December 5, 2025
Culture Opini Politics & Society Screen Raves

Seperti ‘Autobiography’, Kekerasan Memproduksi Ulang Dirinya Sendiri

Dalam sistem yang didesain purna: dianggap normal dan tak ada yang berani gugat, kekerasan mencetak ulang dirinya sendiri.

  • September 27, 2025
  • 6 min read
  • 1812 Views
Seperti ‘Autobiography’, Kekerasan Memproduksi Ulang Dirinya Sendiri

Gelombang demonstrasi di akhir Agustus 2025 jadi penanda: kesabaran rakyat sudah habis. Di jalan-jalan, suara kemarahan menggelegar. Menuntut pemerintah bertanggung jawab. Menolak politik yang hanya menguntungkan segelintir elite. Menyuarakan jurang kesenjangan yang kian lebar.

Tapi teriakan itu tak dijawab dengan perubahan. Ia dibalas dengan represi. Puluhan demonstran masih ditahan hingga tulisan ini terbit. Luka tersisa. Pertanyaan tentang nasib mereka menggantung. Ironinya, polisi yang terluka justru naik pangkat. Di ruang publik, anggota DPR pamer kekayaan dan kenaikan gaji. Kontras sekali dengan kenyataan di bawah: rakyat makin sulit bertahan hidup, angka pengangguran terus menanjak, penguasa kian mapan menutup telinga.

Kenyataan politik hari ini, getir dan muram, terpantul jelas dalam Autobiography (Makbul Mubarak, 2023). Film ini mengingatkan: tirani tidak selalu hadir lewat kekerasan terang-terangan, tapi juga dalam bentuk teror yang ada di mana-mana. Menekan kesadaran warganya secara halus, nyaris tanpa disadari.

Dengan bahasa sinema yang subtil, Autobiography menyingkap wajah negara: seram, penuh kontrol, dan selalu berupaya membungkam oposisi.

Baca juga: Review ‘Autobiography’: Potret Militerisme di Era Kini danRepresentasi Homoerotik yang Homofobik

Autobiography dan Relasi Kuasa

Film ini berpusat pada Rakib (Kevin Ardilova), generasi ketiga dari keluarga pekerja yang setia mengabdi pada keluarga militer kaya. Setelah ayahnya dipenjara, Rakib menjalani hidup sepi di rumah besar milik Purna (Arswendy Bening Swara), seorang jenderal tua yang pulang kampung untuk maju sebagai calon legislatif. Rakib, yang awalnya melihat Purna sebagai sosok karismatik penuh wibawa, perlahan hanyut dalam orbit kuasa majikannya. 

Dari kesempatan makan di ruang VIP hingga dihormati warga karena kedekatannya dengan Purna, Rakib mencicipi manisnya menjadi bagian dari lingkaran kekuasaan.

Namun manis itu cepat luruh, berganti teror.

Saat spanduk kampanyenya dirusak, Purna mengutus Rakib mencari pelakunya. Rakib sempat merasa bangga dipercaya. Tugas sederhana, pikirnya. Tapi misi kecil itu justru menjadi titik balik.

Rakib akhirnya menemukan pelaku: Agus (Yusuf Mahardika), seorang siswa SMA. Ia menyeret Agus ke hadapan Purna. Yang terjadi berikutnya mengejutkan: Purna menghajar sang remaja tanpa ampun. Berlumuran darah dan tak sadarkan diri, Purna menyuruh Rakib untuk mengantarnya ke rumah sakit. Rakib disuruh mengantarnya ke rumah sakit.

Baca juga: ‘Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah’: Menonton Pernikahan Sebagai Tokoh Antagonis

Keesokan hari, suara toa masjid mengabarkan lelayu: Agus meninggal. Sejak momen itu, film bergeser. Dari drama politik ke potret mencekam tentang represi, ketakutan. Tentang kuasa yang bukan hanya mengatur kehidupan—tetapi juga menentukan kematian.

Relasi antara Rakib dan Purna adalah metafora gamblang tentang hubungan warga sipil dan penguasa. Rakib adalah rakyat kecil yang menggantungkan hidup pada patron yang lebih besar. Awalnya ia mengagumi, lalu bergantung, dan pada akhirnya takut. Sedangkan Purna adalah figur negara: menjaga citra berwibawa dan menyimpan potensi kekerasan yang setiap saat bisa ia gunakan untuk membungkam suara berbeda. 

Dalam kerangka ini, Autobiography menyingkap bagaimana kekuasaan bekerja, yakni bukan semata-mata lewat kekerasan fisik, tetapi juga lewat simbol, privilese, dan rasa takut yang diinternalisasi oleh mereka yang lemah.

Bahasa visual film mengilustrasikan suasana ini. Setelah peristiwa pemukulan Agus, tepat di pertengahan film sejak menit ke-50, warna merah mulai secara konstan muncul di layar. Warna merah tidak hanya hadir dalam benda-benda konkret seperti jaket, helm, atau bendera, tetapi juga dalam pendar cahaya di jalan, pantulan di kaca, bahkan atmosfer yang menyelimuti adegan. Warna merah di sini berfungsi sebagai metafora kekuasaan dan teror yang merembes ke segala ruang. Rakib, yang awalnya masih bisa melihat batas antara dirinya dan Purna, kini mendapati bahwa ia tak bisa lagi melarikan diri dari cengkeraman kuasa itu.

Penggunaan simbol visual ini sangat relevan ketika kita menghubungkannya dengan realitas politik hari ini. Hilangnya para demonstran pasca aksi Agustus 2025 adalah “warna merah” yang menyelimuti segala ruang publik: tak terlihat secara langsung, tetapi terornya nyata dan memengaruhi seluruh masyarakat. Kebebasan bersuara jadi punya konsekuensi, menuntut hak tak melulu dipenuhi, dan aksi perlawanan bisa berujung pada hiangnya hidup itu sendiri.

Baca juga: ‘The Voice of Hind Rajab’ Menang di Venice Film Festival 2025, Apa Artinya?

Cermin Gejolak Politik Indonesia Hari Ini

Makbul Mubarak menegaskan bahwa film perdananya ini bukan sekadar tentang sosok jenderal dengan kepribadian menyeramkan. Alih-alih, ia juga membicarakan “isme-isme” yang melandasi perilaku orang-orang di institusi militer, warisan masa lalu yang masih membekas hingga kini. Judul Autobiography dipilih untuk menggambarkan bagaimana potret bangsa yang bercermin pada dirinya sendiri, menemukan bayang-bayang masa lalu yang terus menghantui.

Sejarah Indonesia mencatat praktik penghilangan orang sudah lumrah sejak tragedi 1965, represi Orde Baru, hingga penculikan aktivis 1998. Pola itu tampaknya berulang dengan wajah baru di 2025. Demonstran yang hilang hari ini adalah Agus-Agus yang dihajar, dibungkam, dan dikubur negara. Kekuasaan negara, sebagaimana Purna dalam film, tetap dingin, tetap menuntut kesetiaan, dan tetap alergi pada kritik.

Makbul menutup kisah Autobiography dengan sebuah refleksi getir. Di awal, Purna mengajarkan Rakib cara menembak, sebuah keterampilan yang jelas menjadi simbol instrumen represi negara. Rakib ternyata cepat belajar, bahkan berbakat dalam menguasai senapan. Maka, ketika ia akhirnya berbalik melawan Purna di sebuah adegan puncak berlatar sebuah ladang berkabut, momen itu tak hanya berfungsi sebagai konfrontasi personal, melainkan juga perwujudan paradoks. Senjata, yang semula dipakai untuk menundukkan rakyat, kini digunakan oleh rakyat kecil untuk menumbangkan sang penguasa lalim.

Namun, pembunuhan Purna tidak serta-merta menghadirkan pembebasan. Adegan penutup justru memperlihatkan bagaimana Rakib masuk ke dalam ruang yang sama. Ia hadir di prosesi penyemayaman dengan kehormatan militer, diperlakukan seolah-olah pewaris yang sah dari sang jenderal. Tidak ada yang mencurigai keterlibatannya. 

Sebaliknya, ia malah menjadi sosok yang diberi ucapan bela sungkawa oleh orang-orang sekitar. Di titik ini, film menggarisbawahi bahwa kekuasaan adalah lingkaran yang berulang: siapa pun yang mendekatinya, bahkan dengan niat melawan, berisiko menjadi bagian dari mesin yang sama.

Refleksi ini menutup lingkaran pembahasan sejak awal: tirani bukan hanya hadir di figur-figur seperti Purna, melainkan dalam sistem yang mampu mereproduksi dirinya sendiri. Rakib, yang berangkat dari kelas bawah dan semula tampak tak berdaya, berkat adanya kesempatan, justru bisa masuk ke dalam posisi penguasa setelah melakukan kekerasan yang serupa.

Dalam konteks politik Indonesia hari ini, adegan ini adalah alarm keras. Ia menegaskan bahwa gejolak sosial dan represi negara tidak hanya soal siapa yang berkuasa, tetapi juga tentang bagaimana sistem tirani itu bisa terus diwariskan. Pertanyaan bagi kita, penonton sekaligus warga, adalah: apakah kita akan membiarkan siklus itu terus berulang, atau mencari jalan keluar agar autobiografi bangsa ini tak lagi ditulis dengan darah?

About Author

Catra Wardhana

Periset dan penulis yang berbasis di Yogyakarta. Ia menyelesaikan pascasarjana kajian film di University of Edinburgh. Di sela waktu menggarap berbagai pekerjaan paruh waktu, ia suka berburu lotek enak dan bermain bersama dua keponakannya.