Politics & Society

Tren Menikah Muda, Mencari Jalan Ke Surga

Ketika kita percaya bahwa jaminan surga kita berada di tangan suami, kita sedang mengelu-elukan patriarki.

Avatar
  • April 4, 2017
  • 10 min read
  • 658 Views
Tren Menikah Muda, Mencari Jalan Ke Surga

“…And my sister…
In her artificial home,
with her artificial goldfish,
and in the security of her artificial husband’s love,
and under the branches of artificial apple trees,
she sings artificial songs and produces real babies….”
 
(I Feel Sorry for the Garden oleh Forugh Farrokhzad)
 
Sepertinya sudah beberapa kali saya menulis, atau paling tidak menyinggung, tema pernikahan pada konteks perempuan muda Muslim Indonesia. Akan tetapi, topik yang sama selalu muncul dalam kehidupan keseharian, entah melalui diskusi bersama teman, status-status yang melintas di newsfeed, maupun artikel-artikel yang saya baca.
 
Belakangan ini, topik besar dan rumit tersebut kembali mewarnai pemikiran saya. Seorang teman berbagi keresahannya tentang puntiran komodifikasi pernikahan yang telah meresap dalam budaya pop remaja Muslim (terutama perempuan) di Indonesia.
 
Ada beberapa hal menarik yang saya amati terkait ‘industrialisasi pernikahan’ di kalangan Muslim Indonesia dalam beberapa waktu terakhir. Pertama, perubahan perspektif terhadap pernikahan. Saya ingat, waktu saya masih kecil, hampir tidak ada yang suka ketika mereka dinikahkan atau menikah di usia muda. Semasa SMA, percakapan saya dengan teman-teman perempuan berkutat seputar model baju dan jurusan apa yang akan kami ambil ketika kuliah nanti, bukan tentang ‘ikhwan’ mana yang akan menjadi ‘imam’ kami. Sinetron pun di kala itu menyampaikan pesan tentang betapa ‘kejamnya’ pernikahan di usia muda. Berbeda jauh dengan apa yang saya amati saat ini.
 
Seperti anak kecil yang terbujuk oleh rayuan sekantong permen agar mau disuntik (yang penting dari gambaran ini adalah ‘anak kecil’-nya, bukan ‘suntikan’ atau ‘permen’-nya), pemuda-pemudi Muslim di Indonesia berbondong-bondong memuja institusi pernikahan. Sebagian diantaranya malah menjadikan pernikahan sebagai tujuan hidup. Tak ayal, energi masa muda yang seharusnya didedikasikan untuk perbaikan kualitas hidup diri sendiri dan orang lain, terserap habis dalam pusaran pencarian jodoh yang tak ada akhirnya. Segala doa dan usaha terpanjat hanya untuk menemukan ‘sang imam sejati’ atau ‘sang bidadari surga’. Posting-an Facebook penuh dengan puisi-puisi untuk jodoh di masa depan.
 
Hal ini terutama tampak pada para perempuan muda Muslim. Jarang saya temui posting-an Facebook tentang kepedulian akan situasi politik internasional, perkembangan krisis di negara-negara mayoritas Muslim atau inisiatif sosial kemasyarakatan dari kawan-kawan pemudi Muslim. Lain dengan foto-foto pengantin Turki atau Malaysia, doa-doa supaya anak tidak nakal (walaupun si empunya laman masih lajang) atau gambar kartun pasangan Muslim (biasanya dengan perempuan bercadar dan laki-laki berjenggot) yang mengingatkan saya pada cerita-cerita happily ever after ala Disney, yang tak terhitung jumlahnya.
 
Tekanan sosiokultural untuk cepat-cepat menikah (terutama pada perempuan) tentu bukan barang baru di Indonesia. Namun, seperti yang saya singgung di atas, perempuan Muslim Indonesia di masa lampau cenderung untuk berkata tidak terhadap tekanan tersebut dan memilih untuk fokus terhadap masa depan mereka.
 
Sekarang ini, paling tidak dari apa yang saya lihat, perempuan Muslim Indonesia cenderung untuk memeluk tekanan tersebut dan menjadikannya sebagai suatu hal yang lazim. Tentu orang bisa berargumen, “menikah dan berkarir itu bukan hal yang harus dipisahkan satu sama lain, kok” atau “menikah itu mendatangkan rezeki.” Masalahnya adalah, apakah kita sebagai perempuan benar-benar menginginkan pernikahan tersebut atau pernikahan telah menjadi semacam ajang pembuktian tunggal untuk keperempuanan kita yang telah sedemikian sempitnya didefinisikan oleh masyarakat?
 

Energi masa muda yang seharusnya didedikasikan untuk perbaikan kualitas hidup diri sendiri dan orang lain, terserap habis dalam pusaran pencarian jodoh yang tak ada akhirnya.

 
Saya tidak sedang dalam misi menolak pernikahan di sini, saya hanya mempertanyakan ke mana larinya kemerdekaan kita sebagai perempuan sehingga kita dengan patuhnya berubah menjadi kloning-kloning Hawa versi tradisionalis dengan takdir tak lebih dari sekedar menjadi ‘makmum yang shalihah’. Tekanan terhadap seksualitas dan peranan gender perempuan tak akan usai dengan segera, namun seperti halnya Kartini, kita bisa memilih untuk mendefinisikan diri kita menjadi manusia seutuhnya karena kita adalah manusia seutuhnya.
 
Pasar dan budaya pop
 
Sayangnya, kecenderungan pasar tak banyak membantu pemudi-pemudi Muslim untuk bangun dari mimpi panjang ini. Sinetron dan film menjadi ajang kampanye terbesar bagi pesan-pesan surgawi yang mengelu-elukan kualitas submisif untuk perempuan. Muslimah shalihah adalah mereka yang mencium tangan suami sehabis shalat berjamaah, pandai memasak, subur dengan beberapa anak, hanya mampu menangis pada Tuhan ketika disakiti, rela dipoligami, dan tak lupa, berjilbab lebar dan berabaya. Tak ada gambaran tentang Benazir Bhutto, Malala Yousafzai, Nana Asma’u, Asma Barlas, Kartini dan Musdah Mulia sebagai perempuan shalihah.
 
Pasar konsumsi pakaian dan perlengkapan perempuan (mohon maaf kepada kawan-kawan transgender, transseksual, interseksual dan kawan-kawan dari ragam orientasi gender lainnya atas generalisasi saya di sini) pun demikian. Tidak ada lagi kerudung panjang nan elegan yang biasa dipakai nyai-nyai pesantren zaman dulu yang biasanya dikombinasikan dengan kebaya dan kain. Model tersebut telah tergantikan dengan abaya dan jilbab lebar nan halal yang menutup semua lekuk tubuh perempuan. Tak ada yang peduli dengan fleksibilitas pendefinisian aurat dalam Fiqh klasik. Semuanya terserap dalam pusaran representasi seksual gaya baru yang diimpor dari negara-negara Teluk.
 
Di sini saya teringat akan sebuah artikel di New York Times yang berjudul provokatif, “Penderitaan Seksual Dunia Arab”. Artikel ini memaparkan betapa pengekangan seksualitas di negara-negara Arab, yang dijustifikasi dengan klaim-klaim Islami, menjadi bencana bagi masyarakat Arab sendiri. Tingkat pornografi dan pelecehan seksual pada perempuan menjadi sangat tinggi di negara-negara tersebut karena tidak adanya pembiasaan untuk memeluk seksualitas sebagai bagian dari fakta kemanusiaan.
 
Saya tidak sedang mengampanyekan seks bebas di sini, yang saya kritik adalah tata aturan tentang aurat yang tidak mengindahkan fakta bahwa manusia, selain makhluk politik, juga adalah makhluk seksual. Artikel tersebut di atas menjelaskan apa yang terjadi ketika kita coba-coba mengadopsi representasi seksual negara-negara Timur Tengah. Kultur seksual Timur Tengah jauh dari suci dan ‘Islami’, malah mengandung pola-pola patologis. Hijab bagi sebagian besar perempuan Muslim di sana adalah bentuk opresi. Bagi saya, tak ada alasan untuk tidak kembali kepada model jilbab ‘Indonesiawi’ yang merupakan kombinasi indah dari komitmen terhadap ortodoksi Islam dan kepekaan seksual budaya Nusantara.
 
Hal kedua yang saya amati dari tren ‘ayo menikah’ ini adalah betapa justifikasi keagamaan yang diusung sesungguhnya sangat paradoksikal terhadap prinsip-prinsip agama itu sendiri. Islam adalah agama yang paling individualis yang pernah saya pelajari dan coba pahami. Tidak ada seorang pun dari kita yang menanggung beban dosa atau menerima pahala orang lain. Bahkan tidak ibu kepada anaknya sekalipun.
 
Al-Quran adalah kitab suci paling egalitarian dan feminis yang pernah saya temui. Cendekiawan Muslim Asma Barlas menyebutkan tiga dimensi terpenting dari kualitas ketuhanan Allah, yaitu keesaan, keadilan, dan ketunggalan. Keesaan Allah berarti bahwa tidak ada seorang pun yang bisa melakukan mediasi dalam hubungan kita kepada-Nya. Kita-lah yang bertanggung jawab langsung kepada Allah. Kita yang membawa diri kita ke surga, atau ke neraka. Dalam konteks ini perkataan “imamku yang akan membawaku ke surga” adalah menyalahi keesaan Allah, karena tak ada seorang pun yang memiliki percikan kualitas ketuhanan yang memungkinkannya untuk “melobi” surga Allah bagi kita. Kita semua akan mendapatkan surga atau neraka kita sendiri-sendiri.

 

 


 
Kedua, tentang dimensi keadilan Allah. Keadilan-Nya telah membuat perempuan dan laki-laki memiliki kemanusiaan yang sama. Laki-laki tidak seujung kuku pun lebih unggul dari perempuan dalam hal apa pun. Kita semua terbuat dari ruh yang satu (nafs wahidan). Mitos tragedi seksual Eve yang direpresentasikan dalam dua bentuk penderitaan (menstruasi dan melahirkan anak) tidak memiliki tempat dalam Islam. Perempuan, sejak awal penciptaannya, tidak memiliki dosa khusus yang harus ditanggungnya seumur hidup.

Pandangan perempuan sebagai sosok penggoda yang selalu membawa laki-laki ke jalan yang salah merupakan pandangan yang tidak Qurani. Bagaimana mungkin Islam memandang perempuan sebagai sosok penggoda sedangkan Allah menurunkan ayat khusus untuk merespons pertanyaan Ummu Salamah tentang kesetaraan gender dalam Alquran?
 
Ketiga, tentang ketunggalan-Nya. Dimensi ini berarti bahwa Allah tak dapat diasosiasikan atau dibandingkan dengan apa pun. Namun apa yang terjadi ketika kita percaya bahwa jaminan surga kita berada di tangan suami? Betul, kita sedang mengelu-elukan patriarki.
 
Patriarki sendiri mengandung banyak definisi. Namun satu hal yang pasti, patriarki merupakan sistem sosial budaya yang menghubungkan keistimewaan moral, religius dan intelektual dengan perbedaan biologis (laki-laki mampu membawa kita ke surga hanya karena ia laki-laki, dll). Ini berarti ketika kita meyakini bahwa suami kita-lah yang akan membawa kita ke surga, kita telah menempatkan suami di antara “berhala-berhala kecil” yang kita puja setiap hari, seperti standar moralitas dan institusi keagamaan.
 
Menghindari perzinahan?
 
Mereka yang setuju dengab tren “ayo menikah” punya satu alasan lain, yakni menghindari perzinahan. Ketakutan akan perzinahan menurut saya berakar pada dua hal. Pertama, hidup yang kurang produktif sehingga fokus diri hanya tertuju pada kebutuhan seksual. Kedua, faktor lingkungan yang mendefinisikan kedirian seseorang hanya berdasarkan capaian seksualnya saja. Misalnya, perempuan dianggap sukses hanya ketika ia menikah atau mengandung, atau ucapan untuk laki-laki yang sangat seksis ketika mereka baru menikah (“selamat bro”, “akhirnya jadi laki-laki juga”, dll) seakan-akan kelelakian hanya ditunjukkan dengan meniduri perempuan.
 
Faktor terakhir juga diperkuat dengan pengekangan ekspresi seksual ala negara-negara Teluk yang sudah saya bahas tadi. Siapa yang tidak ingin cepat menikah ketika dihadapkan dengan perempuan “shalihah” nan submisif yang mencari jalan ke surga hanya melalui kepatuhannya terhadap suami? Rata-rata lelaki pasti ingin segera meniduri perempuan seperti itu. Siapa juga yang tidak meleleh melihat laki-laki ‘bertakwa’ dengan baju koko dan jenggot panjang yang siap menjadi imam shalat dan ayah dari ‘mujahid-mujahid’ kecil yang akan kita lahirkan? Itulah sosok ideal suami bagi perempuan Muslim zaman sekarang.
 
Intinya, kita begitu sibuk mengekang ekspresi seksual kita dengan abaya, jilbab lebar, tak bersentuhan dengan non-muhrim, baju koko, dan jenggot, namun ternyata kehidupan kita dan simbol-simbol yang kita agungkan sekarang ini penuh dengan makna-makna seksual. Simbol-simbol yang membuat kita ingin bersegera menghalalkannya. Janji surga yang sensual. Jangan kaget kalau slogan “menghindari perzinahan” lebih banyak diteriakkan di masa kini daripada di masa lalu. Karena sesungguhnya kita lebih ekspresif secara seksual sekarang ini walaupun dengan kulit yang berbeda.
 
Satu hal lagi, jika para pemuda-pemudi Muslim yang mendambakan sosok-sosok shalih-shalihah untuk jodoh masa depannya itu berpikir bahwa apa yang mereka lakukan adalah sesuatu yang “Islami” dan (dengan demikian) merupakan kontras terhadap budaya “Barat”. Mereka salah. Kecenderungan untuk mengidolakan sosok perempuan keibuan yang submisif dan menunggu untuk ditolong laki-laki untuk masuk surga, dan kecenderungan untuk mengidolakan sosok laki-laki tangguh yang akan menolong damsel in distress di saat-saat terakhir adalah kloning murni dari dongeng ala Disney. Tren tersebut mewarnai dunia Barat di abad ke-19 ketika industri film mengadopsi cerita-cerita komunal (folktales) ke layar kaca. Dan sekarang tren tersebut muncul lagi setelah cerita yang sama diadopsi menjadi serial televisi. See? ternyata masyarakat “Islami” kita adalah cerminan dari masyarakat “Barat”! 
 
Akhir kata, mengulang perkataan saya dengan seorang teman tentang tren “ayo menikah” di Indonesia, perempuan (terutama Muslim) Indonesia masih harus berjuang untuk membebaskan diri mereka dari dua hal. Pertama, sindrom pascapenjajahan yang membuat kita merasa inferior di panggung internasional. Kedua, dari konteks sosial, budaya dan keagamaan yang patriarkal. Perjuangan ini tentu akan menjadi jauh lebih mudah ketika kita sesama perempuan menjalin diskursus reflektif tentang apa-apa yang telah kita lakukan yang secara langsung maupun tidak telah memperkuat norma-norma patriarki. Kita bisa memulainya dari kesadaran diri bahwa keperempuanan kita tidak dapat didefinisikan oleh fungsi reproduktif dan seksual semata. Dan ayolah, kita bisa mendapatkan surga tanpa laki-laki, Allah menjamin itu.
 
Lailatul Fitriyah adalah mahasiswi doktoral pada program Agama-agama Dunia dan Gereja Global di Jurusan Teologi, Universitas Notre Dame, Indiana, Amerika Serikat. 


*Foto-foto oleh Azlan Dupree.


Avatar
About Author

Lailatul Fitriyah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *