Perguruan tinggi di Indonesia dipaksa kreatif mengingat dana pengembangan infrastruktur pendidikan tinggi dari anggaran pemerintah (APBN) relatif minim. Akhirnya banyak yang mengambil jalan pendaan alternatif berupa kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) atau public-private partnership (PPP).
Sejak 2005, KPBU telah digagas untuk mengisi kesenjangan antara kebutuhan dan kemampuan fiskal pemerintah Indonesia dalam menyediakan infrastruktur publik yang penting untuk pembangunan nasional.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menyampaikan bahwa dari kebutuhan investasi infrastruktur sebesar Rp6,4 kuadriliun yang ditetapkan di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024, hanya sebesar Rp2,4 kuadriliun (37 persen) saja yang dapat didanai oleh pemerintah.
Meskipun regulasi KPBU telah tersedia sejak 2005, perluasan pemanfaatan KPBU untuk infrastruktur sosial—termasuk pendidikan tinggi—baru ditetapkan pada tahun 2015 melalui Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang KPBU dalam Penyediaan Infrastruktur.
Hingga kini, belum ada perguruan tinggi yang berhasil memulai proyek KPBU. Bahkan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH) yang memiliki otonomi untuk mengelola keuangan, mengalami banyak kesulitan dalam mempersiapkan proyek KPBU. Dari sepuluh proyek yang disiapkan melalui studi pendahuluan (preliminary study) pada 2018, seluruhnya berhenti di tahap penyiapan.
Memang, ada satu usulan proyek KPBU baru di Universitas Padjadjaran. Tapi kita perlu belajar dari pengalaman agar dapat mengatasi kendala dan tantangan dalam menerapkan KPBU di pendidikan tinggi sehingga usulan ini dapat berhasil. Kendala tersebut mencakup kurangnya pemahaman tentang KPBU, struktur kerja sama kurang menarik, dan kendala regulasi.
Baca juga: #SetopLiberalisasiKampus: Jebakan Baru itu Bernama ‘Student Loan’
1. Kurangnya Pemahaman soal Manfaat KPBU
Berbeda dari pengadaan barang dan jasa (PBJ) konvensional yang penyiapannya difokuskan pada nilai penyediaan aset di awal (capital expenditure), proyek KPBU juga mempertimbangkan biaya operasional dan pemeliharaan (operational expenditure) selama masa kerja sama.
Sehingga, untuk membandingkan kelayakan proyek KPBU dengan PBJ konvensional, kita perlu memahami konsep biaya keseluruhan selama masa layan aset fisik (life-cycle costs) dan value for money atas ketersediaan infrastruktur (value for money). Value for money atas proyek KPBU misalnya dapat diperoleh jika suatu proyek terlalu rumit atau berisiko untuk dikelola secara mandiri karena bukan merupakan bidang keahlian perguruan tinggi.
2. Struktur Kerja Sama Kurang Menarik
‘Seni’ dari proyek KPBU terletak pada proses menstrukturkan proyek yang terdiri atas beragam pekerjaan untuk memastikan keuntungan secara keseluruhan. Apabila perguruan tinggi hanya mengambil bagian yang menguntungkan, profitability proyek akan menjadi kurang menarik sehingga tidak ada badan usaha yang menawar saat lelang.
Perguruan tinggi sebaiknya tidak memaksakan diri menjadi operator yang berorientasi pada profit. Dalam proyek pembangunan dan operasionalisasi rumah sakit universitas (RSU) misalnya, perguruan tinggi tidak harus mengelola semua aspek pekerjaan dari awal hingga akhir. Salah-salah, biaya yang dikeluarkan bisa jadi lebih besar, dan hasilnya mungkin tidak sebaik yang diharapkan karena bukan keahlian mereka.
Pengalaman penulis dalam studi banding ke Jepang menemukan bahwa KPBU umum digunakan di perguruan tinggi untuk membangun gedung kuliah, asrama, atau rumah sakit pendidikan dengan skema bangun-guna-serah (build-operate-transfer) dengan masa kerja sama 12-30 tahun.
Salah satu contohnya adalah proyek pembangunan dan pengelolaan RSU dengan nilai proyek 120 milyar yen (sekitar Rp12,4 triliun) pada 2009 di University of Tsukuba, Jepang. Badan usaha menangani konstruksi selama tiga tahun (2009-2012) dan operasional RSU pada 2012-2032. Dengan KPBU, University of Tsukuba menikmati layanan RSU dengan 535 tempat tidur untuk pendidikan, riset, dan pengabdian masyarakat.
Setiap bagian pekerjaan diserahkan kepada perusahaan yang ahli di bidangnya sehingga University of Tsukuba bisa lebih fokus pada layanan pendidikan dan penelitian. Struktur proyek kerja sama juga dirancang untuk mengurangi risiko yang ditanggung perguruan tinggi selama masa konstruksi dan operasional. Di sisi lain, pihak swasta mendapatkan pekerjaan yang cukup menguntungkan sehingga kualitas layanan RSU tetap terjaga.
Baca juga: #SetopLiberalisasiKampus: UKT Mahal, Pinjol Jadi Jalan Ninja Saya
3. Operasionalisasi KPBU di Kampus
Proyek KPBU di pendidikan tinggi selama ini terkendala regulasi yang hanya membolehkan menteri atau kepala lembaga sebagai penanggung jawab proyek kerja sama (PJPK). Peran PJPK sangatlah sentral karena memiliki kewenangan dalam penandatanganan perjanjian KPBU dengan badan usaha pelaksana.
Meskipun suatu proyek KPBU memiliki nilai manfaat uang yang tinggi dan perguruan tinggi yang bersangkutan bersedia untuk mengalokasikan dana secara mandiri, proyek KPBU tidak akan berjalan jika menteri sebagai PJPK tidak menyetujui. Hal ini tentu saja menjadi kontraproduktif dengan semangat KPBU dalam mengeksplorasi pendanaan alternatif non-APBN.
Peraturan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Nomor 7 Tahun 2023 menjadi terobosan karena memiliki aturan khusus pelimpahan kewenangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan teknologi atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama kepada pimpinan PTN-BH. Artinya, PTN-BH berpeluang untuk menjadi mandiri dalam mendanai pengembangan kampusnya melalui proyek KPBU.
Selain prasyarat regulasi, operasionalisasi KPBU di tingkat perguruan tinggi sangat bergantung pada komitmen pimpinannya, mulai dari rektor, senat akademik dan majelis wali amanah. Hal ini karena proyek KPBU membutuhkan komitmen jangka panjang yang melibatkan beberapa periode kepemimpinan rektor.
Jika pengembalian dana proyek KPBU dilakukan melalui skema pembayaran atas jasa layanan (availability payment), maka anggaran untuk pembayaran tersebut harus dialokasikan setiap tahun, tidak peduli siapa yang menjabat sebagai rektor.
Insentif Pemerintah
Selain ketiga permasalahan mendasar dalam proyek KPBU di sektor pendidikan tinggi, penting agar pemerintah dapat memberikan insentif bagi PTN-BH yang berinisiatif untuk menggagas proyek KPBU karena akan mengurangi ketergantungan terhadap pendanaan dari APBN.
Selain insentif yang telah ada seperti (fasilitas penyiapan proyek dan pendampingan transaksi) dan dana dukungan kelayakan (viability gap fund) dari Kementerian Keuangan, pemerintah melalui kementerian induk PTN-BH perlu memberikan dukungan pendanaan untuk tahapan yang lebih awal, yang mencakup penyusunan prastudi kelayakan dan studi kelayakan.
Penyiapan kedua dokumen tersebut memerlukan sumber daya manusia, pendanaan, dan waktu yang memadai agar keputusan untuk memilih penyediaan infrastruktur melalui KPBU telah tepat secara prosedur dan memberikan nilai manfaat uang.
Meskipun peraturan terbaru memperbolehkan adanya badan penyiapan yang bertugas membantu mempersiapkan sampai proyek KPBU mencapai tahap transaksi, namun kenyataannya tidak mudah untuk dilaksanakan karena pasar KPBU di Indonesia belum cukup mapan.
Dengan dukungan kerangka regulasi, insentif pemerintah, dan komitmen perguruan tinggi, proyek-proyek KPBU dapat terealisasikan terlepas dari perubahan kebijakan internal yang terjadi semisal pergantian rektor atau kepemimpinan perguruan tinggi.
Kalihputro Fachriansyah, PhD Student in Education, Practice and Society, University College London, National Development Planning Agency (BAPPENAS).
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari