Tak Ada Alasan untuk Kekerasan: Otonomi Tubuh dan Relasi Kuasa dalam Pencegahan Pemerkosaan
Sudah saatnya berhenti menganggap pemerkosaan sebagai persoalan seksual: pemerkosaan adalah tentang kekuasaan. Memahami relasi kuasa dan kepemilikan tubuh akan menghindarkan kita dari kekerasan.
Kasus kekerasan seksual yang masih hangat dibicarakan, diduga dilakukan oleh penyair/sastrawan Sitok Srengenge pada mahasiswi Universitas Indonesia (UI) – serta kasus serupa yang melibatkan dosen di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dengan mahasiswinya – menunjukkan bahwa kampus, dengan dinamika kuasa di dalamnya, merupakan tempat yang rawan kekerasan seksual.
Hal tersebut diperparah dengan anggapan-anggapan tentang kekerasans seksual yang masih diselimuti paradigma kuno dan mitos, salah satunya dengan menyalahkan korban karena memakai pakaian yang seronok atau berada di luar rumah hingga larut malam. Tidak adanya pendidikan seks dan anggapan bahwa seks adalah topik yang tabu juga turut menjadi penyebab mengapa anak muda Indonesia belum sepenuhnya memahami konsep kepemilikan tubuh.
Isu tersebut dibahas dalam lokakarya yang diselenggarakan pada 16 Oktober oleh Kelompok Dukungan dan Pusat Penelitian mengenai Studi Seksualitas di Universitas Indonesia (SGRC UI) dengan tema “Tak Ada Alasan Untuk Kekerasan.”
Acara tersebut bertujuan untuk menyampaikan perspektif baru mengenai seksualitas, menyanggah mitos tentang seks, dan memunculkan kepedulian terhadap kasus kekerasan seksual di area kampus. Selama acara, Rahmat Saragih dari Aliansi Remaja Independen (AJI), Mariana Amiruddin dari Komisi Nasional Perempuan, dan Nathanael Sumampouw dari Yayasan Pulih menyampaikan cara-cara pencegahan pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Kepemilikan Tubuh
Pertama, perlu dipahami bahwa setiap orang berhak dan memiliki kendali atas tubuhnya sendiri.
“Kita harus memahami bahwa tubuh kita adalah milik kita saja – bukan milik keluarga kita, bukan milik masyarakat, bukan milik pemerintah, bukan milik orang lain,” kata Rahmat.
Ia mengilustrasikan cara masyarakat Indonesia memandang tubuh perempuan dengan menunjukkan gambar dua permen lolipop, satu masih utuh terbungkus, satu lagi tidak terbungkus dan dihinggapi lalat. Analogi tersebut menggambarkan secara sempurna bagaimana masyarakat mendorong perempuan untuk memakai pakaian yang menutup kepala dan seluruh tubuhnya.
Pesannya: Jika kalian tidak ingin dilecehkan dan diperkosa, pakailah pakaian yang tertutup. Tapi bagaimana dengan negara-negara yang semua penduduk perempuannya menggunakan pakaian yang menutup seluruh tubuhnya? Apakah lantas mereka terbebas dari pemerkosaan? Tidak juga.
Masyarakat tidak berhak menentukan apa yang harus dipakai wanita atau bagaimana perempuan seharusnya mengekspresikan dirinya, ujar Rahmat menekankan.
Jika perempuan memiliki hak untuk mengenakan apa pun yang mereka mau, apakah itu artinya laki-laki juga berhak melakukan apa pun yang mereka mau pada perempuan? Tidak! Otonomi individu memiliki batas ketika sudah melanggar tubuh orang lain, kata Rahmat. Laki-laki dan perempuan harus sepenuhnya memahami konsep kepemilikan tubuh dan pentingnya saling menghormati satu sama lain.
Rahmat menjelaskan tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi (HKSR), bahwa setiap individu berhak atas hubungan intim yang aman dan sehat serta bebas dari kekerasan fisik dan psikologis. Semua orang memiliki hak mengontrol organ reproduksinya dengan adanya akses pada kontrasepsi.
Menurut piagam yang dirilis International Planned Parenthood Federation (Federasi Keluarga Berencana Internasional), terdapat 12 hak yang harus dilindungi sejalan dengan HKSR, seperti hak hidup, hak untuk bebas dan merasa aman, hak kesetaraan dan bebas dari diskriminasi, hak mendapatkan privasi, hak kebebasan berpikir, hak mendapatkan pendidikan dan akses informasi, hak memilih untuk menikah atau tidak, hak memilih untuk mempunyai anak atau tidak, hak untuk mendapatkan fasilitas kesehatan, hak mendapat keuntungan dari perkembangan ilmu pengetahuan, hak untuk berkumpul dan berpartisipasi secara politik, dan hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan buruk.
Pemerkosaan dan Relasi Kuasa
Kesalahpahaman terbesar adalah bahwa pemerkosaan merupakan persoalan seksual, padahal sebenarnya pemerkosaan lebih berbicara tentang kuasa.
“Pemerkosaan terjadi sebagai dampak relasi kuasa,” kata Mariana dari Komnas Perempuan.
Ia mengutip esainya yang diterbitkan oleh Jurnal Perempuan berjudul “Pemerkosaan Bukan Soal Seks tapi Kekuasaan” yang menyatakan bahwa, “…pemerkosaan tidak terkait dengan ketertarikan seksual sama sekali, melainkan tentang mengendalikan korban dan mencabut otonomi serta kemanusiaannya.”
Pada banyak kasus, pemerkosaan terjadi bukan karena pemerkosa tidak dapat mengontrol nafsu seksualnya, melainkan karena terdapat dorongan untuk melukai dan mendominasi orang lain secara seksual. Mariana mengungkapkan beberapa mitos yang melingkupi pemerkosaan, salah satunya bahwa penampilan perempuan adalah yang mengundang para pemerkosa. Padahal kenyataanya, pemerkosa tidak memilih targetnya berdasar pada penampilan. Korban dipilih berdasarkan kerentanannya, serta ada atau tidaknya kesempatan untuk menyerang.
“Pemerkosa tidak mentargetkan perempuan seksi; target mereka adalah perempuan yang sedang lengah,” ujar Mariana. Kerentanan dalam hal ini termasuk kondisi mental, fokus, dan kewaspadaan. Korban-korbannya sendiri beragam, mulai anak balita hingga lansia, sebab memang ketertarikan seksual bukan faktor.
“Maka saya sarankan untuk tidak menunjukkan kelemahan dan selalu waspada pada keadaan sekitar. Apa pun yang kalian kenakan, kemana pun kalian pergi, jika kalian menunjukkan pada mereka bahwa kalian berani dan cukup kuat untuk melawan, mereka tidak akan berani mendekat, sebab pada dasarnya pemerkosa adalah pengecut,” ucap Mariana.
Kedua, mitos yang mengatakan bahwa perempuan yang tidak ingin diperkosa seharusnya dapat melawan ketika pemerkosaan terjadi padanya. Faktanya, bahkan jika pemerkosa tidak membawa senjata sekalipun, korban dalam ketakutan yang mendalam sampai bahkan tidak dapat menggerakkan tubuhnya sama sekali.
Pemerkosaan juga bukan tindakan impulsif yang dilakukan secara spontan. Pada banyak kasus, pemerkosaan dilakukan secara terencana sebagaimana kasus-kasus kriminal yang lain.
“Ditambah lagi, kebanyakan kasus pemerkosaan dilakukan bukan oleh orang tak dikenal, tapi oleh keluarga sendiri! Ayah, kakak laki-laki, sepupu laki-laki, paman, dan seterusnya,” ungkap Mariana.
Pada masyarakat dimana patriarki sangat mengakar, dengan laki-laki yang dibesarkan untuk merasa lebih superior dari perempuan, pemerkosaan adalah salah satu cara untuk membuktikan “siapa yang lebih berkuasa” atau sebagai upaya memvalidasi superioritas tersebut. Pemerkosaan juga dapat disulut kemarahan atau motif politik, seperti kelompok pemerkosa perempuan-perempuan etnis Tionghoa di Jakarta pada kerusuhan 1998, tambahnya.
Memahami Aspek Psikologis
Kekerasan di lingkungan kampus dapat terjadi dalam berbagai macam relasi kuasa: antara mahasiswa senior dan mahasiswa junior, antara dosen dan mahasiswa, antara mentor dan yang dibimbing, atau antar-pasangan.
Nathanael, dosen Universitas Indonesia dan psikolog dari Yayasan Pulih, mengatakan bahwa aspek psikologis seringkali menjadi alasan mengapa korban pemerkosaan tidak langsung melaporkan tindak kekerasan yang mereka alami. Orang seringkali meragukan korban dengan bertanya mengapa ia tidak melaporkannya sejak jauh-jauh hari, tanpa memahami kondisi psikologi korban yang penuh keragu-raguan karena tekanan keluarga, teman, dan masyarakat.
“Jika salah satu anggota keluarga adalah korban kekerasan seksual, misalnya, semua orang dalam keluarga akan cenderung menutup-nutupi. Mengapa? Karena kita dibesarkan dalam budaya yang menganggap pemerkosaan adalah persoalan pribadi yang memalukan,” jelasnya.
Penegak hukum juga tidak banyak membantu. Korban diharapkan untuk datang ke polisi mengenakan pakaian berwarna gelap, tampak depresi, dan menangis untuk baru ditanggapi secara serius, padahal faktanya, semua orang memiliki caranya masing-masing dalam mengungkapkan perasaannya dan itu tidak selalu dengan cara berduka yang sering kita lihat.
“Reaksi korban bermacam-macam, mulai dari kebingungan, malu, merasa bersalah, merasa dikucilkan, menyangkal, takut, gelisah, hingga mati rasa,” tambahnya.
Kondisi psikologis pemerkosa juga bermacam-macam. Nathanael menjelaskan delapan tipe pemerkosa, termasuk “the untouchable”, pemerkosa yang bertindak seolah-olah mereka terlindungi dan memiliki kuasa untuk mengontrol. Pemerkosa jenis “risk takers”, yang sadar betul atas apa yang mereka lakukan namun bertindak seolah mereka tidak takut hukuman. Ada juga “passive initiator” yang akan menebarkan pujian dan bujuk rayu sambil menunggu kesempatan untuk melakukan kejahatannya.
Jika Anda mengenal korban kekerasan seksual, inilah yang dapat Anda lakukan:
- Dengarkan, bersabar, dan mengerti jika korban tidak ingin menjelaskan lebih jauh
- Tunjukkan empati
- Jangan menyalahkan korban
- Beri informasi tentang apa yang harus dilakukan, siapa yang harus dimintai pertolongan, dan arahkan mereka ke rumah sakit, pendampingan hukum, konseling, atau safe house.
- Cari dukungan dari teman dan pihak-pihak lain
Jika anda mengalami kekerasan seksual atau mengenal seseorang yang mengalami kekerasan seksual, hubungi Komnas Perempuan 0213903963. Atau anda dapat memperoleh pendampingan di Yayasan Pulih 02178842580 ([email protected])
*Artikel asli dalam Bahasa Inggris dapat dibaca di sini.
**Baca artikel Ayunda tentang bagaimana laki-laki membantu menangani korban kekerasan seksual.