Culture Opini Screen Raves

Niyala dan Kenapa Perempuan Harus Menikah dalam Film-film Islami?

Pernikahan sering jadi ‘happy ending’ dalam film-film islami. Di saat yang sama, menyepelekan pencapaian perempuan dan melanggengkan patriarki.

  • April 22, 2025
  • 5 min read
  • 469 Views
Niyala dan Kenapa Perempuan Harus Menikah dalam Film-film Islami?

Belakangan ini, menonton film-film islami Indonesia jadi guilty pleasure buat saya—meski plotnya formulaik dan heteronormatif. Misalnya soal kehidupan di pesantren, pertobatan, cinta beda agama, cinta segitiga, hubungan rumah tangga, dan perjodohan. 

Cerita-cerita ini menarik perhatian saya, bagaimana stereotip maskulinitas dan feminitas tradisional dilanggengkan lewat ke-Islaman. Kemudian menjadi “standar” yang menggambarkan kehidupan ideal. 

Realitasnya, film-film tersebut masih banyak diminati. Contohnya Setetes Embun Cinta Niyala (2025). Film yang sempat menduduki jajaran Top 10 Netflix Indonesia ini, bercerita tentang Niyala, perempuan dari sebuah desa yang bercita-cita menjadi dokter. Namun, setelah menyelesaikan pendidikan dokter di Jakarta, keluarga Niyala justru menuntutnya menikah dengan anak orang kaya, untuk menebus utang keluarga.

Seperti tokoh perempuan dalam film-film islami Indonesia lainnya, urusan pernikahan seorang perempuan juga menjadi fokus film ini—ketimbang potensi Niyala berkarier sebagai dokter yang cukup progresif, karena ia memiliki pekerjaan bukan cuma melakukan pekerjaan domestik.

Sayangnya, profesi itu hanya sekadar tempelan: Disebutkan dalam dialog bersama tokoh lain, dimanfaatkan oleh anak orang kaya yang akan menikahi, dan adegan memeriksa anak seorang warga. Sedangkan pernikahan, masih diposisikan sebagai tujuan hidup perempuan—baik untuk kepentingan keluarga maupun mewujudkan hidup berumah tangga bersama laki-laki yang dicintai.

Baca Juga: Pria Saleh Sebagai Fantasi Kolektif: Menilik ‘Trope’ Pria Religius di Film Indonesia

Perempuan yang Harus Menikah dalam Film-film Islami

Jika film islami pada era Orba menampilkan citra religius lewat dakwah pemuka agama, film pasca-Orba menunjukkannya dengan individu yang saleh. Salah satunya lewat karakteristik perempuan yang lekat dengan feminitas tradisional.

Dari penampilan, perempuan akan dipandang saleh jika berhijab. Sementara perilaku, perempuan digambarkan lemah lembut, patuh, emosional, dekat dengan pekerjaan domestik, dan tak berkarier.

Karakteristik itu juga dilengkapi dengan gaya hidup islami yang dijalankan, sekaligus melakukan peran sosial “sesuai kodrat” perempuan—sebagai istri dan ibu. Menurut Bernhard Platzdasch dalam Islamic Reaction to a Female President (2000), masyarakat memandang perempuan “tak islami”, jika ia menentukan nasibnya sendiri. Bahkan bisa mengancam kesatuan keluarga.

Potret ini diwariskan dari ibuisme pada era Orba, yang hanya memosisikan perempuan sebagai istri dan ibu. Mereka dianggap sebagai penopang moral dan ketahanan keluarga, yang bertugas mendampingi suami serta mengurus anak dan rumah tangga. 

Contoh paling kentara, adalah Cinta Suci Zahrana (2012). Karakter Zahrana (Meyda Safira) punya karier dan latar belakang pendidikan akademis yang baik. 

Baca Juga: Santri Muda Buat Film untuk Lestarikan dan Kritik Tradisi Pesantren

Namun, orang tuanya malah khawatir, melihat kesuksesan itu tampaknya membuat Zahrana belum menikah di usia hampir 30 tahun. Ini menjelaskan bahwa pernikahan menentukan taraf hidup perempuan, lewat perannya dalam hidup laki-laki.

Sementara peran laki-laki dalam urusan pernikahan, bukan hanya sebagai tolok ukur keberhargaan, tapi juga kuasa atas perempuan. Laki-laki sering menjadi penentu yang “mengarahkan” hidup perempuan. Misalnya lewat peran bapak atau suami, seperti disampaikan Dwiki Aprinaldi dalam Gender, Muslim, dan Sinema (2022). 

Karakter Niyala juga menerima perlakuan serupa, dari ayah dan kakak laki-laki. Mereka menuntutnya menikah dengan anak orang kaya, sehingga Niyala mengurungkan keinginan melanjutkan studi. Sementara jika Niyala lari dari “tanggung jawab” melunaskan utang, keselamatan keluarganya terancam.

Plot ini hanya memperpanjang pandangan, pernikahan merupakan tujuan akhir bagi perempuan—bahkan seperti kewajiban oleh sebagian masyarakat. 

Tak hanya mendiskreditkan pencapaian perempuan, ini juga melanggengkan stigma bahwa hubungan heteroseksual adalah satu-satunya relasi yang “ideal”.

Melanggengkan Nilai-nilai Heteronormatif

Tak sedikit film-film islami memotret pernikahan sebagai happy ending. Contohnya Kukejar Cinta ke Negeri Cina (2014), Wedding Agreement (2019), dan Setetes Embun Cinta Niyala.

Film-film itu menggambarkan hubungan heteroseksual, sebagai realitas “ideal”. Menurut Dwiki, ini membentuk norma heteroseksualitas sehingga relasi tersebut dianggap yang “normal”, “tak menyimpang”, dan satu-satunya yang pantas diterima. Bahkan, hubungan heteroseksual diperkuat lewat ikatan pernikahan, menawarkan kehidupan yang stabil dan penghargaan dari masyarakat.  

Narasi itu dipertegas dalam Setetes Embun Cinta Niyala. Film ini menggarisbawahi dilema Niyala, yang dihadapkan dengan pilihan: menikahi anak orang kaya untuk melunasi utang keluarga, atau temannya agar bisa mewujudkan kebahagiaan berumah tangga. Siapa pun pilihannya, Niyala akan berakhir dalam pernikahan.

Tak hanya menjanjikan keamanan, representasi hubungan heteroseksual dengan karakteristik gender tradisional juga meliyankan gender dan orientasi seks lain. 

Baca Juga: ‘Hati Suhita’ dan Dinamika Perjodohan di Lingkungan Pesantren

Seperti Zidan (Ruben Onsu) dalam Ummi Aminah (2012), yang sulit diterima oleh orang tuanya karena bersifat feminin. Penggambaran ini memperpanjang peminggiran terhadap minoritas gender dan seksual, yang sering dinilai tak cukup maskulin jika ia laki-laki.

Bahkan heteronormativitas dalam film-film islami juga memperkuat stereotip, bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berperilaku dan menjalankan peran sosial. Misalnya laki-laki berperan sebagai pemimpin keluarga, sedangkan perempuan harus “tunduk” pada suami.

Penceritaan seperti ini menebalkan citra kepatuhan perempuan terhadap laki-laki, yang cenderung memposisikan diri sebagai subordinat. Dampaknya, masyarakat akan semakin menormalisasi pandangan tersebut di kehidupan sehari-hari. Sebab, pesan dan gambaran yang disampaikan secara berulang lewat film, bisa memengaruhi perilaku dan cara berpikir masyarakat.

Itu menjelaskan, mengapa kita butuh film-film islami tak formulaik sebagai antitesis dari penceritaan dan karakteristik feminitas tradisional. 

Contohnya seperti La Luna (2024), dengan karakter perempuan-perempuan, yang melawan konservatisme demi memperjuangkan haknya. Romansa pun tetap ditampilkan, tapi hanya berupa subplot. Bukan menjadikan pernikahan sebagai standar kebahagiaan di akhir cerita.

Dengan masyarakat yang semakin paham bahwa feminitas tradisional mempersempit ruang gerak perempuan, filmmaker berkesempatan untuk menggeser penggambaran karakteristik perempuan dalam film-film islami. Tak lagi menggunakan nilai-nilai konvensional untuk menggambarkan kesalehan. Bahkan bisa ikut menggarisbawahi, pernikahan tak mendefinisikan pencapaian ataupun menjamin kebahagiaan.



#waveforequality
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply