Ubud Writers & Readers Festival 2025: Merayakan Keragaman dan Penulis Indonesia pada Dunia
Ubud Writers & Readers Festival (UWRF), salah satu ajang sastra paling bergengsi di Asia Tenggara, resmi dibuka pada Rabu (29/10) di Puri Kantor Legacy, Ubud. Dalam sambutan pembukaannya, pendiri sekaligus direktur festival, Janet DeNeefe, menegaskan semangat besar di balik perhelatan tahun ini.
“Kami sangat antusias menghadirkan edisi terbaru Festival yang kini telah tumbuh menjadi ruang sastra paling berpengaruh di kawasan,” ujarnya.
DeNeefe menambahkan, tahun ini UWRF menghadirkan lebih banyak percakapan lintas budaya dan perspektif, sehingga menjadikannya bukan sekadar perayaan literasi, tetapi juga ruang dialog yang inklusif dan progresif.
Baca juga: Ubud Writers & Readers Festival 2025 Gandeng Leila S. Chudori hingga Banu Mushtaq
Selama empat hari penyelenggaraan, festival yang telah memasuki tahun ke-22 ini menyuguhkan lebih dari 200 acara di berbagai lokasi di Ubud. Rangkaian kegiatan tersebut meliputi diskusi panel, percakapan publik, kelas master, acara khusus, hingga makan siang sastra, tur berpemandu, dan pertunjukan spoken word.
Tidak hanya itu, UWRF juga menyediakan sejumlah program gratis yang terbuka untuk masyarakat, seperti peluncuran buku, pertunjukan musik dan seni, komedi malam, hingga pemutaran film yang menyoroti tema sosial dan kemanusiaan.
Tahun ini, jajaran tamu internasional yang hadir semakin memperkuat posisi UWRF sebagai panggung literasi global. Di antaranya terdapat Banu Mushtaq, penulis dan aktivis perempuan asal India, yang bersama penerjemahnya Deepa Bhasthi baru saja meraih International Booker Prize 2025 lewat kumpulan cerpen Heart Lamp. Hadir pula Jenny Erpenbeck, novelis asal Jerman peraih International Booker Prize 2024 lewat karyanya Kairos.

Baca juga: Sasti Gotama: Menulis Luka, Mengangkat Suara yang Dibungkam
Deretan tokoh lain yang turut memeriahkan festival meliputi Omar El Akkad, penulis Mesir-Kanada yang dikenal lewat novel-novel bertema migrasi dan konflik; Shiori Itō, jurnalis dan penulis asal Jepang yang vokal soal isu kekerasan seksual dan kesetaraan gender; Antoinette Lattouf, jurnalis Lebanon-Australia yang memperjuangkan keragaman media; serta Pico Iyer, esais kelahiran Inggris yang dikenal melalui tulisan-tulisan reflektifnya tentang perjalanan dan spiritualitas.
Sebagai wadah penting untuk memperkenalkan penulis Indonesia ke kancah internasional, UWRF tahun ini juga menghadirkan sejumlah nama besar dan talenta muda. Okky Madasari, sosiolog dan penulis yang banyak menyoroti isu-isu gender, otoritarianisme, dan ketidakadilan sosial melalui karya sastranya yang tajam. Sedangkan generasi penulis baru seperti Sasti Gotama, penerima Kusala Sastra Khatulistiwa 2025 kembali tampil bersama dalam perhelatan ini.
Mengukuhkan komitmennya terhadap keberagaman dan regenerasi, UWRF tak lupa kembali menyelenggarakan program Emerging Writers. Tahun ini UWRF menyeleksi 10 penulis muda Indonesia dari total 647 peserta yang berasal dari berbagai daerah dari Aceh hingga Papua.
Karya mereka diterbitkan dalam antologi Stories from the Islands, menampilkan kekayaan narasi dari berbagai latar budaya dan sosial. Purnama Sari menjelaskan kurasi program ini tidak hanya berfokus pada kualitas karya, tetapi juga representasi yang luas mencakup gender, wilayah, dan eksplorasi kreatif yang unik.
“Kami percaya para penulis muda ini membawa suara baru yang merefleksikan kondisi sosial, krisis lingkungan, hingga spiritualitas dan mitologi yang khas Indonesia. Mereka menulis dari konteks yang beragam, dan saya yakin ini adalah cara kami mempersembahkan cermin dari situasi dan dinamika Indonesia hari ini,” tuturnya.
Dengan semangat merayakan kebebasan berekspresi, keberagaman, dan kekuatan cerita, UWRF 2025 kembali menegaskan posisinya sebagai ruang pertemuan bagi penulis, pembaca, dan pemikir dari seluruh dunia.
















