Waspada Terjebak Pencitraan ‘Keluarga Harmonis’ Politikus
Masyarakat harus lebih cerdas mengurai politik pencitraan keluarga harmonis yang digunakan politik, terutama saat masa-masa kampanye.
Pemilihan pemimpin politik adalah momen krusial dalam sejarah suatu bangsa. Kaum idealis memandangnya sebagai peristiwa penentu masa depan bangsa. Namun, kelompok pragmatis memaknainya sebagai sarana untuk memperjuangkan kepentingan kelompok yang akan bermuara pada kekuasaan dan uang. Maka, mereka semua berupaya merebut hati pemilih dengan beragam cara.
Mengangkat sisi-sisi personal kandidat politik telah menjadi bagian dari branding yang digunakan dalam kampanye. Masyarakat sering kali menyorot aspek kehidupan personal saat mempromosikan kandidat pilihan mereka dan menyerang pesaingnya. Aspek yang paling sering diserang adalah seputar pernikahan dan keluarga.
Dalam budaya Indonesia, keluarga memegang peran sentral. Saat seorang calon pemimpin politik terlihat memiliki keluarga harmonis dan anak-anak yang sukses, kecenderungannya ia akan dinilai sebagai calon pemimpin yang mumpuni. Mengangkat kehidupan pribadi kandidat menjadi taktik efektif untuk menciptakan kedekatan emosional antara pemilih dan calon pemimpin. Oleh karena itu, makin banyak politikus yang menampilkan sisi manusiawi mereka dengan menghadirkan gambaran pribadi tentang diri mereka dengan tujuan mendulang lebih banyak dukungan.
Fenomena ini sebenarnya merupakan salah satu kelemahan demokrasi elektoral. F. Budi Hardiman, Guru Besar Ilmu Filsafat dari Universitas Pelita Harapan, mengutarakan bahwa munculnya emotional voters, yaitu mereka yang memilih atas pertimbangan likes dan dislikes, adalah salah satu kelemahan demokrasi elektoral. Terkait hal ini, masyarakat perlu berpikir kritis dan menyadari bahwa negara dan keluarga adalah dua entitas yang berbeda.
Baca juga: Jokowi dan Citra Keluarga Harmonis: Warisan Kolonialisme dan Orde Baru
Politisasi ‘keluarga harmonis’
Pada masa kampanye pemilihan presiden kali ini, mudah untuk melihat bagaimana para kandidat mempolitisasi gagasan keluarga harmonis. Calon Presiden (capres) Ganjar Pranowo, misalnya, kerap menampilkan kedekatannya dengan istri dan anaknya. Goenawan Mohammad, salah satu pendiri majalah Tempo, pernah mempermasalahkan status capres Prabowo Subianto yang tidak memiliki istri. Padahal, kriteria menjadi calon presiden yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu No. 7 Tahun 2017 tidak menyebutkan harus memiliki seorang istri/suami. Prabowo tak hanya dicermati rekam jejak dan kualitas kinerjanya, melainkan juga sering diolok-olok karena ia berpisah dari istrinya.
Di sisi lain, ada juga segelintir politikus yang terlihat memiliki keluarga harmonis, tetapi kinerjanya sering menuai kritik dari publik, terutama oleh warganet di media sosial. Capres Anies Baswedan berulang-kali menampilkan potret keluarga harmonis, sementara data menunjukkan angka kemiskinan penduduk DKI Jakarta meningkat selama masa kepemimpinannya.
Media sosial kerap memainkan peran penting dalam membentuk pandangan masyarakat terhadap calon pemimpin. Media sosial bergerak, memunculkan notifikasi yang sudah direkayasa sesuai dengan siapa orang yang paling sering berinteraksi dengan kita, apa preferensi politik kita, dan lain-lain.
Buzzers, misalnya, menyebarkan informasi mengenai urusan pribadi calon pemimpin dengan amat cepat. Tak jarang mereka hanya menciptakan echo chambers, ruang yang isinya hanya memantulkan pendapat serupa. Jumlah buzzers tidak sedikit dan masing-masing memiliki pengikut minimal puluhan ribu, isu yang mereka lontarkan kerap mendominasi percakapan publik.
Baca juga: Bau Amis Pernikahan Politik Ketua MK dan Adik Jokowi
Keluarga Harmonis Politikus, Realistiskah?
Banyak yang berpandangan bahwa seseorang hanya akan bisa sukses dalam skala besar ketika ia berhasil mengelola aspek pada lingkup kecil, yaitu keluarga. Hermawan Kartajaya, pakar pemasaran sekaligus co-founder World Marketing Forum (WMF), ketika saya wawancarai tahun 2016, mengungkapkan bahwa citra keluarga harmonis berpotensi memikat pemilih perempuan. Ini karena, menurutnya, perempuan cenderung mudah terkesan dengan gambaran ayah dan suami yang baik. Padahal, variabel pembentuk keluarga dan negara amat berbeda.
Faktanya, kans politikus untuk memiliki keluarga ideal justru termasuk kecil karena mereka luar biasa sibuk dan pikiran mereka sesak dengan gagasan berskala makro.
Beberapa contohnya adalah Connie Schultz, feminis peraih penghargaan Pulitzer. Ia merupakan istri dari seorang senator dari Ohio bernama Sherrod Brown. Schultz menulis buku tentang pengalamannya mengikuti Brown berkampanye sebagai anggota senat pada 2006. Buku tersebut diberi judul ‘…And His Lonely Wife’. Adapun mantan ibu negara AS Michelle Obama mengakui fase penikahan tersulit baginya adalah ketika karier politik suaminya, Barack Obama, sedang di puncak kejayaan.
Aktivis anti-apartheid dan mantan Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela bercerai dua kali. Ia menggunakan cara damai saat menghapus apartheid dan memperoleh 250-an penghargaan termasuk Nobel. Putrinya, Makaziwe Mandela, pernah mengeluh, “Banyak anak yang punya kenangan indah, bersandar di bahu ayah mereka. Saya tak pernah mengalami hal tersebut”.
Kesibukan Mandela tak memungkinannya untuk memperhatikan keluarga. Pikirannya pun didominasi isu-isu terkait bangsa. Saat di penjara, alih-alih mengirimi putra-putrinya surat berisi kerinduan, Mandela menuliskan surat berisikan pemikirannya mengenai isu-isu kontemporer. Anak-anak Mandela tetap berharap seusai Mandela lepas dari penjara, mereka bisa bermanja-manja. Nyatanya, begitu hidup di penjara usai, Mandela berubah menjadi bapak bangsa, bukan hanya bapak bagi anak-anaknya.
Dari Indonesia kita bisa mengambil Sukarno sebagai contoh. Dia menikah sembilan kali dan salah satu istrinya bunuh diri karena cemburu. Namun, untuk selamanya Sukarno dalam sejarah menorehkan tinta emas sebagai proklamator, penggagas Pancasila, bahkan Bapak Bangsa.
Logis rasanya jika kita berasumsi bahwa tak sedikit keluarga politikus di Indonesia yang jarang berjumpa dengan keluarganya karena kesibukan pekerjaan dan safari politik. Bukan tidak mungkin mereka kerap merasa kesepian.
Namun, asumsi bahwa keluarga harmonis berpotensi mendongkrak elektabilitas kemudian membuat mereka berusaha terlihat bahagia. Ini sebenarnya berbahaya karena saat seorang politikus memberi prioritas pada isu-isu terkait kehidupan pribadi, mereka sebenarnya sedang membuka peluang untuk berkembangnya beragam masalah serius.
Misalnya, beberapa kali ada berita tentang anak-anak pejabat yang terlibat dalam perkelahian atau kecelakaan sebagai pelaku, bukan sebagai korban. Lalu, kekuasaan orang tua mereka kerap menjadi payung pelindung dari konsekuensi hukum. Upaya “penyelamatan” semacam ini dilakukan untuk menjaga citra positif keluarga mereka dan mencegah hadirnya persepsi negatif masyarakat terhadap sepak terjang politik orang tua para pelaku.
Belum lagi, pemaksaan citra positif semacam itu juga bisa melanggengkan korupsi, nepotisme, dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan pribadi para politikus. Mereka bisa saja tergoda untuk menggunakan kekuasaan formal mereka demi melindungi kepentingan keluarga atau diri sendiri.
Pemilih Harus Lebih Kritis
Memilih pemimpin politik bukanlah pekerjaan sederhana. Pemilih harus dengan kritis melakukan penilaian berdasarkan visi, misi, dan gagasan yang ditawarkan kandidat. Publik juga harus menyadari bahwa semakin minimnya kapasitas seseorang sebagai calon pemimpin, maka semakin besar pula kemungkinan tim pendukungnya memanfaatkan isu-isu pribadi untuk mendongkrak suara.
Padahal, tidak selamanya keharmonisan keluarga menentukan kualitas kepemimpinan politik seseorang. Banyak pemimpin yang kehidupan pribadi dan performa kerjanya berbanding lurus: keduanya sama-sama buruk atau sama-sama bagus.
Ada juga yang keluarganya harmonis tetapi ia kurang mampu mengelola urusan publik. Pun tak sedikit pemimpin dengan keluarga tak harmonis, sukses memberikan kontribusi signifikan bagi bangsa.
Dalam tataran kebijakan, harus ada upaya intensional dan sistematis untuk mengajak pemilih menggunakan nalar. Dengan demikian akan terjadi perubahan pada tataran kognitif dan pemilih bisa memfokuskan penilaian pada kualifikasi, rekam jejak, gagasan, dan kompetensi calon pemimpin dalam urusan publik.
Meicky Shoreamanis, Lecturer, Faculty of Education, Universitas Pelita Harapan
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.