Issues

Tips Anti Aging Gitasav, Kemarahan Para Ibu, dan Isu Nyata yang Selalu Terabaikan

Gitasav kembali viral gara-gara tips awet muda-nya yang dianggap ‘bermasalah’ bagi banyak orang di media sosial

Avatar
  • February 12, 2023
  • 5 min read
  • 863 Views
Tips Anti Aging Gitasav, Kemarahan Para Ibu, dan Isu Nyata yang Selalu Terabaikan

Sekadar pemberitahuan, saya bukan pengikut influencer Gita Savitri atau Gitasav. Namun saya juga tidak mempunyai rasa benci. Saya bahkan berusaha menelaah isu ini dari sisi lain.

Gitasav kembali viral gara-gara tips awet muda-nya yang dianggap ‘bermasalah’ bagi banyak orang di media sosial. Menurut pengakuannya, resep anti aging adalah dengan tidak punya anak, agar tidak stres terganggu kerewelan anak. Selain itu, ada dana untuk melakukan prosedur anti aging lainnya, misalnya: botox.

 

 

Singkat cerita, banyak netizen Indonesia – terutama ibu-ibu – yang langsung marah dan menyumpahi macam-macam. Mulai dari menuduh Gitasav menggiring opini, menyebut suami Gitasav mandul hingga mendoakan agar Gitasav segera hamil biar tahu rasanya punya anak. Bahkan, ada juga yang menyebut-nyebut ajaran agama bahwa tidak beruntung seorang perempuan yang tidak akan pernah tahu rasanya doa anak saleh kepada ibunya – terutama setelah ibunya meninggal dunia.

Ada netizen yang menyarankan, seharusnya Gitasav menambahkan kata-kata semacam “buat saya, sih” dalam pernyataannya yang (lagi-lagi dianggap) kontroversial itu. Apakah akan berpengaruh? Mengingat sudah banyak yang terlanjur antipati dari awal, saya rasa sih, tidak.

Terlepas dari respon Gitasav yang sayangnya cenderung kasar dan tidak peka (seperti menuduh netizen yang tidak suka pendapatnya sebagai penderita stunting), sebenarnya ada berbagai isu serius yang selama ini selalu cenderung diabaikan masyarakat kita:

Tuntutan Sosial dan Beban Hidup Perempuan Dalam Masyarakat Patriarki

Boleh saja ingin menyangkal, tapi faktanya … masyarakat kita lebih sering meributkan mengenai peran perempuan, daripada berusaha menaikkan taraf hidup mereka agar lebih aman dan nyaman. Perempuan harus mandiri, namun jangan sampai terkesan tidak membutuhkan lelaki. Sayangnya, perempuan yang tergantung pada lelaki juga kerap diejek manja, ‘bucin’ (budak cinta), hingga dianggap beban. Lho, maunya apa, sih?

Perempuan juga diharuskan mau menikah (kalau bisa secepat mungkin, agar tidak menjadi “sumber fitnah”, “perawan tua”, hingga “beban ekonomi keluarga” – meski faktanya banyak perempuan lajang yang berkarir sukses). Harus mau punya anak, harus mau jadi ibu. Meskipun berkarir di luar rumah, tetap harus bertanggung jawab mengerjakan urusan rumah tangga dan mengasuh anak di rumah. Tidak boleh mengeluh capek meski sedang sakit, karena katanya “jadi ibu harus ikhlas agar sesuci malaikat”. Harus tetap bisa meluangkan waktu merawat diri. Terlihat tetap awet muda dianggap prestasi.

Serius, ada yang sanggup dan kuat memenuhi semua kriteria fantastis di atas? Kalau ya, selamat. Kalau mau pamer prestasi di atas di media sosial, siap-siap dijulidin mereka yang gagal memenuhi ekspektasi yang ada.

Trauma dan Luka Masa Kecil yang Masih Sering Dianggap Remeh

Buat yang tumbuh dalam kasih sayang orang tua bahagia, selamat. Kabar buruknya, tidak semua anak seberuntung itu. Saya punya contoh seorang teman. Tumbuh dari delapan bersaudara dalam keluarga serba kekurangan, perempuan ini sudah muak melihat ketidakadilan dari perlakuan orang tuanya. Mereka lebih memanjakan anak laki-laki mereka, meski jelas-jelas abang teman saya tukang berulah di sekolah dan di jalanan. Saat mendapatkan menu daging untuk makan, anak laki-laki selalu diberi jatah lebih besar.

Yang paling menyakitkan, orang tua memilih menemui kepala sekolah abangnya saat si abang kembali kena masalah. Padahal, saat itu bertepatan dengan hari pembagian rapor teman. Akhirnya, teman terpaksa meminjam orang tua teman sekelas untuk mengambil rapornya, menyamar sebagai keluarganya.

Mudah saja meminta teman untuk move on dari trauma dan luka masa kecilnya bila kamu tidak pernah mengalami hal serupa. Kalau pun pernah mengalami hal serupa dan memilih tetap punya anak, ingatlah kalau tidak semua orang sama. Tidak perlu pamer dengan sikap “kalau aku bisa, kenapa kamu enggak?”

Beragam Pertimbangan Saat Seseorang Memilih Hidup CF (Childfree)

Kata siapa yang memilih CF selalu benci anak-anak? Saya kenal banyak pemilih hidup CF dan tetap menyukai anak-anak. Ada faktor-faktor lain yang menjadi pertimbangan mereka memilih CF, mulai dari kondisi ekonomi, kondisi kesehatan fisik hingga mental, dan masih banyak lagi. Mereka tidak berutang cerita atau penjelasan apa pun sama siapa-siapa, karena itu hidup mereka. Lagipula, yang sibuk ikut mencela pilihan mereka belum tentu mau ikut membantu membiayai hidup anak mereka.

Perundungan Terhadap Perempuan Lajang dan Perempuan Tanpa Anak yang Masih Dianggap Wajar

Banyak ibu yang sakit hati dengan pernyataan Gitasav soal tips anti aging? Oke, silakan sebut saya kejam dan pendendam. Mungkin pengalaman ini bisa jadi wake-up call agar mereka tidak lagi merundung perempuan lajang maupun perempuan menikah tanpa anak. Memang, tidak semua ibu seperti itu, tapi banyak yang sikapnya tidak menyenangkan kepada sesama perempuan yang tidak seperti mereka. Sudah tidak terhitung kok, ejekan macam apa yang terpaksa dihadapi perempuan lajang dan yang menikah lama tapi belum juga punya anak.

Contoh: sebagai perempuan lajang, saya sudah banyak dihujani celaan macam “perawan tua nggak laku”, hingga pernah ada yang terang-terangan menyimpulkan: “Pasti ada yang salah sama kamu sampai sekarang belum menikah juga”. Atau teman saya yang pernah dituduh mantan ibu mertua “kurang berusaha” atau “kurang berniat”   gara-gara belum hamil juga meskipun sudah menikah selama enam tahun. Bahkan yang katanya hanya celetuk bercanda juga tidak sadar dengan luka yang mereka timbulkan:

“Heh, kamu kapan nikah/hamil? Dari dulu gini-gini aja … GAK ADA PERKEMBANGAN.”

Sialnya, kami dipaksa ikhlas menerima semua perundungan itu, karena masyarakat menganggapnya wajar. Alasannya apa lagi kalau bukan “sekadar mengingatkan”.

Baik masih lajang maupun sudah menikah hingga punya anak, tidak ada yang suka dirundung maupun dianggap buruk rupa. Setiap orang punya tantangan hidup dan masalah masing-masing. Tidak perlu saling membandingkan mana yang lebih baik, lebih tegar, maupun paling menderita. Tidak ada gunanya.

Menyumpahi yang berbeda pendapat juga tidak akan bikin kamu terlihat lebih baik, kok. Justru malah bisa mengundang curiga, jangan-jangan memang benar, kamu sendiri juga tidak sebahagia itu dengan pernikahan dan anak dalam hidupmu.

Obsesi Tak Sehat untuk Awet Muda

Saya yakin bukan saya saja yang ngeh dengan isu ini. Ada apa dengan obsesi untuk terlihat awet muda di masyarakat kita, alih-alih memastikan ibu beristirahat dan mendapat perawatan cukup layak agar tidak cepat keriput dan lebih bahagia? Menua adalah takdir yang tidak bisa dihindari. Lihat, bahkan penyanyi Madonna yang berusaha terlihat awet muda pun masih dikritik juga, dianggap tidak ingat usia.

Serba salah memang jadi perempuan.

Sayangnya, masyarakat kita yang reaktif sepertinya masih akan berhenti pada taraf menghujat Gitasav dan melempar ayat-ayat kitab agama – paling hingga trending media sosial berganti. Isu-isu di atas tetap akan terabaikan lagi …



#waveforequality


Avatar
About Author

Ruby Astari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *