Mengapa Saya Menolak Hari Hijab Sedunia
Hari Hijab Sedunia menimbulkan asumsi mendasar bahwa religiositas Islam bagi perempuan tergantung kepada pemakaian hijab.
Tanggal 1 Februari diperingati sebagai Hari Hijab Sedunia (World Hijab Day). Pemrakarsa peringatan ini, Nazma Khan, memulai gerakan Hari Hijab Sedunia pada 2013 untuk menyebarkan kesadaran tentang perspektif negatif terhadap perempuan Muslim berhijab di negara-negara Barat. Ia berharap bahwa dengan menyebarkan pengalaman berhijab bagi perempuan yang belum pernah berhijab (Muslim/non-Muslim), maka para perempuan tersebut dapat menyadari berbagai bentuk kekerasan yang dialami oleh para perempuan Muslim berhijab.
Saya adalah perempuan Muslim berhijab, dan saya menolak gerakan ini.
Ada beberapa alasan mendasar dari penolakan saya terhadap Hari Hijab Sedunia. Alasan yang terpenting adalah bahwa narasi dari gerakan ini secara langsung mengalienasi perempuan Muslim yang tidak berhijab, baik dari sisi religius maupun sosial-politik. Dilihat dari sisi religius, Hari Hijab Sedunia menimbulkan asumsi mendasar bahwa batasan religiositas Islam bagi perempuan tergantung kepada praktik pemakaian hijab. Ini berarti bahwa perempuan Muslim yang tidak mengenakan hijab dapat dipandang sebagai mereka yang kurang sempurna keislamannya. Hal ini mereduksi pengalaman dan praktik beragama menjadi pemakaian selembar kain penutup kepala saja. Selain itu, hal ini juga berimplikasi kepada penekanan dimensi legal-formal dari Islam (Fiqh) dengan konsekuensi melupakan dimensi etis-kemanusiaan dalam ajaran Islam.
Dari sisi sosial-politik, Hari Hijab Sedunia hanya melegitimasi kekerasan dan penderitaan yang dialami oleh perempuan Muslim yang berhijab, dan menegasikan pengalaman kekerasan dan penderitaan yang dialami oleh mereka yang tidak mengenakannya. Memang betul bahwa mereka yang berhijab dan hidup di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat dan Perancis, memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk menjadi target kekerasan Islamofobik. Hijab menjadi penanda eksplisit keislaman di mana ketika perempuan Muslim memakainya dalam konteks masyarakat yang Islamofobik, maka ia seperti layaknya memakai tanda ‘serang aku’ pada tubuhnya. Analoginya adalah seperti para perempuan yang memakai rok mini dalam konteks masyarakat yang patriarkal-misoginis.
Namun, dinamika sosial-politik di negara-negara Barat tak hanya terbatas pada Islamofobia saja. Kelompok-kelompok marginal di negara-negara Barat telah menjadi target dari berbagai bentuk kekerasan yang tak hanya berlandaskan pada asumsi perbedaan agama. Sering kali, apa asumsi beberapa segmen masyarakat Barat soal “Muslim” sama sekali tidak tergantung pada hijab, melainkan pada fitur rasial seperti warna kulit dan bentuk wajah. Dengan demikian, Hari Hijab Sedunia berdampak reduksionis pada kekerasan interseksional yang dialami oleh perempuan Muslim di dunia.
Dalam perspektif glorifikasi hijab, perempuan Muslim berubah dari individu utuh dengan kedirian yang tangguh, menjadi sekedar bayangan semu dari proyeksi kesucian masyarakat Muslim.
Alasan kedua penolakan saya adalah, Hari Hijab Sedunia sedikit banyak telah menambah intensitas perspektif liyan yang diatribusikan kepada perempuan Muslim oleh perspektif Orientalis Barat. Dalam konteks dunia imajiner-imperialis Barat, masyarakat Muslim telah sekian lama direduksi menjadi masyarakat satu dimensi yang terdiri dari para perempuan dengan naluri seksual yang terkekang, dan para laki-laki yang mengontrol sekaligus mengeksploitasi pengekangan tersebut untuk kepentingan seksual mereka sendiri. Tentu saja perspektif ini tak sepenuhnya salah, karena fakta tersebut dapat ditemukan di beberapa kelompok masyarakat Muslim di dunia, seperti Iran. Namun perspektif orientalis-imperialis tersebut lebih banyak digunakan untuk menjustifikasi opresi negara-negara Barat terhadap masyarakat Muslim pada umumnya.
Ambil contoh agresi militer Amerika Serikat terhadap Afghanistan. Pada awal agresi tersebut dilancarkan menyusul peristiwa 9/11, Ibu Negara AS Laura Bush menyampaikan bahwa agresi militer itu ditujukan untuk “membebaskan” perempuan Muslim Afghani berburkak yang berada di bawah “tekanan” para lelaki. Hal ini adalah contoh jelas dari “feminisme” imperial yang menjustifikasi aksi militer dengan dalih “pembebasan perempuan”.
Salah satu simbol utama dari perspektif imperialis-orientalis Barat ini adalah hijab. Dunia Barat melakukan simplifikasi kekayaan pengalaman dan perspektif perempuan Muslim di berbagai penjuru dunia menjadi sekedar pengalaman kontrol seksual melalui hijab yang dikenakan oleh sebagian perempuan tersebut. Dalam konteks ini, ketika kita sebagai masyarakat Muslim semakin mengelu-elukan hijab dengan membuat hari internasional khusus untuk mereka yang memakainya, maka kita telah secara tidak langsung menunduk setuju kepada perspektif imperialis-orientalis Barat. Kita mengafirmasi bahwa apa yang paling penting dalam kehidupan seorang perempuan Muslim hanyalah hijabnya saja.
Alasan terakhir saya untuk menolak gerakan ini bertumpu pada situasi internal dalam banyak kelompok masyarakat Islam saat ini. Dalam pandangan saya, hijab merupakan ikon utama dari perilaku sebagian masyarakat Muslim di dunia yang cenderung bertindak eksklusif dalam praktik religius dan sosial-politiknya, daripada bertindak inklusif. Glorifikasi hijab mencerminkan penolakan dan garis lurus yang ditarik oleh “otoritas” Muslim untuk mengalienasi mereka yang dianggap berbeda.
Hijab tidak lagi menjadi cerminan pluralisme kehidupan, melainkan tolak ukur homogenisasi masyarakat. Dalam perspektif glorifikasi hijab, perempuan Muslim berubah dari individu utuh dengan kedirian yang tangguh, menjadi sekedar bayangan semu dari proyeksi kesucian masyarakat Muslim.
Kedirian perempuan Muslim juga diubah dari status kemanusiaan suci yang dianugerahkan oleh Allah, menjadi boneka-boneka penyimpan nilai kehormatan laki-laki dan masyarakat Muslim pada umumnya. Pendek kata, dalam perspektif glorifikasi hijab, perempuan Muslim adalah etalase keimanan yang berfungsi sebagai langgam ninabobo bagi sebagian segmen masyarakat Muslim yang tak ingin melihat kebobrokannya.
Berhentilah memperingati hijab, dan mulailah mengelu-elukan ragam kehidupan dan perjuangan yang dialami oleh para perempuan Muslim di seluruh dunia, terlepas dari apakah mereka berhijab atau tidak.
Lailatul Fitriyah adalah mahasiswi doktoral Program Studi Agama-agama Dunia dan Gereja Global di University of Notre Dame, AS.