5 Ulasan Buku Favorit Kami di 2024, Kamu Sudah Baca?
Kami telah memilih lima artikel ulasan buku dalam #MadgeReview. Ini bisa jadi referensi bacaanmu tahun depan.
Tahun ini kami meluncurkan rubrik #MadgeReview yang mengupas buku dari berbagai genre, baik fiksi maupun non-fiksi. Lewat #MadgeReview, kami mengajak pembaca setia Magdalene untuk memahami secara mendalam karya penulis Indonesia serta mancanegara yang dengan berani menyampaikan isu-isu sosial demi menyentil empati dan membangun kesadaran.
Berikut adalah lima ulasan buku favorit kami di 2024:
1. ‘We Have Always Been Here’: Saya Queer, Saya Muslim, dan Saya Bangga
Agama bisa membebaskan, tetapi bisa pula memenjarakan ketika digunakan untuk alat kebencian. Islam, agama rahmatan lil alamin atau rahmat bagi seluruh alam pun demikian. Di tangan orang yang tak paham, Islam digunakan untuk memperkusi sebagian penganutnya.
Salah satu kekerasan atas nama agama, dialami oleh Samra Habib, fotografer berdarah Pakistan. Dalam buku “We Have Always Been Here: A Muslim queer Memoir”, Habib mengisahkan pengalamannya mengalami persekusi berulang kali. Ia lahir dan tumbuh besar di keluarga Ahmadiyah—didirikan Mirza Gulam Ahmad pada 1889–di Pakistan. Ahmadiyah yang dikonotasikan sebagai ajaran sesat, dan penganutnya dilabeli kafir oleh mayoritas Muslim membuat Habib harus menyaksikan dan mengalami sendiri berbagai diskriminasi dan kekerasan.
Terlebih ia adalah perempuan queer. Sebuah identitas yang kerap kali diasosiasikan sebagai penyimpangan seksual, dibenci Islam, dan dilaknat Allah. Ini kemudian yang membuat Muslim queer secara sistematis mengalami kekerasan dalam hal pembatasan kebebasan beragama.
Baca artikel lengkapnya di sini.
2. ‘Babel, or the Necessity of Violence’: Benarkah Kekerasan Dibutuhkan dalam Gerakan Pembebasan?
London era 1830-an adalah penanda kemajuan peradaban manusia. Orang-orang paling brilian di dunia tinggal di situ, termasuk akademisi Babel dari Institut Penerjemahan Kerajaan bergengsi di Oxford. Akademisi Babel dilatih untuk jadi tenaga alih bahasa handal. Dengan kecakapan linguistik mereka, mereka melakukan proses penerjemahan yang disebut silver working agar “batang perak” bisa digunakan untuk apa saja.
Robin Swift, anak yatim piatu asal Cina adalah salah satu akademisi Babel. Ia dibawa ke Inggris dari tanah kelahirannya oleh Profesor Lovell. Swift diberi kehidupan baru nan nyaman, tapi sebagai gantinya diminta bekerja untuk Institut Penerjemahan Kerajaan.
Saat ia mulai bisa menavigasikan diri sebagai akademisi Babel, Robin dihadapkan dengan organisasi pemberontak, Hermes Society. Griffin, salah satu anggota Hermes Society yang ternyata mantan akademisi Babel, mengungkap peran kejam Babel dalam penjajahan Inggris. Robin gundah. Ia harus membuat pilihan sulit antara tetap mendedikasikan diri pada Babel atau ikut memberontak demi melindungi Cina yang bakal dihancurkan oleh Inggris.
Baca selengkapnya di sini
3. Review ‘Cursed Bunny’: Horor Feminis yang Seram tapi Kritis
Tak semua orang kuat menyelesaikan kumpulan cerpen Bora Chung berjudul Cursed Bunny. Buku yang masuk dalam daftar pendek atau shortlisted International Booker Prizes 2022 ini mengaburkan batas antara realisme magis, fantasi, horor, dan fiksi ilmiah. Perkawinan beragam genre ini tak lantas membuat Cursed Bunny kehilangan daya kritisnya.
Chung dalam diskusi virtual Makassar International Writers Festival 2022 bilang, Cursed Bunny adalah bayi yang lahir dari kegelisahan dan kemarahannya pada realitas sosial di masyarakat modern, terutama di Asia. Khususnya kekerasan, ketidakadilan, serta diskriminasi terhadap kelompok marginal.
“Setiap cerita datang dari latar belakang kehidupan dan situasi yang sangat beragam dalam periode kehidupanku. Namun, kebanyakan aku menulis ketika merasa tidak nyaman dan marah. Jadi rasanya tepat kalau dikatakan buku ini merupakan hasil pelampiasan kemarahan perempuan Asia yang beranjak dewasa ketika melihat berbagai ketidakadilan di sekitarnya,” tutur Chung dikutip dari Media Indonesia.
Lewat Cursed Bunny, Chung yang memang terkenal vokal, menyuarakan hak-hak perempuan dan kelompok marginal. Semua disampaikan dengan gamblang, hingga membuat pembaca bergidik ngeri.
Baca selengkapnya di sini
4. Review ‘Perempuan di Rumah No.8’: Luka Perih dari Orang Terkasih
Anika tak pernah menduga kebahagiaannya bertemu orang terkasih justru berakhir petaka. Reza, laki-laki pertama yang ia cintai gemar menghajarnya hingga mengalami pendarahan hebat dan nyaris tak sadar. Sambil menahan nyeri, perempuan itu berusaha menghubungi satu-satunya keluarga, Bibi Santi.
Namun alih-alih ditolong, Santi justru meminta Anika rujuk. Membeberkan pertengkaran dengan pasangan sendiri adalah aib, kata dia, dan Muslimah taat dilarang melakukannya. Orang kedua yang ia mintai tolong adalah Desti, teman kantor. Beruntung, respons Desti tak seperti Bibinya. Setibanya di rumah Anika dan melihat perempuan itu hampir di ambang kematian, Desti langsung melarikan Anika ke rumah sakit. Beruntung nyawa Anika tertolong, namun bayi dalam kandungannya meninggal.
Trauma dengan kekerasan tersebut, Anika lari dari rumah dan mencari tempat persembunyian ke Yogyakarta. Di sana dia menemukan kontrakan mungil bernomor delapan. Tak disangka di kontrakan itu, Anika dihantui oleh seorang hantu perempuan penuh lebam bernama Lastri.
Baca selengkapnya di sini
5. ‘Dari Rahim ini Aku Bicara’, tentang Tubuh Perempuan yang Dikuasai Lelaki
Semua berawal dari rahim. Perempuan menciptakan kehidupan bahkan peradaban baru dari rahim. Perempuan melahirkan perempuan dan laki-laki dari rahim. Enggak heran jika lelaki yang tak punya rahim, diam-diam menaruh ketakutan. Jika tak ada rahim perempuan, maka siklus kehidupan tak berjalan, dan sudah tentu tak ada penerus.
Ketakutan ini akhirnya membuat lelaki mengontrol habis-habisan tubuh perempuan sebagai bentuk pertahanan diri. Hal inilah yang menjadi premis awal yang digugat Ester Lianawati dalam buku “Dari Rahim Ini Aku Bicara”. Dilengkapi dengan riset yang kuat, Ester mengurai tentang bagaimana tubuh perempuan dikuasai dan dikerdilkan oleh lelaki dengan ideologi patriarkalnya.
Lelaki menjadikan detail tubuh perempuan, termasuk rahim sebagai objek sasaran. Perempuan didikte tentang apa yang boleh atau tidak dilakukan dengan tubuhnya sendiri. Untuk membuatnya semakin meyakinkan, laki-laki memproduksi ilmu pengetahuan dan tafsir-tafsir agama yang bias. Semua dilakukan agar perempuan menginternalisasi gagasan bahwa kontrol atas tubuhnya adalah lumrah, sehingga tak boleh diperdebatkan.
Baca selengkapnya di sini