Ada yang Amis dari Tren “10 Ribu di Tangan Istri yang Tepat” Kok Bisa?
Beberapa waktu lalu, tren “10 ribu di tangan istri yang tepat” ramai jadi pembahasan di media sosial. Isinya? Para istri menunjukkan bagaimana uang Rp10.000 bisa mereka sulap jadi belanjaan yang cukup.
Narasinya terdengar manis—istri yang bisa mengatur uang sekecil apa pun dianggap “istri yang tepat.”
Padahal di balik lucunya, tren ini menegaskan banyak stereotip khas patriarki yang bukan cuma jadi membebani perempuan, tapi juga laki-laki secara individual.
Kenapa?
Baca juga: Di Balik Jumat Berkah: Solidaritas Perempuan vs Beban Perawatan yang Tak Pernah Usai
Normalisasi Peran Gender Tradisional
Kenapa trennya bukan 10 Ribu di tangan suami yang tepat? 🧐
Jawabannya jelas, dalam masyarakat yang masih menempatkan kesejahteraan rumah tangga sebagai tanggung jawab perempuan, kemunculan tren begini sebenarnya bukan hal mengejutkan. Ia justru menegaskan lagi posisi perempuan pada peran gender tradisional.
Lewat media sosial, narasi ini disebarkan dengan cara yang tampak lucu dan relatable—padahal sebenarnya memperkuat anggapan kalau urusan mengatur uang, belanja, dan kebutuhan rumah tangga otomatis jadi tanggung jawab perempuan.
Akhirnya, narasi kayak ini bikin banyak orang percaya bahwa keluarga bisa bertahan dengan uang terbatas: asal istri pintar ngatur keuangan. Sebaliknya, saat ekspektasi ini enggak tercapai, perempuan lagi yang disalahkan. Mereka bakal dianggap boros, enggak becus, atau disebut bukan “istri yang tepat.”
Padahal, mengatur keuangan rumah tangga sendiri adalah bagian dari kerja domestik tak berbayar. Dan ini jadi beban mental dan emosional yang selama ini dilimpahkan terhadap perempuaan tanpa pengakuan.
Baca juga: ‘Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah’: Menonton Pernikahan Sebagai Tokoh Antagonis
Romantisasi Keterbatasan Finansial
Enggak cuma normalisasi peran gender tradisional, narasi ini juga berbahaya karena turut meromantisasi kemiskinan. Alih-alih menuntut kondisi ekonomi yang lebih adil, seperti upah layak, akses kerja setara, dan harga bahan pokok yang terjangkau, masyarakat justru diajak percaya bahwa “istri yang baik” adalah yang bisa memaklumi keterbatasan finansial.
Dengan kata lain, kesulitan ekonomi dikemas jadi pujian buat perempuan. Selama beban ini terus ditimpakan pada perempuan, kita akan terus gagal melihat akar masalahnya: ketimpangan struktural ekonomi.
Lebih jauh, romantisasi kemiskinan dan glorifikasi “istri yang tepat” ini berkaitan langsung sama struktur ekonomi yang enggak layak bagi keluarga untuk hidup lebih sejahtera. Padahal, kesejahteraan rumah tangga enggak bisa ditanggung satu pihak saja.
Menormalisasi narasi istri yang tepat bisa belanja banyak dengan uang Rp10 ribu cuma akan menjauhkan kita dari masalah sebenarnya: fakta bahwa banyak orang sedang hidup di ekonomi yang sulit—sesuatu yang harusnya jadi tanggung jawab pemerintah.
Menurut kamu gimana?
















