‘Teluh Darah’, Refleksi Trauma Bangsa, dan Kultur Santet
Serial ‘Teluh Darah’ tak hanya tampilkan realitas praktik santet di masyarakat Indonesia, tapi juga trauma masa lalu bangsa Indonesia yang lama terkubur.
Teluh Darah, serial orisinal Disney+ Hotstar yang disutradarai Kimo Stamboel dalam beberapa minggu belakangan jadi perbincangan hangat di jagat media sosial. Sejak episode perdananya 25 Februari lalu, Teluh Darah selalu masuk trending topic di Twitter saban minggu.
Di berbagai akun base khusus film atau series seperti @moviemenfess, serial ini selalu memiliki engagement tinggi. Mayoritas diisi oleh ratusan komentar tentang teori penggemar dan sharing pengalaman antar-para penontonnya.
Secara garis besar, Teluh Darah berkisah tentang teror teluh atau santetyang dialami keluarga Wulan (Mikha Tambayong) dan Esa (Deva Mahenra). Keduanya harus menyaksikan berbagai kejadian aneh nan mengerikan.
Mulai dari belatung yang tiba-tiba muncul di makanan hingga sudut-sudut rumah, gumpalan rambut misterius di wastafel, air hitam pekat yang keluar dari pipa shower atau wastafel. Hingga yang paling mengerikan berujung pada kematian tidak wajar yang tidak bisa dijelaskan oleh tenaga medis yang terjadi pada anggota keluarga mereka.
Wulan yang awalnya tidak percaya dengan apa pun berbau klenik, mau tak mau terpaksa harus percaya bahwa memang ada orang yang sengaja meneror keluarganya dan Esa. Dari titik ini, keduanya memulai penelusuran mereka. Penelusuran yang mampu menyingkap tabir gelap masa lalu kedua orang tua mereka sekaligus trauma bangsa Indonesia yang terkubur puluhan tahun lamanya.
Genre Horor yang Tampilkan Realitas Masyarakat Indonesia
Nava Dushi, Profesor Studi Film dan Media dari Universitas Lynn dalam penelitiannya Horror & Society (2021) menjelaskan sebagai sebuah genre yang memanfaatkan rasa takut dan kecemasan sebagai sumber “hiburan” bagi para penontonnya, genre horor punya formula klasik yang membuatnya berbeda dengan genre lain. Formula ini mengandalkan fantasi yang mampu merefleksikan ketakutan dan kekhawatiran masyarakat.
Karena itu, fantasi yang jadi andalan genre horor menurut Dushi umumnya dihadirkan melalui topik-topik yang dekat dengan realita hidup penontonnya. Topik yang secara spesifik disebutkan Dushi sebagai topik-topik yang tidak nyaman atau menantang. Dalam kasus Teluh Darah, topik ini tak lain adalah teluh atau santet.
Baca Juga: Review ‘Women Talking’: Ketika Suara Korban Kekerasan Seksual Didengarkan
Buat masyarakat Indonesia, mendengar kata teluh atau santet memang bukan sesuatu yang asing. Dikutip dari penelitian Santet dan Antropologi Agama (2017), di luar konteks bahwa santet sendiri secara etimologi berasal dari bahasa Osing (bahasa Banyuwangi) yang merupakan akronim dari frasa mesisan kanthet (biar terikut) atau mesisan benthet (biar retak), praktik ilmu hitam ini sudah jadi satu bagian napas dalam realitas kehidupan masyarakat di Indonesia.
Ini terbukti dari berbagai daerah di Indonesia yang punya praktik santet masing-masing dengan nama berbeda pula. Di Jawa Barat, santet misalnya disebut dengan teluh ganggaong atau sogra. Di Bali, santet dikenal dengan namadesti, leak, atau teluh terangjana. Atau di Kalimantan, santet dikenal dengan parangmaya.
Tak hanya itu, saking dekatnya praktik santet dengan masyarakat Indonesia produk hukum di Indonesia pun sampai mengakui praktik ilmu hitam satu ini. Contohnya terlihat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur ancaman pidana 1.5 tahun penjara terhadap orang yang mengaku bisa melakukan santet.
Namun kendati sudah menjadi satu dalam napas kehidupan masyarakat Indonesia, santet tidak serta merta jadi topik yang “aman” dibicarakan secara terang-terangan. Topik tentang santet hingga kini masih jadi topik yang sensitif atau tidak menyenangkan untuk dibahas secara terbuka, apalagi karena praktiknya yang bersifat mencelakai manusia.
Dengan fakta inilah Kimo selaku sutradara berhasil membawa formula klasik genre horor ke puncaknya. Topik yang tak menyenangkan atau menegangkan mengenai santet dijadikan poros utama serialnya. Mengundang kengerian dan kecemasan tersendiri bagi para penontonnya.
Dalam keterangan pers Selasa (2/5) yang dikutip dari Media Indonesia bahkan Kimo sengaja bekerja sama dengan spiritual consultant untuk menghadirkan cerita teror teluh sehingga serial Teluh Darah mampu menyajikan kisah horor teluh yang benar-benar terjadi di kehidupan nyata.
“Spiritual consultant tersebut menceritakan pengalamannya terkait teluh, apa saja yang terjadi, dan bagaimana proses teluh menyerang orang lain. Semua itu kita tuangkan dalam penulisan skrip,” kata Kimo.
Horor yang Membangitkan Memori Kelam Tragedi Kemanusian
Masih ingat dengan film Pengabdi Setan 2: Communion (2022) besutan sutradara Joko Anwar? Film horor satu ini sempat jadi buah bibir masyarakat Indonesia kala perilisannya karena mengangkat tragedi penembakan misterius atau disebut petrus.
Petrus sendiri adalah pelanggaran hak asasi manusia atau HAM berat yang pernah terjadi di Indonesia sekitar tahun 1980-an atau semasa Orde Baru. Sampai sekarang tidak pernah ada yang diadili atas penembakan misterius ini.
Dalam Pengabdi Setan 2: Communion, Joko Anwar berusaha memadukan realitas sejarah kelam Indonesia tentang Petrus (Penembak Misterius) dengan fantasi horor kultusnya. Ia menyajikannya dengan cara memperlihatkan motif sosok ‘Bapak’ (Bront Palarae) yang jadi eksekutor Petrus karena bersekutu dengan iblis.
Baca Juga:Hantu Orba yang Bangkit dalam ‘KKN di Desa Penari’
Sama halnya dengan Joko Anwar, Kimo selaku sutradara juga melakukan pendekatan yang sama dalam meramu serialnya. Ia menggunakan luka bangsa atau trauma historis masyarakat Indonesia sebagai bahan bakarnya. Cara yang dilakukan Joko maupun Kimo ini sebenarnya adalah hal lumrah ditemui di genre horor.
Lewat buku The wounds of nations Horror cinema, historical trauma and national identity (2008) dijelaskan genre horor seringkali memanfaatkan trauma historis suatu bangsa dalam bangunan narasinya sebagai cara meleburkan batas antara “kita” dan “mereka” dalam peristiwa atau tragedi terkait. Memeriksa motivasi dan mempertanyakan kembali moralitas yang selama ini dipercaya hanya hitam putih.
Memanfaatkan trauma historis juga jadi cara genre horor untuk secara mendorong penonton untuk tidak terjebak dalam retorika konsepsi hegemonik tentang identitas nasional atau sejarah yang digaungkan oleh kelompok atau orang-orang yang berkuasa
Simpelnya, cara ini mampu mendorong penonton untuk mengunjungi kembali sejarah dan identitas mereka sebagai bangsa. Mempertanyakan ulang apa yang telah mereka pelajari dan ketahui selama ini yang sebenarnya berasal dari satu corong saja.
Dengan cara inilah maka genre horor menawarkan kepada penonton sebuah cara untuk mengenali, kemudian mengkonseptualisasikan, dan akhirnya mengatasi dislokasi traumatik mereka di masa lalu. Memastikan sejarah tidak terulang kembali.
Dalam Teluh Darah, ramuan padu antara realita sejarah dan fantasi horor Kimo soal teluh diangkat melalui Tragedi Pembantaian Dukun Santet Banyuwangi 1998 atau dikenal juga dengan Tragedi Ninja. Tragedi berdarah yang sampai saat ini tak pernah diketahui motif dan dalang sesungguhnya.
Dikutip dari Kompas, tragedi ini berlangsung pada Februari hingga September 1998. Orang-orang yang dibunuh dalam tragedi ini diduga melakukan praktik ilmu hitam atau santet. Namun menurut Hasnan Singodimayan, budayawan pada wawancara di TvOne, ternyata banyak di antara korban justru bukan dukun santet. Di antara para korban justru merupakan guru mengaji, dukun suwuk (penyembuh) dan tokoh-tokoh masyarakat seperti ketua RT atau RW.
Tidak pernah ditemukannya titik terang tragedi kemanusiaan ini dan mulai dilupakannya dalam memori kolektif masyarakat Indonesia, jadi celah buat Kimo untuk meramu serial horornya. Dalam Teluh Darah, Kimo secara konsisten mengelaborasi dua timeline cerita secara bergantian.
Ia selalu menampilkan narasi masa kini, di mana Wulan dan Esa harus berhadapan dengan teror teluh yang kemudian dipadu dengan narasi masa lalu atau kilas balik orang tua Wulan dan Esa yang pernah melakukan proyek bersama di Banyuwangi tahun 1998.
Baca Juga: ‘The Woman King’: Angkat Kekerasan Seksual, tapi juga Kaburkan Sejarah
Dalam kilas balik orang tua Wulan dan Esa, Kimo secara perlahan membangun kengerian Geger Santet Banyuwangi yang kemudian ia jahit dengan motif pembantaian seorang guru ngaji bernama Hasan (Andri Mashadi). Motif pembantaian Hasan inilah kemudian jadi sumber kehororan teluh yang bakal menimpa keluarga Wulan dan Esa di masa depan.
Hasan boleh jadi merupakan perwujudan dari pembalasan atas darah yang telah direnggut paksa. Ia jadi justifikasi persengkongkolah istri dan adiknya terhadap perlakuan tidak adil yang ia terima.
Tetapi dalam pemaknaan lebih mendalamnya, Hasan adalah perwujudan dari trauma masa lalu bangsa yang tak pernah terselesaikan. Ia adalah korban yang tak bersalah dari tragedi kemanusian yang terlupakan dalam memori kolektif masyarakat Indonesia yang hingga saat ini masih mencari keadilan.