Issues

Lajang, Lajang, Lajang, Tenggelam

Sebagai perempuan lajang di usia 30-an, saya tak pernah merasa tenggelam atau terpinggirkan. Saya bahagia.

Avatar
  • February 14, 2022
  • 4 min read
  • 1004 Views
Lajang, Lajang, Lajang, Tenggelam

Sebenarnya celaan tentang status saya yang jomblo tidak pernah benar-benar mengganggu. Namun, semua berubah saat saya sakit dan harus berobat ke dokter. Saking jarangnya sakit, kartu berobat di klinik kecil, bilangan Pamulang, Tangerang Selatan saya terselip entah kemana. Karena kartu raib, saya terpaksa mengisi kembali formulir berisi data-data pribadi.

Tiba-tiba juru rawat yang mengurus administrasi kembali mendatangi saya di tempat duduk ruang tunggu dan meminta isian formulir dilengkapi. “Tolong diisi nama suaminya,” katanya. Saya menjawab,”Tidak ada Mbak.”

 

 

Namun, sepertinya perawat tersebut tidak puas dengan jawaban saya. Dari pandangannya, ia terkesan menuntut saya untuk mengisi kolom nama suami, entah bagaimana caranya. Tangannya memegang pulpen dan menunjuk-nunjuk ke kolom itu. Sempat tergoda untuk iseng mengisi kolom itu dengan nama Brad Pitt atau George Clooney. Niat itu urung karena tampaknya si mbak suster itu bukan jenis orang yang senang bercanda.

Saya sendiri cukup terkejut dengan sikap si juru rawat itu. Entah kenapa dia menuntut saya untuk punya suami. Padahal jenis penyakit yang saya derita adalah flu dan batuk, bukan yang membutuhkan tindakan bedah serius. Untuk kontak darurat pun seharusnya boleh tidak diisi dengan nama suami.

Baca juga: ​​Kenapa Banyak Lajang Gagal Cari Kebahagiaan di Dunia Maya

Mencoba berpikir positif, mungkin di lingkungan tempat tinggal si mbak suster itu semua perempuan, umumnya langsung menikah sebelum masuk usia 21 tahun. Ketika itu, saya berusia awal 30-an. Dia mungkin tak pernah menemukan perempuan usia matang yang tidak menikah.

Keharusan mengisi nama suami itu pada akhirnya bikin saya makin ogah sakit. Kalau pun sakit flu dan batuk, saya memilih beristirahat dan minum obat sendiri. Padahal dokter di klinik itu langganan keluarga dan bertahun-tahun resepnya manjur mengobati penyakit keluarga kami.

Masalahnya, penyakit lain datang, sehingga trauma saya datang ke dokter harus dipinggirkan dahulu. Ceritanya, saya mengalami nyeri yang intens saat menstruasi datang. Tentu saja saya harus periksa ke dokter kandungan. Cukup lama saya menunda-nunda pergi ke dokter karena takut dituntut untuk mengisi kolom nama suami.

Lantaran keluhan tak juga hilang, akhirnya saya memberanikan diri berobat ke sebuah rumah sakit besar di Jakarta Selatan. Pendaftaran berlangsung lancar. Suster-suster dan dokter pun tidak usil menanyakan hal-hal pribadi soal status pernikahan. Proses pemeriksaan berjalan mulus. Fiuh.

Dari sejumlah pengalaman ini, saya menyadari menjadi perempuan lajang itu tidak mudah.  Di kalangan keluarga besar, perempuan lajang tidak pernah dianggap sebagai orang dewasa. Bayangkan, di usia segini, saya pernah ditugasi jadi penerima tamu di resepsi perkawinan salah seorang sepupu karena dianggap belum matang. Padahal di kalangan keluarga Jawa, tugas-tugas penerima tamu pada resepsi perkawinan biasanya diberikan pada gadis-gadis belasan tahun hingga paling tua awal 20-an. Di daftar panitia, saya ditugasi menerima tamu bersama keponakan-keponakan usia 15-an.

Saya protes keras pada kerabat yang menugasi saya ini. Dia tampaknya tak mengerti dengan tuntutan ini dan mendesak saya mengembalikan jatah seragam penerima tamu. Fine! Seragam pun dikirim balik.

Seorang teman lajang yang lain mencoba menghibur saya. “Iya, mungkin dia tak bermaksud merendahkan status lo sebagai perempuan lajang. Dia mungkin mau memberi tugas itu karena lo enggak jelek buat dipajang di tempat resepsi,” selorohnya.

Baca juga: Melajang Bukan Karena Tak Ketemu Jodoh, Tapi Karena Jodoh Tak Sesuai Harapan

Menjadi perempuan lajang dan kebetulan tak jelek pun ternyata juga merepotkan. Pernah saat sendiri boarding pesawat dari Bali, saya dapat duduk di bagian gang. Di bagian tengah deretan kursi saya, ada pria bule sementara istri si bule (orang Indonesia) duduk di kursi jendela. Melihat saya duduk di sebelah suaminya, si istri kontan minta tukar tempat duduk.

Bukan sekali dua kali saja, saya mendapat tatapan tajam dari para istri. Salah satunya ketika menunggu bagasi di Bandara Soekarno Hatta setelah perjalanan panjang dari Eropa. Bagasi saya tak kunjung tiba dan kebetulan di sekitar saya ada juga bapak-bapak yang juga belum mendapat bagasi. Ternyata kami sama-sama berangkat dari Kopenhagen. Karena persamaan itu, kami jadi ngobrol.

Bagasi akhirnya datang dan kami pun keluar. Obrolan yang akrab itu bikin si istri yang menjemput jadi cemberut dan menatap tajam. Ngeri! Sumpah, tak ada hal yang lebih mengerikan dari istri yang cemburu. Seorang istri lain yang cemburu pernah bikin saya terpaksa mengundurkan diri dari sebuah perusahaan kecil. “Istrinya minta cerai kalau kamu masih di sini,” kata teman-teman di kantor.

Status lajang dan tak ada tanda-tanda bakal menikah ini juga kerap disalahartikan oleh para lawan jenis. Di media sosial pernah beberapa kali ada lawan jenis yang mengajak ngobrol. Jenis obrolannya pun termasuk seperti pertanyaan,”Sudah makan?”

Jenis percakapan  seperti itu lazim dilakukan orang pacaran atau pendekatan (PDKT). Selidik punya selidik ternyata orang yang mencoba intim di media sosial itu sudah menikah dan istrinya ada di lain pulau. Itu sebabnya belakangan ini tak ada lagi swafoto mereka. Kalau pun jalan-jalan yang dipajang kebanyakan berupa foto pemandangan.

Ada-ada saja kelakuan orang ya. Padahal sebagai lajang, saya tak pernah merasa tenggelam atau terpinggirkan. Saya bahagia, sama bahagianya dengan orang yang memilih punya pasangan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Caecilia Jati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *