Masih jelas dalam ingatan saya bagaimana Rahma, tetangga saya semasa kecil, didatangi dan diomeli ibunya saat dia bermain ke tempat saya. Di pojok dalam pagar, ia disudutkan ibunya yang entah berapa kali memukulnya sampai Rahma menangis kejer. Saya lupa alasan ibunya itu memukulnya, tetapi yang jelas setelah itu Rahma diseret pulang ke rumahnya.
Sudah jadi rahasia umum bahwa kekerasan fisik digunakan dalam pendisiplinan anak dari generasi ke generasi. Saya mengalaminya, meski tak parah dan sering-sering amat. Saya masih jauh lebih “beruntung” dari banyak anak lainnya.
Dampak “main tangan” dan “lempar segala macam barang” orang tua kepada anak sudah banyak dikemukakan dalam banyak riset dan artikel, bagaimana hal itu bisa berimbas buruk dalam jangka panjang bagi sang anak. Perlu proses pemahaman, pemakluman, rekonsiliasi, dan memaafkan dalam mengatasinya.
“Orang tua zaman sekarang masih suka mukul anak enggak sih?” tanya kolega saya di grup WhatsApp kantor. Saya dan Mbak Hera menjawab tidak. Selain karena tak tega, kami juga tentu telah terpapar banyak referensi pengasuhan “jaman now” yang lebih mengutamakan cara komunikasi yang lebih baik dibanding lewat kekerasan.
Tapi itu hanya kami berdua, entah yang lainnya. Karena ada saja cerita-cerita kekerasan pada anak, baik dari yang kami baca, dengar, atau lihat sendiri, dari berbagai kelas ekonomi. Tapi barangkali seperti kami, sebagian ibu dan ayah dari kelas menengah ke atas sudah punya kesadaran tentang pengasuhan yang baik dan kesehatan mental. Kami adalah kaum berprivilese yang bisa mengakses banyak referensi dari buku dan internet tentang kesehatan mental ibu.
Lain cerita dengan para ibu di kalangan akar rumput, atau mereka yang seumur hidupnya tak pernah memperbarui pengetahuan mereka soal pengasuhan anak. Keterbatasan akses informasi, alasan “tradisi” kekerasan agar anak tidak menjadi lemah, budaya dan faktor gender anak, dan berbagai hal lainnya menjadi alasannya.
Baca juga: Ibu Bekerja Rentan Terkena Gangguan Mental
Kenapa Sebagian Ibu Sering Memukul Anaknya?
Pengasuh anak saya, yang saya panggil “Tante Yuni”, baru-baru ini curhat tentang anak perempuannya, “Dewi”, yang dia bilang sering memukul ketiga anaknya yang masih kecil-kecil sampai badan mereka biru memar.
“Pas dibilangin jangan begitu, dia [Dewi] bilang, ‘enggak usah ikut campur, ini anak-anak saya’. Terus sejak itu, kelihatan banget dari mata anak pertamanya semacam dendam ke ibunya,” kisah Tante Yuni.
Saya tentu tidak tahu persis apa yang terjadi hingga memicu Dewi melakukan kekerasan fisik itu pada anak-anaknya sendiri. Saya pernah di posisi anak-anak Dewi, walau tidak sampai separah itu kekerasan yang saya terima. Namun, lama setelah Mama meninggal, semakin banyak saya baca, semakin saya menduga dia punya tekanan begitu besar yang memicunya sering marah.
Mungkin Mama dan Dewi capek, seperti yang semua ibu rasakan, tapi sayangnya dia kala itu tak terpapar informasi soal pentingnya meminta bantuan profesional psikologi atau mencari outlet tertentu sebelum lebih jauh menyakiti anaknya. Capek entah karena banyaknya tugas domestik yang mesti dikerjakan seraya momong anak, entah karena sedang didera masalah relasi dengan pasangan, konflik keluarga, atau lainnya. Mereka capek, cuma mereka pikir mustahil rehat dari perannya sebagai istri dan ibu, dan melarikan diri tidak terlintas sebagai opsi.
Karena isu beban fisik dan mental ibu kian naik di permukaan, banyak yang mengampanyekan pentingnya kesehatan jiwa ibu, terutama bagi yang baru melahirkan. Tapi lagi-lagi, tidak semua ibu terpapar hal ini.
Ini diperparah dengan langgengnya peran tradisional laki-laki yang masih lebih sedikit dibanding ibu dalam hal pengasuhan anak. Pada post Instagram Magdalene “Mother, How Are You Today”, ada seorang ibu yang berkomentar mengenai bagaimana ia masih disalahkan suaminya kalau rumah terlihat seperti kapal pecah, dan dia tidak diberi izin untuk sekadar refreshing.
Para ibu semacam ini juga masih bertahan dengan hubungannya karena satu dan lain hal. Bayangkan, di saat mereka stres, depresi, punya gangguan kecemasan dan bermacam masalah jiwa lainnya, bagaimana dia bisa terus tersenyum, ceria, dan menemani anak bermain?
Baca juga: Menjadi Ibu yang (Tidak) Sempurna
Regulasi yang Ada Belum Cukup Efektif, Konsekuensi Buruk bagi Anak Berlanjut
Indonesia sudah punya Undang-Undang (UU) Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan UU Perlindungan Anak terkait kekerasan orang tua kepada anak. Bagusnya lagi, hal ini juga ditekankan dalam salah satunya buku Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang dirilis Direktorat Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan.
Sayangnya, kebanyakan masyarakat masih “mendiamkan” itu meski tahu separah apa dampaknya bagi si korban. Alasannya, mirip seperti yang dibilang Dewi tadi: Ini anak-anak saya, jangan ikut campur.
Sebenarnya kalau sudah menyangkut anak yang tersakiti, plus ada bukti fisik dan psikisnya, orang tua yang jadi pelaku kekerasan bisa dilaporkan ke polisi. Tapi apa setelah itu?
Anak masih tetap trauma, lalu belum tentu dia punya tempat perlindungan dari anggota keluarga lainnya. Belum tentu ada yang bisa memberi dia uang untuk menyambung hidup. Ditampung di Dinas Sosial, ada berapa anak yang mesti mereka urus kalau semua kasus kekerasan orang tua diperkarakan di pengadilan?
Lalu, bagaimana kelanjutan perkembangan relasi anak dengan orang lain saat ia tumbuh besar? Katanya, relasi orang tua-anak itu berpengaruh sekali pada kehidupan dewasanya. Sebagian anak korban penyiksaan atau perundungan orang tuanya berpotensi menjadi pelaku kemudian hari, entah kepada siapa, karena itu yang ia pelajari dari bagaimana memperlakukan atau mendisiplinkan orang. Tidak mudah untuk unlearn sesuatu yang lama mengakar, apalagi sejak masih kecil.
Baca juga: Ketika Mencintai Suami Terasa Sungguh Melelahkan
Inisiatif Meningkatkan Kesadaran Kesehatan Jiwa Ibu
Mulai dari pemerintah, swasta, akademisi, komunitas, hingga individu sudah banyak yang berinisiatif menyosialisasikan pentingnya kesehatan mental ibu, tidak hanya bagi diri ibu sendiri, tetapi juga semua orang di sekitarnya.
Banyak akun media sosial yang berfokus pada isu ibu hamil dan yang baru bersalin, seperti terlihat di buku KIA tadi. Tak cuma di buku KIA, di salah satu kuesioner syarat nikah yang harus diisi di Puskesmas setempat juga menyinggung apakah calon mempelai perempuan punya isu kesehatan jiwa.
Hal seperti ini patut diapresiasi. Tapi kalau jadi semacam formalitas saja, ya sama juga bohong. Banyak orang juga masih malu mengakui masalah mentalnya karena merasa tidak “gila”.
Ada juga inisiatif bernama Rumah Pendamping Emak Sehat Jiwa (Ramping Emak Sejiwa) dari program studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang melibatkan sejumlah tokoh masyarakat lokal. Inisiatif seperti ini baik jika diadakan lebih intensif dan direplikasi di semua daerah.
Pekerjaan rumah tersulit barangkali adalah bagaimana membahasakan persoalan kesehatan mental ibu di kalangan akar rumput agar bisa mereka resapi dan tindak lanjuti dengan tepat, tanpa upaya “klenik” atau simplifikasi dengan berdoa saja dan pasrah.
Semoga melihat para ibu sehat jiwa dan anak-anaknya sejahtera tak hanya jadi mimpi saya, dan tidak hanya bisa terwujud oleh kami yang berprivilese.
Ilustrasi oleh Karina Tungari