Dokumenter ‘Potongan’ Soroti Sensor Film yang Bungkam Kreativitas
Artikel kedua mengenai sensor film di Indonesia, yang banyak dikritik, terutama oleh pembuat film.
Sutradara film dokumenter Chairun Nissa meringis saat menyaksikan secara langsung bagaimana petugas Lembaga Sensor Film (LSF) memotong-motong pita seluloid sebuah film, yang salah satu adegannya dianggap menjurus pornografi.
“Melihat potongan film seluloid cuma dibuang di kardus di bawah kolong meja, rasanya syok. Sebagai mahasiswa film, gue merasakan beli film itu susah dan mahal,” ujar Chairun, yang biasa dipanggil Ilun, ketika menceritakan proses pembuatan film dokumenter Potongan (2016).
Ide film itu diawali dari kegiatan Ilun dan teman-temannya di Lab Laba Laba, sebuah kelompok kerja yang berfokus pada pembelajaran dan apresiasi film analog. Kemudian timbul pertanyaan-pertanyaan bagaimana proses sensor dilakukan, apa saja yang disensor, dan lain sebagainya.
“Kami sempat melakukan study tour ke LSF, lalu meminta izin untuk melihat prosesnya bagaimana, dan kemudian kami jadikan dokumenter ini,” ujar Ilun, yang merupakan lulusan Penyutradaraan dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ) pada 2009.
Proses pembuatan film dimulai pada 2015. Sebagai bahan “eksperimen sensor” yang diajukan ke LSF adalah film Babi Buta yang Ingin Terbang (2008) karya sutradara Edwin, inisiator Lab Laba Laba. Film ini masih menggunakan medium film seluloid dan belum pernah disensor sebelumnya oleh LSF, karena hanya diputar di festival, bukan bioskop komersial. Babi Buta sendiri mengisahkan seorang perempuan keturunan Cina yang ingin berdamai dengan identitasnya setelah kerusuhan Mei 98, di mana banyak perempuan keturunan Cina diperkosa.
Setelah melalui proses dua bulan dengan LSF, akhirnya keluarlah keputusan bahwa ada beberapa adegan-adegan yang perlu direvisi alias dipotong. Pihak Edwin mengajukan banding karena tidak menerima keputusan soal bagian yang disensor. Proses tersebut direkam diam-diam oleh Ilun, karena pihak LSF melarang rapat pleno itu didokumentasikan.
Menurut LSF, tema yang diangkat oleh Babi Buta “membuka luka lama” dan beberapa adegan dianggap terlalu porno serta memperlihatkan kekerasan secara eksplisit. Edwin dan timnya pembuat film berargumen, adegan-adegan itu menceritakan proses pemulihan si tokoh protagonis.
“Pihak LSF mengatakan, intinya keputusan mereka harus diikuti. Salah satu anggotanya kemudian pergi begitu saja dan bilang, ‘Sudah revisi ajalah’. Padahal kita mau ketemu untuk mencari jalan tengahnya, biar tidak dipotong,” ujar Ilun kepada Magdalene, baru-baru ini.
Bahkan ketika mereka mengajukan agar klasifikasi umur dinaikkan menjadi 21 tahun ke atas, dengan maksud agar filmnya tidak disensor, pihak LSF tetap dengan keputusannya, bahwa jika ingin lulus sensor, adegan-adegan yang disarankan untuk dipotong harus dipotong.
“Untuk adegan ciuman, meskipun saat pembuat film mengajukan filmnya untuk 21 tahun ke atas, tetap saja disensor. Tapi ada juga adegan ciuman (di film lain) yang tidak disensor. Sampai kadang-kadang kita sesama filmmaker suka bercanda, ‘Apa kita bikin tutorial aja ya? Mana ciuman yang disensor dan enggak disensor’. Soalnya standarnya kurang jelas,” ujar Ilun sambil tertawa.
Ia mengatakan bahwa seiring dengan perkembangan masyarakat, seharusnya LSF dapat merespons kebutuhan masyarakat dengan membuat klasifikasi umur yang beragam, ketimbang menyensor film.
“Contohnya Babi Buta, yang selama ini ditayangkan di bioskop-bioskop alternatif. Ternyata film ini disambut hangat dan membuka ruang-ruang diskusi untuk penonton. Orang membahas dan terhubung dengan tema film ini. Nah, selama film ini oke, kenapa harus disensor, loloskan saja sesuai klasifikasi umur,” ujar Ilun.
Potongan juga menyoroti film Senyap karya Joshua Oppenheimer, yang dilarang pemerintah karena dianggap bisa menyebarkan paham komunisme. Dalam Potongan, diperlihatkan bahwa meski dilarang, Senyap disebarluaskan melalui YouTube dan bisa ditonton oleh jutaan orang dari seluruh dunia, termasuk Indonesia.
“Sebenarnya menurut gue sensor itu sudah tidak relevan lagi sama situasi saat ini di mana semua orang bisa mendapatkan konten itu dari mana aja,” ujar Ilun.
Sudah saatnya LSF lebih mempercayai masyarakat untuk mengeksplorasi kebutuhan-kebutuhan mereka termasuk memilih film tanpa perlu disensor sebelumnya, tambahnya.
“Proses kita sebagai penonton kan melihat kebutuhan, genre mana yang kita sukai atau tidak sukai. Penonton seharusnya bukan dijadikan objek. Kita bisa menentukan kita maunya apa, bukan melulu harus disuapi,” ujar ilun.
Baca artikel utama mengenai pentingnya lembaga klasifikasi, bukan sensor film.
Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa