‘The Six Triple Eight’ Angkat Kisah Heroik Pasukan Perempuan Kulit Hitam AS
Film ‘The Six Triple Eight’ di Netflix mengungkap perjuangan pasukan perempuan kulit hitam pada Perang Dunia II dalam melawan diskriminasi dan tantangan berat.
Netflix bulan lalu merilis The Six Triple Eight, sebuah film perang berdasarkan kisah nyata Batalion 6888, unit perempuan kulit hitam pertama di Angkatan Darat AS selama Perang Dunia II. Disutradarai oleh Tyler Perry, film ini mengangkat kisah 855 perempuan pemberani yang menjalankan misi monumental: menyortir dan mengirim jutaan surat yang tertunda demi meningkatkan moral para tentara di medan perang.
Presiden AS saat itu, Franklin D. Roosevelt, menyadari pentingnya komunikasi melalui surat bagi para tentara yang jauh dari keluarga. Namun, kisah ini lebih dari sekadar perjuangan fisik; ia menggambarkan tekad melawan diskriminasi rasial dan gender.
Cerita bermula dengan Lena Derriecott (diperankan Ebony Obsidian), seorang perempuan kulit hitam muda yang kehilangan kekasihnya, pria kulit putih Bernama Abram David, dalam perang. Kehilangan ini memicu Derriecott —yang dijanjikan pernikahan setibanya David—untuk melanjutkan perjuangan sang kekasih dengan bergabung dalam perang melawan Nazi.
Namun, niat Lena awalnya ditentang nenek dan ibunya. “Tidak ada alasan kamu jadi tentara,” ujar sang nenek, yang menilai perempuan kulit hitam hanya akan dipekerjakan untuk “memasak dan bersih-bersih untuk orang kulit putih.” Dialog ini menggambarkan determinasi perempuan yang sering kali menghadapi tantangan dari keluarga terdekat. Meski begitu, Lena tetap bertekad bergabung dengan Korps Wanita Angkatan Darat AS.
Baca juga: ‘The Woman King’: Angkat Kekerasan Seksual, tapi juga Kaburkan Sejarah
Beban Ganda Perempuan Kulit Hitam
Dalam perjalanan menuju markas militer di Georgia, Derriecott bertemu tiga perempuan kulit hitam lain dengan motivasi berbeda. Ada yang ingin melanjutkan studi, kabur dari suami penyiksa, atau mencari pekerjaan di luar dapur orang kulit putih. Persahabatan mereka terjalin erat, memperlihatkan solidaritas perempuan di tengah situasi penuh ketidakpastian dan ancaman.
Di Georgia, mereka disambut Letnan Kolonel Charity Adams (Kerry Washington), yang mengatakan, “Kalian punya beban untuk menjadi lebih baik.” Adams menegaskan bahwa mereka harus tampil lebih baik dari tentara kulit putih karena mewakili komunitas kulit hitam di Amerika.
Segregasi rasial yang melekat di AS saat itu menjadikan orang kulit hitam kelompok marginal dengan beban ganda untuk membuktikan diri. Hal ini semakin terasa saat wartawan kulit putih mendokumentasikan pelatihan Batalion 6888, seolah hanya untuk mencari pembenaran atas stereotip tentang orang kulit hitam yang dianggap malas, bodoh, dan inferior. Sikap seperti ini mengingatkan kita akan peran media dalam membangun narasi stereotipikal terhadap kelompok marginal.
Baca juga: 5 Rekomendasi Film Tentang Feminisme Selain ‘Barbie’
Kolonel Charity Adams dan Kepemimpinan Perempuan
Kepemimpinan Charity Adams menjadi sorotan penting dalam film ini. Sebagai perempuan pertama yang menduduki posisi tertinggi di Korps Wanita Angkatan Darat AS, Adams gigih memperjuangkan penugasan bagi unitnya. Ia meyakinkan atasannya bahwa pasukannya mumpuni untuk menjalankan misi penting.
Namun, Adams tak luput dari upaya menjatuhkan kredibilitasnya. Seorang pendeta—mata-mata yang dikirim untuk merongrong unitnya—sering kali menyebutnya sebagai “perempuan jahat.” Bagian ini mengingatkan pada stigma yang sering dilekatkan pada perempuan tangguh yang menolak tunduk pada norma sosial tentang kelembutan dan kesubmisifan. Adams akhirnya mengusir pendeta tersebut dari batalionnya.
Di akhir film, keteguhan Adams diuji saat Jenderal Halt (Dean Norris), atasannya, mengancam membubarkan Batalion 6888. Halt menemukan anggota batalion membaca surat untuk mengidentifikasi pengirim, sebuah langkah yang ia nilai sebagai pelanggaran. Adams membela unitnya dengan menegaskan bahwa mereka bekerja tanpa henti di gudang penuh tikus dan tanpa pemanas, menyelesaikan tugas dengan efisiensi luar biasa.
“Langkahi dulu mayatku,” tegas Adams, menunjukkan komitmennya mempertahankan martabat batalionnya.
Baca juga: 4 Rekomendasi Film Kemerdekaan dan Perjuangan Pahlawan Indonesia
Mendobrak Stereotip Perempuan
Salah satu adegan berkesan adalah saat Batalion 6888 pertama kali masuk ke ruang kerja mereka yang penuh reruntuhan. Kolonel Adams mengatakan, “Perempuan sudah terbiasa membuat ruangan tidak nyaman menjadi berfungsi. Kebanyakan ibu kita melakukan hal yang sama.” Dialog ini menggarisbawahi kemampuan perempuan untuk bertahan dengan memanfaatkan sumber daya minimum.
The 6888 berhasil menyortir lebih dari 17 juta surat dalam 90 hari, separuh dari tenggat waktu yang diberikan. Dalam setiap shift, mereka menangani 65.000 surat menggunakan metode kreatif, seperti mengenali parfum pada surat atau mencocokkan simbol pada amplop. Prestasi ini membuktikan efisiensi kerja mereka sekaligus mendobrak stereotip bahwa perempuan tidak mampu bekerja di bawah tekanan.
Namun, kontribusi mereka tetap minim apresiasi. Batalion 6888 harus menghadapi diskriminasi yang terus-menerus, baik dari media maupun sesama personel militer. Wartawan kulit putih yang datang ke markas lebih tertarik mencari bukti kegagalan mereka daripada melaporkan keberhasilan. Film ini menggambarkan bagaimana tekanan semacam itu memperkuat semangat anggota batalion untuk membuktikan kemampuan mereka.
Sebagai batalion perempuan pertama di Angkatan Darat AS, mereka tidak disambut parade saat kembali ke tanah air. Bahkan, dua anggota yang gugur akibat ledakan bom tidak dimakamkan secara terhormat. Baru pada 2021, Batalion 6888 menerima Congressional Gold Medal, penghargaan yang menegaskan pengakuan atas peran heroik mereka.
The Six Triple Eight tidak hanya menceritakan kisah heroik perempuan kulit hitam, tetapi juga menyoroti perjuangan melawan rasisme dan seksisme. Kepemimpinan Charity Adams dan solidaritas anggotanya menjadi pelajaran berharga tentang keberanian perempuan untuk melawan stereotip, meski tanpa pengakuan yang layak.
Film ini juga menggambarkan persahabatan yang erat di antara anggota batalion. Terlepas dari latar belakang yang berbeda, mereka bersatu dalam misi yang sama, menunjukkan bahwa kekuatan kolektif mampu mengatasi hambatan apa pun.
The Six Triple Eight tidak hanya menginspirasi melalui kisah heroiknya, tetapi juga memberikan pesan penting tentang kesetaraan, ketekunan, dan keberanian perempuan. Film ini menunjukkan bahwa perempuan, meskipun sering diremehkan, memiliki kapasitas luar biasa untuk mengubah dunia.
Dengan arahan Tyler Perry yang kuat, The Six Triple Eight menjadi salah satu film yang layak ditonton untuk memahami perjuangan perempuan kulit hitam di masa perang. Kisah ini menjadi pengingat bahwa meskipun pengakuan sering datang terlambat, perjuangan yang dilakukan tidak pernah sia-sia.
Leva Boekan adalah pekerja sosial yang fokus berkarya di bidang pendidikan alternatif dan perlindungan anak. Ia tergabung sebagai penulis konten dalam sebuah grup aksi pemuda untuk isu HAM dan kesetaraan gender.