Issues

Jakarta, Tunggu Dulu: Perempuan Disabilitas Juga Mau Bermobilitas

Perempuan disabilitas di Jakarta masih kesulitan bermobilitas, karena kurang inklusifnya transportasi umum dan fasilitas pendukung.

Avatar
  • December 3, 2024
  • 5 min read
  • 155 Views
Jakarta, Tunggu Dulu: Perempuan Disabilitas Juga Mau Bermobilitas

Kualitas transportasi publik di Jakarta dikatakan terus mengalami peningkatan, namun masih jauh dari inklusif. Hal ini dirasakan betul oleh RI, perempuan disabilitas yang memilih menggunakan ojek online (ojol) untuk mobilitas sehari-hari, karena cuma moda transportasi umum ini yang memungkinkannya menuju tempat tujuan tanpa banyak hambatan.

“Tidak semua halte aksesibel bagi saya. Jika saya naik bus Transjakarta ke kantor, saya harus berhenti di beberapa halte transit, dan itu memerlukan lebih banyak waktu. Saya menggunakan dua kruk sehingga lebih mudah jika menggunakan ojol,” ujar karyawan berusia 27 tahun itu, seperti dikutip dalam sebuah penelitian berjudul Exploring Travel Behavior Among Women With Disabilities in Jakarta (April 2024).

 

 

Baca juga: Kereta Cepat Jakarta-Bandung Belum Ramah Penyandang Disabilitas: Riset Terbaru

Penelitian tersebut dilakukan oleh Husnul Fitri, dosen dan peneliti di program studi Kajian Pengembangan Perkotaan, Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia (SKSG-UI), terhadap 12 perempuan penyandang disabilitas di Jakarta. Dalam studi ini, mereka diminta menuliskan perjalanan yang dilakukan selama seminggu.

Studi ini menunjukkan bahwa perempuan penyandang disabilitas menghadapi tantangan yang lebih tinggi dalam bermobilitas akibat berbagai keadaan, termasuk keterbatasan finansial, kekhawatiran tentang keselamatan dan keamanan, serta praktik diskriminatif.

Responden lainnya, SY, 54, mengeluhkan fasilitas pendukung yang kurang memadai bagi pengguna kursi roda seperti dirinya.

“Naik transportasi umum lebih menyulitkan. Angkot berhenti dekat rumah saya, tetapi saya butuh waktu untuk naik. Saya agak lambat, (dan) saya tidak ingin membuat orang-orang kesal,” ujar pekerja lepas itu.

Kendati ojek online menjadi kendaraan yang paling sering digunakan oleh para responden, moda transportasi ini juga memiliki kelemahan.

“Saya tidak dapat naik ojol dengan ukuran sepeda motor besar karena kaki saya sangat sakit. Terkadang saya suka meminta bantuan orang lain agar saya bisa turun. Saya merasakan nyeri di kaki dan paha saya,” ujar AN, seorang ibu rumah tangga penyandang disabilitas fisik berusia 39 tahun.

Baca juga: Ekonomi Hijau Masih Tinggalkan Penyandang Disabilitas

Transportasi Ramah Disabilitas Belum Terwujud

Hak penyandang disabilitas untuk mendapatkan aksesibilitas sebetulnya dijamin secara hukum oleh UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, yang mengamanatkan negara untuk mengakomodasi kebutuhan mereka. Sayangnya, masih banyak yang harus dilakukan untuk mewujudkan hal ini.

“Perlu ada pelibatan penyandang disabilitas, baik perempuan maupun laki-laki, dalam perencanaan sarana transportasi,” ujar Husnul kepada Magdalene. “Kalau kita melibatkan keduanya, kita bisa melihat mungkin ada perbedaan (pola) penggunaan dari kelompok ini berdasarkan gendernya.”

Dalam mengatasi tantangan mobilitas penyandang disabilitas, kata Husnul, pembuat kebijakan seharusnya tidak hanya melihat dari sisi moda transportasi saja, tetapi juga fasilitas pendukungnya, seperti jalan menuju halte dan stasiun.

Salah satu fasilitas pendukung yang krusial, tetapi kerap kali terabaikan adalah jalur pemandu bagi disabilitas netra (guiding block). Jalur tersebut sering kali terputus, misalnya oleh pot bunga atau gerobak pedagang kaki lima. Hal ini membuat penyandang disabilitas netra harus berbelok dan ini berisiko jika mereka belum mengenali jalan itu.

Mengingat pihak yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan guiding block dan pot adalah instansi yang berbeda, maka komunikasi adalah kunci agar tak menghambat aksesibilitas. 

“Instansi terkait harus saling berkoordinasi. Untuk masalah pot tanaman saja, itu bukan hanya mengganggu penyandang disabilitas netra, tapi juga pengguna jalan lainnya,” ujar Husnul.  

Selain perencanaan yang matang, ia menekankan pentingnya membuat standar acuan dalam hal desain universal dan inklusif untuk memperbaiki aksesibilitas penyandang disabilitas.

“Misalnya lebar trotoar yang bisa dilalui kursi roda atau tingkat kemiringan ramp agar kursi roda dapat dinaikkan. Itu semua harus diukur secara detail. Jika tidak ada standarnya, maka enggak akan terpakai,” Husnul menjelaskan.

Untuk meningkatkan kualitas transportasi publik dan fasilitas pendukungnya, perencana dan pelaksana harus memiliki visi yang sama. Dalam sebuah pertemuan yang membahas transportasi yang dihadiri Husnul di Bogor, terungkap bahwa ada kesenjangan antara perencanaan dan implementasi di lapangan.

“Ada yang secara perencanaan sudah baik, tetapi vendor atau kontraktor yang membuat tidak memiliki pengetahuan tentang desain fasilitas untuk disabilitas. Jadi dalam pertemuan itu ada pemikiran tentang bagaimana agar vendor atau pelaksana di lapangan punya pengetahuan tentang desain untuk disabilitas,” jelasnya.

Baca juga: Membangun Kota Ramah Gender: Lelaki juga Diuntungkan

Kurangnya Empati terhadap Penyandang Disabilitas

Selain sarana pendukung, beberapa responden penelitian mengatakan sering mendapat sikap tidak menyenangkan dari pengemudi atau sesama penumpang.

“Saya pernah naik taksi. Sopirnya kesal karena saya perlu waktu lama untuk masuk ke dalam mobil,” kata AN.  

Sementara itu, RI, terlambat turun dari bus Transjakarta karena pengemudinya terburu-buru dan tidak melihat ada penumpang penyandang disabilitas.

“Padahal saat itu tidak ada penumpang (lain) di dalam bus. Ini adalah masalah terbesar jika Anda mendapatkan sopir yang ugal-ugalan, tidak sabaran, atau tidak ramah terhadap penyandang disabilitas. Naik bus bersama mereka membuat Anda cemas,” tuturnya.

Sayangnya, kata Husnul, perilaku negatif dari sesama penumpang dan pengemudi terhadap penyandang disabilitas bukan hal yang mengejutkan, dan tidak hanya terjadi di Indonesia.

“Secara umum, literatur menyebutkan bahwa di berbagai negara masih ada persepsi negatif terhadap penyandang disabilitas, baik membandingkan (dengan non-disabilitas) atau dianggap menghambat kalau naik transportasi. Ini bukan hanya masalah persepsi tetapi juga masih kurangnya empati,” ujarnya.

Untuk menghapus stigma terhadap penyandang disabilitas dan meningkatkan pemahaman mengenai isu ini, Husnul memandang perlu adanya perubahan pola pikir masyarakat.

“Menurut saya, kesadaran terhadap kelompok disabilitas seharusnya juga terbangun di masyarakat kita. Jadi, meskipun mereka terlihat sedikit, mereka sebenarnya juga bagian dari masyarakat. Bagaimana kita harus berinteraksi dengan mereka, itulah yang harus kita pelajari,” ujarnya.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Wulan Kusuma Wardhani

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *