Menjadi Ibu yang (Tidak) Sempurna
Masyarakat kita terlalu mendewakan sosok ibu yang sempurna tanpa melihat ada peran ayah dalam sebuah keluarga.
“Anak kamu sudah lima tahun, enggak mau tambah momongan?”
“Ayo tambah anak lagi, mumpung kantor bisa nanggung sampai tiga anak.”
Pertanyaan-pertanyaan semacam di atas sering kali saya dapatkan ketika bertemu teman lama atau saat tengah berkumpul bersama keluarga. Saya hanya memiliki seorang anak dan saya tidak ingin lagi punya anak karena beberapa alasan, namun saya sangat lelah untuk menjelaskan semuanya pada mereka.
Menjalani peran menjadi seorang ibu menurut saya adalah hal yang terberat. Banyak hal yang berubah sejak saya punya anak dan sayangnya, saya tidak memiliki kesiapan mental yang cukup untuk menjadi ibu sebelum saya punya anak. Saya jadi tidak punya waktu untuk diri sendiri, saya tidak bisa hanya sekedar jalan sendirian seperti yang dulu biasa saya lakukan, saya tidak bisa lagi santai menonton film favorit di laptop, saya tidak bisa lagi nongkrong di kafe bersama teman-teman, saya tidak bisa lagi menonton konser musik, perlu waktu lama untuk menyelesaikan membaca buku, dan masih banyak lagi. Apalagi saya juga tidak membicarakan pembagian peran menjadi orang tua kepada suami. Hal-hal ini yang tidak pernah saya pikirkan sebelumnya dan ternyata berdampak pada kesehatan mental saya.
Tidak lama setelah melahirkan, saya menjadi sulit tidur, sering menangis tengah malam, gampang sekali marah, dan berat badan turun drastis. Hal ini terjadi sampai anak saya berumur satu tahun. Kemudian saya baru menyadari ada yang salah dari saya ketika saya membaca sebuah unggahan di Instagram mengenai depresi pascakelahiran atau post-partum depression, dan juga banyak hal mengenai menjadi orang tua yang tidak saya ketahui.
Selama ini, pemikiran bahwa menjadi ibu haruslah sempurna tersebar dengan banyaknya slogan-slogan seperti, “Ibu adalah sekolah pertama anak”, “Jadi ibu tidak boleh marah, tidak boleh mengeluh, tidak boleh sakit, harus bisa sabar terus menerus”, dan lain sebagainya. Hal inilah yang ternyata menjadi beban di awal perjalanan saya menjadi ibu. Masyarakat kita terlalu mendewakan sosok “ibu” yang sempurna tanpa melihat ada peran “ayah” dalam sebuah keluarga. Padahal ibu juga manusia, bukan malaikat yang tidak pernah marah dan tahu segalanya; padahal berumah tangga adalah kerja sama antara dua orang, bukan hanya salah satu pihak saja.
Saya juga merasakan ketika saya lelah luar biasa, saya menjadi mudah sekali marah pada anak untuk hal-hal sepele, yang membuat saya kemudian menyesal dan meminta maaf padanya. Setelah saya runut penyebabnya adalah karena saya lelah menjalani ini sendirian, tanpa bantuan.
Lucunya ketika saya membahas mengenai kelelahan saya menjadi ibu, komentar yang cukup sering saya dengar adalah “Bersyukurlah, banyak orang yang ingin jadi ibu seperti kamu”. Kalimat ini terdengar seperti mendukung kita tapi sebetulnya pernyataan seperti ini justru menyakitkan karena artinya kelelahan kita tidak diakui dan tidak sebanding dengan orang lain yang katakanlah lebih menderita. Bukan berarti saya tidak bersyukur, tapi saya hanya ingin didengarkan. Dengan didengarkan keluhannya dan mendapatkan validasi atas perasaannya, para ibu sudah cukup merasa lega.
Kini keadaan sudah berubah. Saya dan suami menjalani pembagian peran dalam rumah tangga kami. Saya tidak bekerja sehingga saya mengurus anak sampai sore hari. Pada malam hari dan akhir pekan, suami saya yang menemani anak saya main, memandikan dan menyuapi makan. Sabtu-Minggu menjadi hari yang saya tunggu karena saya bisa melakukan hal-hal favorit saya.
Saya mulai mengikuti akun media sosial yang memberi dukungan pada peran ibu dan tidak lagi mengikuti akun yang selalu menekankan ibu, ibu, dan ibu, bukan ayah dan ibu. Saya belajar positive parenting. Saya juga selalu mengingatkan diri sendiri bahwa teko saya harus terisi penuh dengan kebahagiaan terlebih dahulu sebelum memberikannya kepada keluarga. Karena kalau teko saya kosong, apa yang harus saya berikan? Saya pun percaya prinsip dukungan kepada ibu seperti moms supporting moms jauh lebih membantu ketimbang harus berkomentar mom-shaming yang menyakitkan.
Ilustrasi oleh Karina Tungari