Lifestyle Opini Travel & Leisure

‘Healing’ Keluar Negeri Sudah ‘Enggak Kelas’, Sekarang Era Tamasya Luar Angkasa

Meski wisata luar angkasa belum tersedia bagi umum, sejumlah perusahaan telah menjual tiket perjalanan ke luar angkasa kepada orang-orang superkaya.

Avatar
  • September 24, 2024
  • 7 min read
  • 1274 Views
‘Healing’ Keluar Negeri Sudah ‘Enggak Kelas’, Sekarang Era Tamasya Luar Angkasa

Ruang angkasa bukanlah tempat yang ramah bagi manusia, bahkan sangat berisiko. Tanpa perlindungan yang cukup, kita tidak akan bertahan lebih dari dua menit di sana. Enggak cuma itu. Untuk mencapainya pun, kita bergantung pada kekuatan ledakan kimia yang tak mudah dikendalikan.

Sejak 1961, hampir 700 orang telah menjelajahi ruang angkasa. Perusahaan swasta seperti SpaceX dan Blue Origin berharap bisa meningkatkan jumlah tersebut hingga ribuan orang. Bahkan, SpaceX sudah mulai menerima pesanan untuk penerbangan ke orbit Bumi.

 

 

Sebagai seorang astronom yang banyak menulis tentang eksplorasi ruang angkasa, termasuk buku tentang masa depan umat manusia di luar Bumi, saya sering merenungkan baik buruk misi penjelajahan angkasa ini.

Seiring berkembangnya industri ruang angkasa komersial, kecelakaan tentu bisa saja terjadi. Begitu pula dengan kemungkinan terburuk hingga menelan korban jiwa. Misi Polaris Dawn, yang baru saja diluncurkan pada 10 September 2024 lalu menjadi salah satu misi yang berisiko tinggi. Mengapa? karena misi ini hanya melibatkan astronaut sipil, tanpa astronaut profesional. Untuk itu, saya rasa, saat ini adalah waktu yang tepat untuk membahas dua sisi ekspedisi luar angkasa.

Baca Juga: Wawancara Niamh Shaw, Ilmuan yang Ke Luar Angkasa di Umur 42

Bahaya Perjalanan Ruang Angkasa

Sebagian besar orang Amerika Serikat mungkin masih mengingat betapa tragisnya tragedi yang menelan 14 nyawa astronaut yang meluncur dari negara tersebut. Dua dari lima pesawat ulang-alik yang diluncurkan hancur. Challenger meledak di udara tak lama setelah peluncuran pada 1986. Kejadian nahas serupa juga menimpa Columbia saat pesawat ruang angkasa itu kembali ke Bumi pada Februari 2003. Kecelakaan Challenger dan Columbia adalah dua contoh paling nyata dari risiko perjalanan luar angkasa.

Secara keseluruhan, ada 30 astronaut dan kosmonaut yang telah gugur selama pelatihan atau misi luar angkasa.

Selain itu, ada puluhan peristiwa kecelakaan yang nyaris terjadi. Peristiwa terbaru, dua astronaut terpaksa harus memperpanjang waktu tinggal mereka di Stasiun Luar Angkasa Internasional selama enam bulan, karena NASA menyatakan kendaraan Boeing Starliner yang mereka tumpangi tidak aman untuk perjalanan pulang. Starliner tercatat memiliki banyak masalah selama pengembangannya, termasuk pita yang mudah terbakar, katup yang macet, dan sistem parasut yang tidak memadai. Malfungsi pada pesawat menyebabkan NASA enggan mengambil risiko membawa pulang kembali astronaut mereka dengan kendaraan milik Boeing itu.

Tak hanya di udara, bahkan di darat sekalipun risiko kecelakaan terhadap astronaut tetap ada. Pada 1967, tiga astronaut Apollo 1 tewas dalam kebakaran di landasan peluncuran, sementara sekitar 120 orang meninggal dalam ledakan di landasan peluncuran roket tak berawak di Rusia pada 1960. Di belahan bumi lain, ratusan orang tewas pada 1996 ketika sebuah roket Cina melenceng dan menubruk desa terdekat.

Tingkat kematian perjalanan luar angkasa tercatat sekitar 3%–angka yang mungkin terdengar kecil, tetapi sebetulnya lebih tinggi dibanding risiko kematian akibat olahraga ekstrem seperti terjun payung. Satu-satunya kegiatan yang mendekati bahaya risiko perjalanan ruang angkasa ini mungkin hanyalah panjat tebing bebas atau pendakian di Himalaya pada ketinggian lebih dari 6.000 meter

Warga Sipil di Luar Angkasa

Di samping segala risiko dan bahaya penjelajahan ruang angkasa, dekade 2020-an menjadi era baru bagi astronaut sipil. Setelah kematian guru Christa McAuliffe dalam tragedi Challenger, NASA berhenti mengirim warga sipil ke luar angkasa. Namun, bagi perusahaan komersial, ini justru menjadi peluang mengembangkan model bisnis mereka.

Misi Inspiration 4 pada 2021 membawa kru sipil pertama yang mencapai orbit menggunakan pesawat Dragon milik SpaceX. Sejak 2020, terhitung sudah ada 69 astronaut sipil yang telah pergi ke luar angkasa, meski hanya 46 di antaranya yang melampaui garis Kármán–batas resmi luar angkasa.

Dibalik kisah sukses itu, catatan keselamatan industri ruang angkasa komersial tidaklah sempurna. Walaupun memang belum ada kejadian warga sipil yang tewas di luar angkasa, namun sejumlah kecelakaan pernah terjadi. Pada 2014, seorang pilot tewas dan satu orang lainnya terluka dalam uji terbang SpaceShipTwo milik Virgin Galactic. Sebelumnya, pada 2007, tiga kru tewas dan tiga orang terluka dalam ledakan pra-peluncuran roket yang sama.

SpaceX, perusahaan ruang angkasa komersial terbesar dengan 13.000 karyawan dan valuasi sebesar US$180 miliar (Rp2.772 triliun), memang belum mencatat kematian dalam penerbangan, tetapi perusahaan itu telah menyebabkan satu kematian dan ratusan cedera di tempat kerja.

Teranyar, misi Polaris Dawn SpaceX yang sedianya diluncurkan pada 27 Agustus 2024 sempat ditunda karena kebocoran helium dan cuaca buruk, sebelum akhirnya berhasil diluncurkan pada 10 September 2024. Kejadian-kejadian seperti ini tentu memperbesar risiko bagi warga sipil di luar angkasa. Apalagi, penerbangan SpaceX ini akan mencapai ketinggian 435 mil atau sekitar 700 kilometer, lebih tinggi dari misi mana pun sejak era Apollo.

Empat astronaut mengenakan setelan putih dan helm berdiri di depan roket di landasan peluncuran.
Kru Polaris Dawn saat latihan peluncuran. Polaris Program/John Kraus, CC BY-NC-ND

Empat orang kru sipil Polaris Dawn akan menerima dosis radiasi besar–setara dengan yang bisa mereka dapatkan dalam 20 tahun di Bumi–hanya dalam beberapa jam. Lewat misi ini, NASA akan meneliti sejauh mana risiko kesehatan manusia terhadap radiasi.

Misi ini juga akan menjadi aktivitas luar angkasa pertama astronaut non-pemerintah. Mereka akan menggunakan setelan ruang angkasa yang belum pernah diuji di luar angkasa sebelumnya. Mereka juga akan menggunakan pesawat Dragon milik SpaceX yang tidak memiliki pengatup udara, sehingga bagian dalam kapsul akan terekspos ruang hampa udara saat mereka beraktivitas di sana.

Segala kemungkinan tentu bisa terjadi di ruang angkasa. Sekadar kilas balik, Alexei Leonov kosmonaut Rusia, hampir tewas saat melakukan perjalanan luar angkasa pertama pada 1965. Misi lainnya telah menyebabkan kebutaan sementara, hampir tenggelam, dan hampir hilang selamanya di luar angkasa. Pakaian luar angkasa menjadi pelindung utama–ibarat miniatur pesawat ruang angkasa, yang harus tahan terhadap perubahan suhu yang sangat cepat hingga ratusan derajat saat berpindah dari dan ke sinar matahari langsung. Bahkan sobekan atau lubang kecil pada pakaian bisa berakibat fatal.

Dengan segala risikonya, perjalanan ruang angkasa ini pastinya juga memiliki manfaat. Karena Polaris Dawn akan melakukan perjalanan lebih tinggi dari misi sebelumnya, misi ini akan memungkinkan kru melakukan penelitian di lingkungan dengan radiasi tinggi. Mereka bakal mendalami efek penerbangan antariksa pada tubuh manusia dan mengevaluasi bagaimana pelancong antariksa di masa depan dapat mendiagnosis dan merawat diri mereka sendiri.

Selain itu, kru akan dapat merasakan langsung “overview effect” –perasaan kagum luar biasa yang dilaporkan banyak astronot saat melihat keindahan Bumi dari luar angkasa.

Baca Juga: ‘Space Sweepers’, Film Fiksi Ilmiah Korea yang Mengandung Bawang

Booming Bisnis Antariksa

Bisnis Antariksa nampaknya kini tengah booming. SpaceX menghasilkan uang dengan meluncurkan satelit Starlink dan mengangkut pasokan serta manusia ke Stasiun Luar Angkasa Internasional, dengan perkiraan pendapatan sebesar $15 miliar (Rp231 triliun) per tahun ini. Blue Origin cuan hasil menjual mesin roket dan memiliki kontrak dengan NASA.

Meski wisata luar angkasa belum tersedia bagi umum, kedua perusahaan ini telah menjual tiket perjalanan ke luar angkasa kepada orang-orang superkaya. Virgin Galactic menawarkan paket penerbangan suborbital seharga US$450.000 (Rp6,93 miliar), sementara penerbangan orbital dipatok seharga US$55 juta (Rp847 miliar). Penerbangan orbital mencapai kecepatan yang cukup tinggi untuk tetap berada di orbit mengelilingi bumi. Sementara penerbangan suborbital membawa penumpang keluar dari atmosfer bumi selama beberapa menit. Setelah itu kembali ke bumi beberapa menit kemudian tanpa berkeliling.

Pasar pariwisata luar angkasa bernilai $750 juta (Rp11,5 triliun) pada 2023 dan diproyeksikan mencapai US$5,2 miliar (Rp80 triliun) dalam dekade mendatang. Kehadiran inovasi roket yang dapat digunakan kembali telah membuat biaya perjalanan turun hingga 10 kali lipat dibandingkan satu dekade lalu.

Agar wisata luar angkasa berkembang lebih jauh, jaminan keselamatan calon wisatawan menjadi hal yang sangat penting—baik dari segi persepsi maupun kenyataan. Banyak pengusaha berharap perjalanan luar angkasa bisa mengikuti jejak penerbangan komersial, yang juga dimulai dengan menarik orang kaya dan para petualang.

Sejak 1930, keandalan teknologi dan fitur keselamatan telah menurunkan jumlah kecelakaan fatal dalam industri penerbangan hingga 3.000 kali lipat per juta mil yang ditempuh. Seiring dengan perkembangan teknologi, siapa tahu? Mungkin suatu hari, perjalanan luar angkasa akan menjadi semudah dan seaman mengemudi di jalan raya.

Baca Juga: Mungkinkah Menerbangkan Pesawat tapi Tetap Ramah Lingkungan?

Ini bukanlah target yang tidak mungkin, karena sebenarnya risiko kecelakaan mengemudi di jalan raya justru lebih tinggi daripada terbang dengan pesawat. Peluang tahunan seseorang meninggal dalam kecelakaan mobil adalah 1 banding 5.000, sementara untuk kecelakaan pesawat hanya 1 banding 11 juta.

Berkaca pada kondisi saat ini, mimpi Elon Musk membawa jutaan orang bepergian ke Mars dan membangun koloni di sana mungkin belum akan terwujud. Namun, jika biaya penerbangan singkat ke orbit Bumi turun ke level setara dengan liburan mewah, semakin banyak orang yang akan bisa merasakan sensasi melayang di udara tanpa bobot dan menyaksikan keindahan lengkung Bumi dari luar angkasa.

Chris Impey, University Distinguished Professor of Astronomy, University of Arizona.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Chris Impey

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *