Ulasan ‘Feminis Cari Ribut’: Sebuah Perjalanan Menjadi Feminis
Buku ‘Feminis Cari Ribut’ adalah refleksi mendalam tentang proses mencari dan menjadi seorang feminis.
Sebenarnya apa itu feminisme? Apakah ketika saya ingin lelaki dan perempuan setara, maka saya adalah feminis? Apakah ketika saya menganggap diri saya berbeda dengan kebanyakan perempuan, berarti saya feminis? Lalu jika saya menganggap feminis adalah soal perempuan bisa angkat galon sendiri, bagaimana? Apakah saya sudah jadi seorang feminis jika memilih tunduk pada standar kecantikan tertentu?
Setiap hari, kita disodori perdebatan tentang menjadi atau tidak menjadi feminis, seperti di atas. Orang-orang cenderung kebingungan bahkan sudah lebih dulu alergi mendengar kata feminis. Padahal bisa jadi kamu antipati pada feminisme, padahal yang kamu yakini dan lakukan sehari-hari adalah cerminan seorang feminis.
Satu hal yang perlu kita tahu, setiap orang tak lahir lalu tiba-tiba menjadi feminis. Setidaknya itu premis yang ingin disampaikan Feminis Cari Ribut terbitan Amongkarta. Buku ini sendiri menawarkan perjalanan pribadi mencari dan menjadi feminis di tengah budaya patriarki.
Karena mencari dan menjadi feminis adalah proses panjang nan menyakitkan, buku ini dengan jujur memperlihatkan berbagai rintangan yang harus dialami perempuan. Para feminis ini berulang kali dihadapkan pada situasi ketidakadilan yang melembaga di keluarga atau masyarakat. Ini membuat perempuan harus mengalah atau menyesuaikan diri dengan aturan tak tertulis yang membatasi potensi diri.
Berulang kali pula, perempuan ini harus melihat atau menjadi korban kekerasan. Mereka dipaksa bungkam atau kalah karena tak ada yang membela. Pengetahuan dan bias-bias pribadi pun akhirnya ditantang ulang. Sekuat tenaga, para puan mencari akar masalah dan berujung pada pencarian jati diri sebagai sosok feminis sejati.
Baca Juga: ‘Invisible Women’: Data Laki-laki yang Utama, Perempuan Nanti Saja
Kumpulan Refleksi
Buku non-fiksi setebal 150 halaman ini buat saya cukup asyik dibaca. Sebab, Feminis Cari Ribut tak perlu repot berceramah tapi sebenarnya gagal mengurai akar masalah yang membuat lelaki dan perempuan tak setara hingga kini.
Dari 11 refleksi yang ditulis feminis dari ragam identitas, ada tiga yang paling berkesan buat saya. Pertama adalah refleksi yang ditulis oleh Tri Murniati, staf pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jenderal Soedirman.
Ia bilang, kesadaran tentang kesetaraan dan keadilan gender tak pernah muncul dari ruang kosong. Dalam kasus Tri, kesadaran ini sudah mulai muncul sejak ia kecil lewat pengamatan-pengamatan sederhana tapi mengganjal di hati.
Tri selalu merasa aneh melihat masyarakat yang gemar mengotak-kotakkan perempuan dan lelaki. Cowok bisa duduk sembarangan, sedangkan cewek dituntut untuk duduk “sopan” dengan lutut berdekatan. Perempuan tak boleh makan belepotan dan harus menulis rapi. Sebaliknya, laki-laki tak apa duduk dengan kaki diangkat, makan belepotan, dan tulisanya acak adul bak ceker ayam.
Dalam urusan mengambil mata pelajaran keterampilan saja, perempuan dan laki-laki sudah diatur sedemikian rupa harus memilih apa. Anak laki-laki seharusnya memilih kelas Elektronika, sedangkan anak perempuan memilih kelas Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
Karena pergumulan dari kecil inilah, Tri sengaja mengambil kelas Elektronika demi membuktikan bahwa perempuan sama berbakatnya atau bahkan lebih baik. Sama halnya dengan hobi Tri mendengar musik rock metal dan main Playstation. Ia dianggap terlalu tomboy, tidak cocok menjadi perempuan.
Pengamatan dan pengalaman Tri tampak sederhana dan mungkin familier buat kita. Beruntung, ia bisa menemukan jawaban pergumulannya saat dewasa lewat penjelasan filsuf feminis Amerika Judith Butler. Perempuan itu mengatakan bagaimana gender dan peran adalah performance yang dilakukan seseorang dalam kehidupan sehari-hari dalam versi hegemoniknya tentang “laki-laki”/”maskulin” dan “perempuan”/”feminin”.
Feminis Cari Ribut juga menyajikan refleksi soal usaha melawan pelecehan dan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Ditulis oleh Ken Ayu Galuh Satiti, alumni Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, refleksi ini bercerita tentang jiwa pembangkang Ken Ayu sejak kecil.
Baca Juga: “Bagaimana Cara Mengatakan ‘Tidak’?” Tampilkan Perempuan di Lingkaran Kekerasan
Ia terus melawan dan sibuk memprotes ketidakadilan. Ia pernah protes karena tidak boleh jadi Dewan Ambalan Pramuka hanya karena dia adalah perempuan. Ia protes karena tak boleh ikut main sepak bola saat jam olahraga. Ia juga protes kenapa nilai diri perempuan disempitkan hanya lewat keperawanannya saja.
Namun segala perlawanan ini tak serta merta membuatnya jadi feminis. Kesadaran tak akan bisa sempurna tanpa ilmu dan empati. Butuh waktu lama bahkan sampai ia harus lebih dari 5 semester untuk mencari jati diri dan menjadi feminis. Namun, ketika kesadaran itu sudah ada, taring Ken Ayu semakin tajam.
Taringnya ia gunakan untuk cari ribut. Ia percaya untuk melawan sesuatu yang bukan nampak fisik dan berwujud material, yaitu sistem yang menjustifikasi kekerasan dan diskriminasi atas perempuan adalah dengan mengganggu ketenangan. Mengganggu kemapanan.
“Sebagai feminis, kita harus ribut. Ribut kita harus mengganggu kawanan publik yang terlalu lama membiarkan kekerasan,” tulis Ken Ayu.
Tidak ada cara lain untuk menyadarkan selain cari ribut. Inilah kenapa ia bergabung bersama tim #KitaAgni. Dengan kentongan, peluit dan nyanyian, Ken Ayu dan teman-temannya cari ribut di depan Gedung Rektorat. Mereka mendesak pejabat UGM untuk mengeluarkan dan mengusut tuntas pelaku pemerkosaan yang selama ini dilindungi atas nama baik kampus.
Refleksi terakhir yang ingin saya soroti dalam buku ini berjudul Pemberontakan dalam Keheningan. Ditulis oleh N. Aida Wardhani, refleksi ini kental dengan isu queer yang cenderung kontroversial di tengah publik.
Baca Juga: ‘As Long As Lemon Trees Grow’: Trauma dan Perlawanan dalam Konflik Suriah
Kelompok queer selalu dilihat sebagai ancaman, keanehan yang harus dibasmi. Berbagai peraturan dibuat untuk meminggirkan kelompok ini. Bahkan pada 2016, di dunia pendidikan mereka dijadikan sasaran kekerasan dan kebencian pasca-Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir melarang kelompok queer masuk ke kampus.
Ketika negara bahkan tak bisa memberikan rasa aman bahkan untuk sekadar mendapatkan hak hidup dan pendidikan layak, queer terpaksa hidup dalam ketakutan. Kebencian selalu menghantui tiap langkah hidupnya. Membuat mereka harus merasakan rasa sakit tak kasat mata. Mereka dipaksa terus bersembunyi seorang diri, dan tak bisa keluar.
Di tengah persembunyiannya, beruntung ada remaja queer yang menemukan “rumah” barunya. Rumah itu adalah gerakan feminisme. Itu kokoh membantu sang remaja menemukan sesuatu yang hilang dari dirinya.
Gerakan feminisme yang terus mengadvokasi dan berusaha mengamplifikasi suara-suara termarjinalkan mengajarkan remaja ini untuk menerima dan mencintai diri sendiri. Gerakan ini merangkulnya. Memberikan rasa aman dan pemahaman bahwa nyatanya ia tidak sendiri. Di saat bersamaan, feminisme pula yang hadir untuk menguatkannya untuk terus berjuang atas hak-hak kelompok queer. Sampai momen kemenangan itu tercapai, sang remaja akan terus mengingat bahwa:
“Feminisme adalah napas untuknya.”
Ilustrasi oleh: Karina Tungari