pun jadi pemandangan biasa. Mereka banyak jadi ilmuwan, pedagang sukses, dan pemimpin di pemerintahan.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Film Tentang Feminisme Selain ‘Barbie’
Keindahan dunia yang dibangun Begum Rokeya sontak membuat Inés bertanya-tanya. Adakah sebenarnya secuil utopia dari Ladylike yang benar-benar hadir di dunia ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, Inés lalu memulai pencariannya. Pencarian Inés inilah yang kemudian tertuang sempurna dalam film animasi Sultana’s Dream karya Isabel Herguera, perempuan sutradara asal Spanyol.
Dengan menggunakan berbagai teknik artistik, termasuk cat air, guntingan kertas, dan gaya gambar 2D, film ini dengan ciamik memberikan kontras sempurna antara dunia utopia dan realitas kehidupan perempuan masa kini.
Mendambakan Rasa Aman
Herguera dalam wawancaranya bersama The Indian Express mengungkapkan ide awal dari debut film panjangnya ini lahir pada 2012. Saat itu Herguera sedang melakukan perjalanan ke India dan berteduh di sebuah galeri seni. Di sana, sebuah sampul buku menarik perhatian Herguera. Buku itu bersampul merah yang menggambarkan seorang perempuan mengemudikan pesawat luar angkasa. Buku tersebut adalah Sultana’s Dream karya Begum Rokeya yang dilengkapi dengan biografi sang penulis feminis di sampul belakang.
Begum Rokeya atau Roquia Sakhawat Hussain lahir pada 1880 di keluarga muslim kaya namun sangat konservatif. Sejak lahir hidup garis hidupnya telah ditetapkan, yakni menjadi istri dan ibu. Hal ini membuat Rokeya dijauhkan dari akses pendidikan formal. Tetapi karena memiliki rasa haus yang tak terpuaskan akan pengetahuan, ketika seluruh anggota keluarganya tidur, ia akan menyelinap ke kamar kakak laki-lakinya, Ibrahim Shaab, untuk belajar.
Di usia 16 tahun, Rokeya dinikahkan dini. Beruntung, suaminya tak membatasi keinginannya untuk belajar. Malahan dengan status pernikahannya ini ia mendirikan sebuah sekolah untuk anak perempuan Muslim dan mulai menulis, baik fiksi maupun non-fiksi. Dari sinilah kemudian Rokeya mulai banyak terlibat dalam advokasi hak-hak perempuan termasuk akses terhadap pendidikan formal dan kemandirian ekonomi.
Sosok Rokeya dan mimpi utopisnya yang tertuang dalam Sultana’s Dream sontak membuat Herguera terpukau. Ia lalu bertekad untuk membuat film yang terinspirasi dari sosok Rokeya dan karyanya tersebut. Namun sayangnya terinspirasi saja tidak cukup. Herguera paham betul riset mendalam juga dibutuhkan agar film yang digarapnya nanti tidak kopong.
Baca Juga: Superhero Perempuan dan Problematika Representasinya
Herguera lalu melakukan riset lapangan dengan menyelenggarakan berbagai lokakarya di India dan Spanyol bersama para perempuan dengan berbagai kelompok usia. Dari lokarya ini ia akhirnya menemukan fakta menarik. Ternyata dari mana pun perempuan berasal, mereka punya kerinduan yang sama akan rasa aman.
“Dalam lokakarya ini, ketika saya bertanya kepada para perempuan apa yang akan mereka lakukan jika mereka adalah laki-laki, jawaban yang umum diberikan adalah mereka ingin keluar setelah matahari terbenam dan merasa aman,” kata Herguera.
Sentimen yang bersifat univerasal ini kemudian jadi alasan kenapa dalam film Sultana’s Dream banyak berpijak pada penggambaran rasa takut dan was-was Inés terhadap tatapan laki-laki. Penggambaran ini ada yang diperlihatkan secara eksplisit, tapi ada pula yang bersifat metafor.
Penggembaran eksplisitnya bisa terlihat dari penggunaan warna gelap dan segerombolan laki-laki yang menatap ke arah Inés seraya berbisik-bisik hampir setiap Inés menginjakkan kaki ke ruangan publik. Mereka hadir di kedai kopi, transportasi umum seperti bus, pasar, hingga masjid yang membuat penonton juga bisa merasakan perasaan tidak nyaman atau gelisah yang terus menghantui Inés.
Jika tatapan laki-laki menimbulkan rasa gelisah dalam penggambaran eksplisitnya, dalam metafora tatapan itu berubah menjadi sebuah agresi yang bisa menghilangkan nyawa. Dalam satu adegan digambarkan Inés dan Sudanya tiba-tiba diserang oleh segerombolan monyet jantan saat naik becak motor.
Para monyet jantan ini hanya menyerang mereka berdua. Sang supir yang kebetulan adalah laki-laki tidak jadi sasaran. Karena serangan para monyet jantan ini, sang supir pun meminta Inés dan temannya menutup seluruh badan dengan kain hitam. Ia mengatakan kain itu bisa melindungi mereka dari serangan para monyet.
Benar saja ketika mereka berdua “menghilang” dari indra penglihatan para monyet-monyet ini, nyawa keduanya jadi kembali aman. Pasca kejadian ini, teman Inés berceletuk setidaknya perempuan aman di Eropa, tetapi Inés menjawab bahwa mereka tidak aman di manapun di dunia.
Kejadian penyerangan ini menyisakan getir bagi para penonton. Pasalnya sebelum ini penonton disuguhkan dengan satu percakapan antara Sultana dan Sara di dunia utopis, Ladyland. Dalam adegan di mana Sultana mempertanyakan tentang absennya kehadiran laki-laki di ruang-ruang publik, Sara menjelaskan laki-laki telah berada di tempat seharusnya mereka tinggali sejak lama.
Selama ini perempuan selalu ketakutan dan khawatir tiap pergi keluar rumah karena kehadiran laki-laki yang bersikap layaknya binatang. Mereka cuma menganggap perempuan jadi objek seksual. Untuk menyelesaikan masalah ini pemerintah Ladyland melakukan tindakan yang dianggap paling rasional. Dibandingkan dengan menyuruh perempuan untuk terus waspada dan menjaga diri mereka sendiri, laki-laki dikurung di dalam rumah.
“Tidak aman selama ada laki-laki di jalanan, juga tidak aman jika ada binatang buas memasuki pasar. Di Ladyland, kamu tidak akan melihat laki-laki di jalanan. Kami mengurung para laki-laki di dalam rumah! Bukankah itu menyenangkan?” kata Sara riang.
Perempuan yang Hingga Kini Belum Mendapatkan Kesetaraan
Bukan cuma soal pendambaan rasa aman saja, Sultana’s Dream karya Herguera juga berusaha menguliti norma-norma gender hingga stigma yang membuat perempuan hingga kini belum bisa mencicipi kesetaraan. Dalam satu adegan, Inès mengenakan kerudung putih untuk mengunjungi sebuah masjid bersama Amar, kekasihnya yang eksentrik. Saat sedang menelusuri bangunan masjid, perhatian Inès teralihkan saat ia mendapati dirinya dikelilingi oleh lautan perempuan bertopeng dan berkerudung panjang hitam hingga menutupi seluruh badan dan menggendong bayi.
Pemandangan para perempuan itu begitu kontras dengan para laki-laki di masjid itu yang sibuk dengan urusan publik mereka masing-masing. Ada pula yang dengan leluasa masuk dan keluar masjid sedangkan perempuan-perempuan tidak bisa melakukan hal yang sama. Seperti Rokeya, dalam adegan itu Herguera nampaknya ingin menyuguhkan realitas beserta kritikannya terhadap pardah atau purdah.
Mengutip dari buku berjudul A Brief History of India (2006) adalah sebuah praktik keagamaan dan sosial terkait pemisahan gender di antara beberapa komunitas Muslim dan Hindu. Ia telah ada di antara kelompok-kelompok agama di India sejak zaman kuno dan semakin meningkat dengan kedatangan Islam. Di era modern khususnya, purdah masih banyak dilakukan di berbagai negara Islam.
Praktik ini memiliki dua bentuk, yaitu pemisahan gender secara sosial dan keharusan bagi perempuan untuk menutupi tubuh mereka. Dua bentuk ini membuat purdah jadi praktik yang sangat efektif dalam membatasi mobilitas dan perilaku perempuan sehingga mereka tidak bisa berpartisipasi di ruang-ruang publik.
Baca Juga: Review ‘She-Hulk: Attorney at Law’: Narasi Perempuan yang Menemukan Rumahnya
Penggambaran praktik purdah semakin kental terlihat saat Inés kemudian pergi ke Vrindavan, kota Dewa Krsna, yang juga dikenal sebagai Kota Janda. Di sini, mereka menemukan bagaimana status janda membuat para perempuan ini semakin tereklusi dari ruang-ruang publik dan hanya bisa bergantung pada satu sama lain untuk bertahan hidup. Akibatnya, baik Inés dan Sudaya tidak luput menyadari adanya tembok budaya yang menghalangi mereka untuk bertukar pikiran dengan para janda berjubah putih tersebut.
Dalam sebuah riset berjudul Purdah And The Vulnerabilities Among The Widowed Garments Workers: A Gender Perspective (2018) dikatakan status sosial perempuan ditentukan oleh keterikatan pernikahannya dengan laki-laki, sehingga ketika status mereka tidak terikat dengan laki-laki maka perempuan janda jadi janda rentan mengalami diskriminasi berlapis.
Di tengah kelompok masyarakat yang masih mengamini purdah, mereka dipaksa untuk mempertahankan purdah yang sebenarnya jadi penghalang utama mereka meraih kemandirian ekonomi. Dan karena tidak dapat berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi yang menguntungkan atau tidak dapat mengekspresikan diri mereka dengan mudah untuk mempertahankan purdah, para janda pun tertinggal dalam hal jaminan sosial, keberlanjutan ekonomi, dan kesetaraan budaya.
Hal yang begitu kontras terjadi sebaliknya dalam Ladyland. Kemandirian ekonomi perempuan tercapai dan bebas jadi apa saja di ruang-ruang publik karena eksistensi mereka tidak pernah dibatasi lewat keterikatan status dengan laki-laki. Kontrasnya realitas hidup perempuan dan dunia utopis Sultana’s Dream pada akhirnya memberikan kita kesimpulan yang cukup menyedihkan. Bahkan hingga sekarang perempuan belum bisa mencicipi dunia yang setara.