Surat Terbuka dari Warga Banten untuk Dimyati yang Wajarkan “Titip-Menitip”
Baru-baru ini, Wakil Gubernur Banten Achmad Dimyati Natakusumah bikin pernyataan kontroversial. Ia mengomentari praktik titip-menitip murid oleh pejabat sebagai sesuatu yang lumrah. Pernyataan itu ia lontarkan saat menanggapi kasus Budi Prayoga, Wakil Ketua DPRD Banten, yang diduga menyisipkan memo rekomendasi masuk ke SMA Negeri di Cilegon, di tengah proses penerimaan siswa baru.
Dalam wawancaranya dengan Banten Raya, Dimyati berkata, “Kalau menurut saya, masalah titip-menitip itu hal yang lumrah. Disposisi itu hal biasa bagi pejabat. Tergantung bagaimana pemerintah menyikapinya. Beliau (Budi) itu kan unsur legislatif, bukan eksekutif. Kalau kami, tanggung jawabnya nggak ada, nggak boleh nerima titipan kalau disposisi.”
“Ente buat surat, saya disposisi. Terus kata orang itu melenceng? Ya enggak, wong saya disposisinya sesuai ketentuan. Kadang anggota dewan ditodong konstituen. Kalau enggak mau bantu, dibilang pelit. Jadi menurut saya, hal-hal seperti itu tidak perlu dipersoalkan.”
Komentar ini menyiratkan dua hal. Pertama, ia mewajarkan perilaku titip-menitip. Kedua, ia menyalahkan konstituen yang disebut “suka menodong.” Bukannya mengecam tindakan rekannya sesama politisi PKS, Dimyati malah seolah membela. Tak heran, keduanya memang berasal dari partai yang sama.

Tangkapan layar memo dari politisi PKS Budi Prayoga.
Baca Juga : Perempuan Jangan Jadi Pemimpin, Kecuali Keluarga Saya
Apakah Dimyati Sering Melakukan ini?
Bagi saya sebagai warga Banten, tindakan Budi Prayoga tidak bisa disebut “lumrah”, sebagaimana diklaim Dimyati. Memo pendek berisi “Mohon dibantu dan ditindaklanjuti” mungkin tampak remeh, tetapi karena disampaikan dalam masa penerimaan siswa baru, itu menimbulkan kecurigaan serius. Wajar publik mempertanyakannya, termasuk saya sendiri.
PKS Banten pun akhirnya mencopot Budi dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPRD. Ketua Dewan Pengurus Wilayah (DPW) PKS Banten bilang, keputusan ini adalah bentuk tanggung jawab partai atas tindakan yang dianggap melenceng dari nilai-nilai mereka.
Namun, persoalan belum selesai. Dimyati, yang justru punya posisi strategis sebagai Wakil Gubernur, malah mewajarkan perilaku tersebut. Ini membuat saya bertanya-tanya: Apakah Dimyati sendiri selama ini juga melakukan praktik serupa?
Dengan rekam jejak panjang di birokrasi, dua periode Bupati Pandeglang, tiga kali menjadi anggota DPR RI, hingga sempat menjabat Wakil Ketua MPR, Dimyati seharusnya paham, komentar publiknya memiliki dampak besar. Namun, ia seperti tak belajar dari kesalahan.
Sebagai politisi senior, ia pernah membuat blunder besar lain. Saat debat Pilkada Banten 2024, ia menyatakan perempuan tak layak diberi beban berat seperti menjadi gubernur, merujuk pada lawannya Airin. Pernyataan itu berbunyi, “Wanita itu jangan terlalu dikasih beban berat, apalagi jadi gubernur. Itu berat lho. Maka oleh sebab itu, laki-laki lah yang harus membantu memajukan Banten.”
Dalam dua momen berbeda, Dimyati menampilkan wajah politisi yang meremehkan masalah publik dan merendahkan perempuan. Ini gambaran khas pejabat yang terlalu lama hidup dalam kenyamanan kekuasaan, terutama kekuasaan yang bersumber dari dinasti.
Ya, Dimyati adalah bagian dari dinasti politik di Banten. Ia adalah suami Irna Narulita, yang dua kali menjadi Bupati Pandeglang. Irna juga pernah dua periode jadi anggota DPR. Anak mereka, Rizki Natakusumah, kini dua periode menjabat anggota DPR RI. Bahkan, adik Dimyati, Dewi Setiani, kini menjabat Bupati Pandeglang 2025–2030.
Baca Juga : Politik Marah-marah, Semua Politisi Akan Jadi Risma pada Waktunya
Artinya, sejak Banten memisahkan diri dari Jawa Barat pada 2000, tangan trah Dimyati tak pernah lepas dari kursi kekuasaan di Pandeglang. Jika praktik titip-menitip dianggap “biasa,” mungkin karena para politisi dinasti terbiasa mempraktikkannya dalam lingkar kekuasaan mereka.
Sementara PKS Banten mencopot Budi, Dimyati malah membela. Komentar itu menunjukkan siapa yang benar-benar punya kuasa dalam partai dan wilayah ini. Apalagi kini kekuatan politiknya bertambah karena istrinya Irna menjabat Ketua DPW PAN Banten.
Sayangnya, seperti pepatah “Orang yang punya power sering kali tidak punya point—dan orang yang punya point jarang punya power.
Dinasti yang Selalu Lepas dari Jeratan
Ada anekdot di Banten: Kalau mau jadi politisi, hanya ada dua pilihan, yakni mendukung dinasti, atau melawan arus. Yang melawan biasanya akan diterjang badai. Yang mendukung bisa bergelimang harta dan kekuasaan.
Bukan rahasia kalau praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) mengakar kuat di Banten. Kasus Dinasti Atut Chosiyah adalah contohnya. Ia divonis karena korupsi dan harus mendekam di penjara. Dimyati sendiri sempat terseret kasus korupsi Bank Jabar, tapi lolos. Ia juga pernah dilaporkan dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur—kasus yang sempat ditangani Komnas Anak namun kemudian menguap, bahkan korban justru disidang atas tuduhan pencemaran nama baik.
Baca Juga : Riset: Dominasi Politisi Pria Merugikan Politisi Perempuan
Dinasti politik seperti ini tak tumbuh di ruang kosong. Mereka tumbuh dalam sistem yang lemah dan publik yang dibungkam atau dibuat apatis.
Jika boleh digambarkan secara geografis, Dinasti Jayabaya mendominasi Kabupaten Lebak, Dinasti Atut menguasai Tangerang Raya dan Serang, sedangkan Pandeglang adalah wilayah kekuasaan Dinasti Dimyati.
Praktik titip-menitip bisa jadi cuma salah satu ekspresi dari kekuasaan yang tak terkendali itu. Dan publik tahu, ketika satu memo bisa berujung pencopotan jabatan seorang wakil ketua dewan, maka komentar pembenar dari seorang Wakil Gubernur tak bisa dianggap remeh.
Saya sebagai warga Banten, berharap ada teguran keras, baik dari partai, Gubernur Banten, Kementerian Dalam Negeri, maupun lembaga lain, terhadap pernyataan Dimyati. Kalau tidak, ya wajar jika saya bilang, dinasti memang selalu punya privilesenya sendiri.
















