Issues Politics & Society

Tersandera Kelompok Anti-HAM, Apakah Gerakan Perempuan Masih Relevan?

Gerakan anti HAM, penjajahan, dan neoliberalisme perlahan mengantarkan gerakan perempuan dunia pada kematian. Namun, kita bisa mengubahnya.

Avatar
  • November 17, 2023
  • 7 min read
  • 1560 Views
Tersandera Kelompok Anti-HAM, Apakah Gerakan Perempuan Masih Relevan?

Pada (12/11) Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyelenggarakan Seminar Internasional bertajuk “Memajukan Perjuangan Kita: Memahami Isu Krusial, Tantangan, dan Peluang Bagi Gerakan Perempuan saat Ini”. Seminar ini merupakan bagian rangkaian perayaan 25 Tahun Komnas Perempuan yang berlangsung pada 12-15 November 2023 di Jakarta. Tujuannya untuk mengidentifikasi, merefleksikan, serta menemukan isu krusial dan tantangan yang dihadapi gerakan perempuan masa kini.

“Komnas Perempuan menempatkan diskusi ini sebagai pemantik percakapan-percakapan yang perlu kita lakukan, baik di tingkat lokal nasional maupun global untuk menemukan ruang-ruang pengetahuan dan kolaborasi. Tujuannya untuk menguatkan gerakan bersama dalam menghapuskan bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan. Karenanya semoga seminar pagi hari ini bisa memancing refleksi yang lebih jauh mengenai situasi yang dihadapi dan cara-cara baru kritis,” jelas Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam kata sambutan.

 

 

Seminar tersebut turut mengundang Eunice Borge, Direktur Program Association of Women’s Right Development (AWID) dan Misun Woo, Direktur Asia Pacific Forum on Women, Law, and Development (APWLD).

Baca Juga: 4 Fase Gerakan Perempuan di Indonesia dan Apa yang Bisa Kita Pelajari Darinya

Gerakan Anti Hak Asasi Manusia (HAM) yang Mengkhawatirkan

Eunice memulai seminar Internasional dengan memaparkan tantangan gerakan perempuan global yang didalangi oleh gerakan anti-HAM.

Lewat hasil pengamatan dan riset di laporan 2021, AWID menemukan, gerakan anti HAM telah merusak universalitas HAM dan membatasi tanggung jawab negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak warganya.

Aktor-aktor dalam gerakan anti-HAM melakukan berbagai lobi nasional maupun global agar agenda mereka tercapai. Di antaranya masuk dalam ruang multilateral dan melakukan infiltrasi ke institusi global seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).

“Mereka melakukan training dan memberi pengaruh pada delegasi di Eropa, PBB, menggerakkan kaum muda, seraya membangun narasi baru anti-HAM,” jelasnya.

“Dengan menggunakan strategi kuda troya, mereka ikut dalam gerakan perempuan, meluncurkan kampanye untuk melegitimasi narasi anti-HAM. Lalu mengeksploitasi ketakutan masyarakat untuk melemahkan gerakan perempuan,” ungkapnya lagi.

Di berbagai forum anti-HAM, kampanye itu tampak dari pengarusutamaan peran gender dalam keluarga di mana perempuan dikunci di ruang domestik dan bertanggung jawab penuh. Sementara identitas minoritas seperti LGBT dipinggirkan dalam kampanye ini.

Sebagai contoh, dalam laporan AWID Rights at Risk: Time for Action (2021) dijelaskan, pada sesi ke-63 Komisi Status Perempuan (CSW), Family Watch International mengadakan acara kolaborasi dengan Qatar, Gambia, dan Pakistan bertajuk “Perlindungan Sosial: Menjadikan Keluarga Berhasil Mencapai Kesetaraan Gender dan Kesetaraan Gender pemberdayaan perempuan dan anak perempuan.”

Meskipun judulnya bertema HAM, acara ini berfokus pada hubungan antara “keluarga kuat” (yang dipahami secara sempit), dan negara-negara makmur. Sharon Slater mengeklaim, keluarga dengan dua orang tua (laki-laki dan perempuan, secara implisit berjenis kelamin cisgender) akan menghasilkan anak-anak dan bangsa yang lebih kuat.

Dalam narasi “keluarga alami”, hubungan perkawinan heteroseksual dan reproduktif jadi yang bernilai. Pun, peran utama dan kodrat perempuan cuma direduksi sebatas mereproduksi bangsa, ras, dan agama. Sementara itu, kelompok trans, non-biner, serta kaum lesbian, gay, dan biseksual, dipandang sebagai kelompok menyimpang yang mengancam keluarga “alami” dan tidak mendukung “pelestarian atau pembaruan” bangsa.

Eunice menambahkan, demi memuluskan agendanya dan melemahkan gerakan perempuan, aktor anti HAM menggalang dana. “Mereka ini punya pendanaan yang sangat baik bahkan lebih besar dari kita (gerakan perempuan). Mereka melakukan lobi ke tokoh-tokoh politik atau insitusi besar untuk mengecilkan pendanaan yang gerakan perempuan terima,” jelas Eunice

Baca Juga:  Feminisme Dekolonial dan Upaya Menampilkan Perjuangan Perempuan

Pada sesi ke-59 Komisi Status Perempuan (CSW) 2015, serikat pekerja, organisasi feminis dan hak-hak perempuan, serta organisasi non-pemerintah internasional menentang usulan kemitraan UN Women dengan Uber. Mereka juga mendesak badan tersebut untuk mengakhiri kemitraan. Dalam suratnya kepada UN Women, Federasi Transportasi Internasional (ITF) menyoroti kurangnya perlindungan kerja di Uber, catatan keselamatan buruk bagi perempuan, trans dan orang-orang dengan keragaman gender, dan mencatat kemitraan yang diusulkan akan memperkuat kesenjangan sistematis.

ITF menulis, ambisi untuk menciptakan satu juta lapangan kerja di Uber tidak akan memberikan kontribusi terhadap pemberdayaan ekonomi perempuan. Lebih lanjut, itu justru merepresentasikan kesenjangan struktural dalam pasar tenaga kerja yang telah diperjuangkan oleh gerakan perempuan.

Contoh lain yang dipaparkan AWID dalam laporannya adalah kemitraan antara perusahaan farmasi raksasa Bayer, dan PBB dalam Inisiatif Every Woman Every Child (EWEC). Inisiatif EWEC, berdasarkan situs webnya sendiri, mengadvokasi kesehatan perempuan, anak-anak dan remaja di mana pun. Namun, Bayer bersama dengan BASF (juga merupakan mitra EWEC), ChemChina dan Corteva (Dow-Dupont) mengendalikan sebagian besar benih dan pestisida di dunia.

Pada 2018, Bayer mengakuisisi Monsanto yang kontroversial karena perselisihan hukum dengan petani kecil mengenai hak paten benih dan karena pestisida yang berbahaya. Di seluruh dunia, petani perempuan, khususnya perempuan adat, berada di garis depan dalam mengecam perusahaan ini. Mereka juga menolak praktik perampasan tanah dan agribisnis yang dilakukan perusahaan-perusahaan ini yang mengancam kesehatan dan hak hidup komunitas mereka.

Kolonialisme dan Neoliberalisme jadi Batu Sandungan Lain

Tantangan gerakan perempuan global tak hanya datang dari aktor-aktor gerakan anti HAM, ucap Misun Woo, tapi juga sistem patriarkal, penjajahan, dan neoliberalisme. Ini diperparah dengan adanya peraturan perdagangan dan investasi lembaga keuangan internasional serta kekuatan korporasi yang besar.

Misun menjelaskan, isu-isu ini berakar pada ekstraksi kolonial serta reformasi neoliberal yang diperjuangkan International Monetary Fund (IMF)-World Bank (WB) serta perjanjian perdagangan dan investasi. Penjajah mengambil kekayaan dan tenaga kerja dari wilayah jajahan, sebuah pola yang berlanjut setelah negara-negara jajahan dianggap merdeka melalui perjanjian perdagangan dan investasi yang tidak setara.

“Negara-negara yang baru merdeka namun kekurangan uang, terjerumus ke dalam utang karena ruang membuat kebijakan pro-rakyat telah dibatasi oleh reformasi neoliberal. Sehingga, negara itu jumpalitan menahan defisit,” tuturnya.

Utang negara-negara berkembang ini mendorong penghematan dan perpajakan yang regresif, yang nyatanya membuat si miskin semakin rentan. Mereka semakin sulit mengakses layanan dan kesejahteraan.

Misun mengambil contoh dari Sri Lanka. Penerapan kebijakan neoliberal di Sri Lanka menyebabkan kebangkrutan negara tersebut. Negara ini bergantung pada utang luar negeri dan cadangan devisa guna memenuhi kebutuhannya.

Dikutip dari laporan APWLD, Development Justice Now! Feminist Demands for Financing for Development (2023) Sri Lanka mengimpor US$3 miliar lebih banyak dibandingkan ekspor setiap tahunnya, sehingga mengakibatkan habisnya cadangan mata uang asing. Menurunnya pembiayaan publik dan dukungan terhadap layanan sosial telah meningkatkan kesenjangan dan memperburuk marjinalisasi kelompok rentan, termasuk perempuan dan anak perempuan.

Pemberian layanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk ibu dan anak, lalu akses terhadap kontrasepsi turut terimbas. Krisis ekonomi di saat bersamaan, memengaruhi pasokan obat-obatan dan peralatan, sehingga menyebabkan peningkatan angka kematian ibu.

Baru-baru ini juga Sri Lanka harus menerima rencana Jaminan Sosial atau dana tabungan karyawan. Ini adalah satu-satunya tabungan bagi sebagian besar pekerja termasuk pekerja garmen dan perkebunan yang sebagian besar adalah perempuan.

“Uang ini sayangnya justru digunakan untuk membayar utang bagi mereka yang berpenghasilan terkaya di dunia untuk mengikuti saran IMF atau reformasi Undang-undang Ketenagakerjaan. Hal yang pada akhirnya akan mengarah pada informalisasi dan eksploitasi tenaga kerja perempuan sendiri,” tuturnya.

Tak kalah pentingnya, Misun juga menjelaskan bagaimana kolonialisme berperan penting dalam monopoli sumber daya di negara ketiga. Kolonialisme selalu mengandalkan militerisme dan kini bersama dengan neoliberalisme, semakin memperburuk situasi.

Contoh nyatanya di Palestina di mana perempuan Palestina mengalami kekerasan berlapis. Mereka dilecehkan, mengalami krisis menstruasi, dipaksa meminum pil pencegah menstruasi, dan kekurangan sanitasi bersih. Perempuan hamil pun terpaksa melahirkan tanpa anestesi dan terancam nyawanya.

Baca Juga: Ekofeminisme: Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup

Masihkan Ada Harapan?

Dengan tantangan sedemikian rumit yang dialami gerakan perempuan, rasa putus asa jadi niscaya. Namun, Eunice dan Misun bilang gerakan perempuan masih bisa berkembang dan maju. Eunice berkata bersolidaritas adalah hal yang sangat penting dalam gerakan perempuan. Menurut Eunice dengan bersolidaritas perempuan di dunia bisa bersama, saling terhubung untuk menyembuhkan diri untuk berjuang memajukan hak-haknya.

Kita perlu percaya pada kekuatan gerakan perempuan yang memiliki kapasitas dan solidaritas untuk mewujudkan keadilan sosial. Dengan ini, gerakan perempuan bisa terus membangun kekuatan gerakan untuk melakukan advokasi dan penelitian dalam rangka mengembangkan kapasitas dan kekuatan perempuan-perempuan itu sendiri.

Sementara, Misun bilang, solusi agar gerakan perempuan tetap “bunyi” adalah pengorganisasian kelompok akar rumput bersama perempuan di organisasi dan komunitas lainnya. Hal ini penting untuk menyelidiki penyebab ketidakadilan dan mengenali kekuatan gerakan perempuan.

“Selain itu kita tidak hanya perlu memprioritaskan sistem keadilan tapi juga mengatasi kekurangan informasi dalam penanganan kasus ketidakadilan, terutama di bidang ekonomi, pekerja, hak pangan, dan partisipasi politik perempuan. Rekomendasi dalam mengatasi kekerasan sistemik ini adalah dengan meningkatkan keadilan ekonomi, termasuk hak atas pangan, ekonomi, hak lainnya, serta pentingnya kajian dan pengamatan,” tutup Misun Woo yang turut hadir di Jakarta.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *