People We Love

Transpuan Lawan Patriarki Bersama Swara

Meski rentan diskriminasi dan kekerasan, sekelompok transpuan terus mengadvokasi hak-hak kelompok transgender di Indonesia dan membantu memberdayakan mereka.

Avatar
  • January 8, 2018
  • 10 min read
  • 404 Views
Transpuan Lawan Patriarki Bersama Swara

Tampak luar, Salon Swara yang terletak di sebuah pemukiman padat di Jakarta Timur itu tidak terlihat menonjol di antara bangunan-bangunan tembok di sekitarnya atau salon-salon menengah ke bawah lainnya.
 
Saat saya masuk ke dalam salon di lantai bawah bangunan berlantai dua siang itu, langsung terdengar celotehan ramai para transgender perempuan atau transpuan. Kelakarnya ada yang sedikit vulgar, dengan pembahasan soal selangkangan dan hormon.
 
“Maaf mbak, beginilah memang, mulutnya pada enggak ada saringannya,” ujar Echa, pegawai salon seluas sekitar 2×5 meter yang dicat merah muda itu.
 
Yang membuat salon ini berbeda, salah satunya adalah poster di dinding yang bertuliskan “40 Hak Konstitusional dalam 14 Rumpun” berikut poin-poin di dalamnya. Di tempat ini para transpuan sadar politik dan terlibat dalam beragam aktivisme.
 
Rere Agistya, 24, misalnya, siang itu hendak ikut acara Kamisan dengan Komisi Nasional untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS). Siti Syakila, 24, sedang bersiap untuk bertemu panitia penyelenggara Women’s March, dan ia membahas kostum yang akan ia kenakan pada acara itu.
 
“Aku mau pakai kebaya putih berdarah-darah. Ooh, mungkin makeup matanya harus hitam-hitam kayak ditonjok gitu ya,” ujarnya.
 
Sementara itu, Rebecca Nyuei, 25, yang telah saya kenal sebelumnya dalam sebuah diskusi, sedang berada di Valencia, Spanyol, sebagai salah satu delegasi Indonesia untuk Internet Freedom Festival (IFF).
 

Suasana di Salon Swara (2017) dengan para transpuan, antara lain Siti Syakila (kiri atas), Anggun Pradesha (kanan atas), dan Rere Agistya (kiri bawah, sedang didandani).

Swara sendiri adalah singkatan dari Sanggar Waria Remaja, tempat para waria atau transpuan muda mendapatkan edukasi mengenai hak dan aktivisme. Awalnya, lembaga ini merupakan bagian dari Yayasan Srikandi Sejati, yang bergerak dalam pemberdayaan transpuan atau waria. Pada 2011, Swara kemudian memisahkan diri dan fokus pada pemberdayaan transpuan berusia di bawah 30 tahun, serta program inklusi sosial untuk menjalin hubungan antara waria dan masyarakat umum.
 
Saat ini anggota Swara mencapai 250 waria dengan tujuh orang staf. Salon Swara  sendiri merupakan satu aktivitas pencarian dana dan juga tempat berkumpul para transpuan. Sementara itu, lantai dua adalah tempat untuk kantor dan koperasi simpan pinjam bagi para anggota.

 

 

Namun itu beberapa bulan lalu. Sekarang, sayangnya, Salon Swara vakum karena ketiadaan anggaran untuk menyewa tempat dan pemasukan salon yang makin hari makin menurun, salah satunya karena banyaknya saingan. Echa, pegawai tetap satu-satunya di tempat itu, sekarang membuka salon sendiri.
 
Ketiadaan tempat tidak membuat para transpuan ini kecil hati. Swara berbagi kantor di tempat Arus Pelangi, federasi lesbian, gay, biseksual, transgender, transeksual, dan interseksual (LGBTI) Indonesia.
 
“Koperasinya sih masih berjalan, sudah dua tahun,” ujar Rebecca, yang juga salah satu penggagas koperasi Swara, baru-baru ini.
 
“Sekarang kumpul-kumpulnya di kantor Swara, kadang di Ragunan, kadang di tempat kost teman-teman. Tergantung kesepakatan. Koperasinya sangat cair.”
 
Paling rentan
 
Dari kelompok LGBT, transpuan atau waria adalah yang paling rentan mengalami diskriminasi dan kekerasan karena secara fisik, visibilitasnya paling nyata.
 
Data 2016 dari Swara menunjukkan bahwa sekitar 38,4 persen dari komunitas waria muda pernah mengalami kekerasan dari organisasi masyarakat, serta 26,8 persen dari mereka pernah dirazia oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
 
Diskriminasi dari masyarakat membuat waria kesulitan mencari pekerjaan dan terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Hasil riset 2015 dari para peneliti di Universitas Atma Jaya, Jakarta, menunjukkan bahwa 67 persen waria bekerja menjadi pekerja seks di jalan, dan hampir sepertiga dari populasi waria (27 persen) menyebut mengamen sebagai pekerjaan utama mereka. Hanya sebagian kecil dari mereka yang mengoperasikan usaha kecil dalam sektor kecantikan dan mode, hiburan, dan pekerjaan kantoran.
 
Secara ekonomi, berdasarkan data Swara, komunitas waria muda di Jakarta tidak memiliki pendapatan tetap dengan rata-rata penghasilan Rp 500.000 – Rp 1.000.000 per bulan (94,2 persen). Sebagian besar dari mereka (96,4 persen) tinggal sendiri (kontrakan dan kosan) dan sisanya tinggal dengan keluarga.

Menjadi pekerja seks dan pengamen bukan pilihan yang diinginkan oleh banyak waria, menurut Swara, namun karena sektor kerja formal dan informal tidak memberikan dan membuka kesempatan bagi mereka untuk bekerja.
 
“Yang menjadi masalah utama adalah kartu identitas, padahal itu hak dasar tapi tidak didapatkan waria. Akibat tidak ada KTP (kartu tanda penduduk), maka banyak yang tidak memiliki tabungan di bank, atau asuransi,” ujar Anggun Pradesha, salah satu staf inti Swara.
 
Dari survei terhadap 224 waria muda dampingan Swara di Jakarta, hanya 34,4 persen dari mereka yang memiliki KTP. Hal ini, antara lain, karena banyak dari mereka yang diusir dari rumah atau kabur dari rumah karena tidak nyaman dengan perlakuan yang diterima mereka. Mereka pergi dari rumah di usia yang sangat muda dan terpaksa harus bekerja dan hidup di jalanan. Seperti yang dikatakan Anggun, hal ini juga berdampak pada sulitnya waria muda untuk mengakses layanan dasar seperti asuransi kesehatan pemerintah BPJS, layanan kesehatan di bank, layanan transportasi, dan lain sebagainya.
 
“Akhirnya kita coba bantu. Tahun lalu yang buat KTP baru cuma lima orang. Lalu kita dorong untuk pulang dulu ke kampung dan buat surat pindah. Itulah sebabnya kita buat koperasi simpan pinjam karena banyak yang enggak bisa ke bank,” kata Anggun, pekerja seks dan pembuat film, salah satunya film dokumenter Emak dari Jambi (2015), yang mengisahkan hubungan dia dan ibunya.
 
Aktivisme
 
Anggun, demikian juga dengan Rere, Syakila, dan Rebecca, adalah lulusan Trans School, semacam sekolah alternatif untuk para transpuan berusia di bawah 30 tahun, yang menggabungkan pengajaran di kelas dan magang, untuk memberdayakan mereka. Tujuannya adalah untuk mengurangi stigma, kekerasan, dan diskriminasi terhadap transpuan muda di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
 

Siti Syakila (kiri) berpartisipasi dalam Women’s March 2017. (Foto: Adit/Women’s March Jakarta) 

“Awalnya di DKI Jakarta pada 2010, mulai meluas ke Bodetabek tahun 2014. Tahun ini angkatan kelima. Paling cepat dua tahun sekali diadakannya, paling lama tiga tahun sekali. Empat tahun pertama dibiayai oleh HIVOS. Tahun 2017 ini biaya kolektif dari Kemitraan, Outright, Arus Pelangi, dana dari Belanda, Indie Gogo, Ford Foundation,” ujar Anggun.
 
Meski pada akhir program ada pemilihan pemenang yang mirip ratu kecantikan, tapi Trans School lebih dari itu.
 
“Dikemas supaya menarik saja seperti beauty pageant. Tapi Trans School lebih dari itu, para waria belajar tentang kapasitas diri. Dibatasi untuk remaja, karena untuk regenerasi. Mengapa di bawah 30 tahun, karena biasanya usia remaja biasa mereka melacur di jalanan,” kata Anggun, yang merupakan juara kedua Trans School angkatan kedua.

Selama tiga bulan, para peserta ini belajar di kelas secara reguler, mendapatkan materi-materi mengenai hak-hak mereka, public speaking, kekerasan seksual, dan lain-lain. Selain itu mereka juga melakukan kunjungan ke berbagai lembaga, seperti Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).
 
Para transpuan ini juga mendapatkan materi agama dari ustaz yang memiliki perspektif positif mengenai gender. Seperti juga kebanyakan masyarakat Indonesia, mereka sejak kecil didoktrin agama dan agama terus menjadi bagian dari kehidupan mereka.

“Teman-teman (waria) masih punya religiositas. Kalau mau mejeng, bilang bismillah. Dapat duit bilang alhamdulillaah. Ketangkep Satpol PP teriak ‘Ya Allaaah’,” ujar Syakila, disambut tawa yang lain. Ia menambahkan bahwa meskipun ajaran Islam terasa bertentangan baginya, ia masih melaksanakan salat.
 
Rebecca bahkan terkadang memakai jilbab karena dia memang merasa nyaman mengenakannya.
 
“Banyak teman trans yang religius, cuma enggak pernah dapat perspektif yang bagus saja. Waktu di Trans School, ustaznya berperspektif gender, dan dia bilang, silakan jika salat, ingin mengidentifikasi diri sebagai siapa,” ujarnya.
 
“Teman trans ada yang salatnya masih pakai peci dan sarung. Saya saja suka pakai kerudung, lebih sebagai fashion, penutup kepala. Dan untuk memecahkan stigma atau stereotip bahwa trans itu vulgar dan suka pakai baju seksi,” tambah Rebecca yang sempat kuliah selama dua semester di Sekolah Tinggi Agama Islam, Bengkulu, jurusan Perbankan Syariah.
 
Peningkatan konservatisme agama dalam masyarakat saat ini membuat para transpuan khawatir. Selain semakin sulit mencari pendanaan untuk aktivisme mereka, situasi ini membuat mereka juga menjadi target kekerasan.
 
“Penerimaan (terhadap waria) kadang paling tinggi karena kita dianggap perempuan. Tapi kita juga paling rentan. Contohnya waktu same sex marriage disahkan di AS, waria yang diserang duluan,” ujarnya.
 
Swara sebetulnya ingin menyelenggarakan Trans School dengan skala nasional tahun depan, tapi dengan situasi seperti sekarang, mencari pendanaan menjadi lebih sulit.
 
Keamanan di Dunia Maya
 
Saya bertemu Rebecca pertama kali dua tahun lalu, pada acara pemutaran film-film dokumenter mengenai waria, karya Tonny Trimarsanto. Magdalene bekerja sama dengan Kinosaurus meminta Rebecca untuk menjadi pembicara dalam diskusi setelah pemutaran film, mengenai kesempatan kerja untuk para waria.

Setelah itu kami bertemu lagi beberapa bulan lalu setelah Rebecca pulang dari Valencia untuk menghadiri IFF. Saat itu sedang hangat diberitakan mengenai pernyataan novelis terkenal asal Nigeria, Chimamanda Ngozi Adichie, yang mengatakan bahwa transpuan tidak bisa dikatakan perempuan karena pernah menjadi laki-laki dengan segala hak istimewanya.
 
“Hak istimewa apa yang didapat? Aku enggak merasakan. Yang ada perisakan. Trans laki-laki juga alami diskriminasi tapi perempuan berpenampilan maskulin lebih bisa diterima. Kalau transpuan diolok-olok, ‘kok enggak bisa manjat, kok enggak bisa main bola’. Sangat patriarkal. Aku kira kalau soal hak istimewa itu masalah kelas sosial juga,” ujar Rebecca.
 

Rebecca Nyuei (kanan) dalam diskusi mengenai transpuan yang diadakan oleh Magdalene dan Kinosaurus.

Ia sangat senang berkesempatan berpartisipasi dalam IFF tahun lalu, terlibat dalam sesi mengenai pengalaman LGBT dalam penggunaan teknologi digital untuk bertemu orang lain, termasuk klien. Hal ini penting, terutama bagi pekerja seks yang banyak beralih dari jalanan ke internet.
 
“Di sana dibahas bagaimana gerakan LGBT di internet. Lalu ada digital security training, bagaimana menggunakan aplikasi-aplikasi yang aman,” kata Rebecca.

Peningkatan konservatisme agama serta adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) membuat para transpuan resah, terutama yang pekerja seks. Tahun lalu, menurut Rebecca, ada seorang waria yang tersangkut kasus pornografi dalam UU ITE.
 
“Internet lebih praktis daripada di jalanan, karena ada Satpol PP. Tapi dilemanya adalah UU ITE. Jika mendapatkan kekerasan, enggak berani melapor karena takut berbalik digugat oleh UU ITE. Kalau ada teman trans yang mengalami kekerasan, kami bantu, tapi tidak bisa dibawa ke ranah hukum,” ujarnya.
 
Para transpuan yang pekerja seks, menurut Rebecca, menggunakan sistem keamanan berkelompok, dengan memberitahu teman informasi lokasi dan klien.
 
“Kami tidak terlalu butuh aplikasi atau tools, tapi butuh strategi,” ujarnya.
 
Soal pekerja seks sendiri, Rebecca mengatakan sebagian besar waria menjadi pekerja seks karena ketiadaan pilihan bekerja, tapi ada juga yang memang keinginan sendiri, termasuk dirinya.
 
“Kebanyakan terpaksa, tapi akhirnya suka. Aku suka, dan itu harus dilindungi juga kan. Kita juga punya otoritas, terhadap diri dan tubuh kita,” katanya.
 
“Yang harus diubah itu mindset orang terhadap pekerja seks. Bahwa itu dosa, uang haram, itu terinternalisasi. Kita berpikir saja bahwa itu jasa, dan menghargai tubuh sendiri. Kerja seks adalah pekerjaan.”
 
Prioritas Swara saat ini, menurut Rebecca, adalah memperkuat internal dengan gencarnya gerakan melawan LGBT, yang membuat dirinya bahkan tidak berani keluar malam sendirian.
 
“Jika melakukan banyak aktivisme keluar, takutnya ada reaksi buruk. Baru maju sedikit aktivisme yang dilakukan, selalu ada kasus. Misalnya anggota DPRD di Brebes yang dituduh gay, atau kasus-kasus di Aceh. Kemudian upaya untuk memperluas makna zina dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” ujarnya.
 
“Jadi kami akan perkuat di dalam. Diam-diam saja dulu. Untuk Trans School saja kami tidak undang-undang wartawan, pilih-pilih saja karena takut reaksinya jika dimuat media.”

Baca profil aktivis Timor Leste ini dan ikuti @heradiani di Twitter.


Avatar
About Author

Hera Diani

Hera Diani, like many Indonesians, has two names and she relishes the fact that Indonesian women do not have to take the surname of their fathers and husbands. Pop culture is her guru, but she is critical of the terrible aspects of it, such as the contents with messages of misoginy and rape culture, and The Kardashians.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *