Dampak pandemi COVID-19 ada dalam berbagai bentuk, tapi bagi Caroline Putri, salah satu yang paling mengganggunya adalah kram perut yang lebih intens ketika menstruasi.
“Sebelum pandemi, biasanya hanya sakit di bawah perut pada hari pertama menstruasi. Tapi sejak bulan Mei, sakitnya terasa lebih intens dan berlanjut sampai tiga hari. Padahal aku hanya mengalami menstruasi selama lima hari,” ujar manajer merek dan pemasaran di sebuah perusahaan retail tersebut.
Berbagai cara telah ditempuh Caroline untuk meringankan sakit saat menstruasi, mulai dari mengompres perut dengan air hangat hingga minum jamu kunyit asam. Tetapi akhirnya hanya obat penahan sakit (painkiller) yang yang dapat meredakan rasa sakitnya.
“Sakit saat haid ini menghambat pekerjaan, sih. Aku pernah cuma bisa berbaring. Duduk di depan laptop saja tak sanggup. Ketika bekerja di sebuah kantor consulting, ada meeting setiap pagi dan sore. Aku pernah skip karena enggak kuat,” ujar perempuan berusia 31 tahun itu.
Nyeri haid lebih dari biasanya juga dirasakan “Chrysalic”, 43, seorang pegawai perusahaan pemerintah di Jakarta. Tak hanya itu, aliran darah yang keluar pun ekstra banyak sampai ia lemas.
“Saya sampai harus pakai popok dewasa karena pembalut biasa tidak bisa menampung (darah menstruasi),” ujarnya.
Selain nyeri haid yang lebih intens dan aliran darah yang lebih banyak, sejumlah perempuan juga mengalami perubahan pada siklus menstruasi selama pandemi berlangsung.
Baca juga: Dari Pembalut Sampai Cawan: Kenali Alat Bantu Menstruasi
Sekar, 26, mengatakan siklus menstruasinya menjadi mundur, yang biasanya 23-25 hari sekali menjadi setiap 28-30 hari.
“Aku bahkan pernah berhenti mens selama dua bulan. Juli dan Agustus 2020 sama sekali tidak menstruasi, baru mens lagi September,” ujar peneliti yang meminta Magdalene tidak menyebutkan nama belakangnya itu.
Meski sikslus haidnya telah kembali normal, ia mengatakan mengalami sakit punggung setiap menstruasi dalam beberapa bulan terakhir.
Gangguan Menstruasi Selama Pandemi Terjadi Global
Gangguan menstruasi selama pandemi kelihatannya terjadi secara global.
Sebuah artikel dalam Vogue.co.uk berjudul Is Another Lockdown Playing Havoc With Your Period? You’re Not Alone, mengutip hasil survei yang dilakukan Anita Mitra, seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi dari Inggris, mengenai perubahan siklus haid. Dari 5.677 responden perempuan yang disurvei melalui Instagram, 65 persen di antaranya mengalami perubahan siklus menstruasi selama lockdown.
Ni Komang Yeni Dhana Sari, dokter spesialis obstetri dan ginekologi di Klinik Health 360 Indonesia, mengatakan bahwa stres memang dapat menyebabkan gangguan pada menstruasi.
“Pada saat stres tubuh kita memproduksi hormon kortisol secara berlebihan, yang dapat membuat menstruasi terlambat, darah haid berkurang atau bahkan tidak haid sama sekali,” ujar Yeni.
Kendati demikian, dia menegaskan bahwa gangguan menstruasi tidak hanya dipicu oleh stres. Aktivitas fisik yang berkurang selama pandemi juga dapat memengaruhi produksi hormon kortisol, ujarnya.
Baca juga: Sering ‘Ngidam’ Saat PMS? Ini Alasan Ilmiahnya
“Pada saat berolahraga, fungsi hormon kortisol adalah mengatur kadar gula darah agar keadaannya baik. Tapi kalau kadar gula darah tak bisa di-manage dengan baik karena kurangnya, olahraga dan asupan karbohidrat atau gula berlebihan, maka akan terjadi hormonal imbalance yang menyebabkan haidnya sedikit, jarang atau tak terjadi sama sekali,” Yeni menambahkan.
Chrysalic mengatakan bahwa gangguan menstruasinya terkendalikan saat ia menyengaja rutin jalan kaki setiap hari.
“Olahraga rutin ternyata membantu, walaupun tidak sepenuhnya. Rasa sakit masih ada, tapi paling tidak aliran darahnya menjadi normal,” ujarnya.
Yeni mengingatkan bahwa gangguan menstruasi yang terjadi mungkin juga bukan terjadi akibat stres pandemi. Gangguan menstruasi sering dianggap sepele, ujarnya, sehingga banyak perempuan yang enggan memeriksakan diri ke dokter, terlebih pada masa pandemi.
“Kalau tiga bulan berturut turut tidak haid, maka harus diobati. Kalau merasakan sakit, tidak nyaman, dan ragu (dengan kondisi yang dialami), harus dikonsultasikan. Sekarang sudah banyak telemedicine. Saya rasa enggak sulit untuk menjangkau dokter,” ujarnya.
Mengendalikan Stres, Mengatasi Gangguan Menstruasi
Pandemi COVID-19 yang membawa ketidakpastian, ketakutan dan kecemasan, membuat banyak orang mengalami gangguan psikologis, termasuk Sekar. Dia menduga stres menjadi penyebab gangguan haidnya.
“Ketika tidak menstruasi, aku juga sedang stres. Aku mengalami ketakutan berlebihan karena pandemi dan hampir enggak bisa kerja,” ujarnya.
Stres juga dapat menyebabkan kesulitan tidur, seperti yang dialami Caroline. Ia berusaha mengatasi permasalahan ini dengan berolahraga lari setiap sore, tetapi dia tak terlalu merasakan dampaknya.
Baca juga: Laki-laki dan Menstruasi: Pengalaman Transpria
“Aku baru bisa tidur jam tiga atau empat pagi. Bahkan ketika berolahraga, aku baru bisa tidur jam dua dan enggak bisa (tidur) lebih awal lagi,” tuturnya.
Psikolog klinis Gisella Tani Pratiwi dari Yayasan Pulih mengatakan, stres pada saat pandemi memang tak terhindarkan, sehingga wajar jika itu memicu respons-respons stres. Meski begitu, ia menambahkan bahwa gangguan psikologis pada masa pandemi tak bisa dipisahkan dari keadaan orang tersebut sebelum pandemi.
“Kalau dia sudah memiliki kerentanan dari sisi kesehatan mental, misalnya punya riwayat depresi, masa pandemi menjadi lebih challenging dibandingkan dengan yang tidak punya riwayat ini,” ujarnya.
Selain perlu memperhatikan respons tubuh pada saat menstruasi, mengendalikan stres menjadi sangat penting.
“Kita perlu mencari cara self care yang rutin. Self care yang dimaksud di sini bukan berarti sesuatu yang fancy seperti pergi liburan, tetapi bersifat daily, yaitu hidup sehat, memperhatikan asupan makanan, pola tidur yang cukup dan tentu saja olahraga,” kata Gisella.
Self care juga perlu diimbangi dengan hubungan sosial, ujarnya. Kendati pada masa pandemi interaksi sosial lebih banyak dilakukan melalui penggunaan teknologi, Gisella menganggap hal ini tetap signifikan.
“Yang paling penting, kita punya lingkaran sosial yang bisa dipercaya sehingga kita merasa aman ketika berinteraksi dengan mereka, feeling connected, dan ada orang yang menerima kita dengan tulus,” tambahnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari.