Lifestyle

Sleeping Beauty: Bagaimana Tidur Jadi Komoditas Langka Saat Dewasa

Kalau saya tahu salah satu penyakit orang dewasa adalah susah tidur, saya dulu akan lebih nurut kata orang tua saat disuruh tidur siang.

Avatar
  • August 25, 2020
  • 5 min read
  • 738 Views
Sleeping Beauty: Bagaimana Tidur Jadi Komoditas Langka Saat Dewasa

Dari kecil saya suka sekali menonton film. Ketika Titanic dirilis dan semua orang menonton film tersebut, saya dan teman-teman saya bergerilya untuk bisa menonton film legendaris tersebut. Dan ketika film tersebut diputar ulang di salah satu TV swasta (dipecah menjadi dua bagian karena durasinya kepanjangan), keinginan untuk menonton ulang film tersebut selalu ada. Meskipun Titanic tayang di atas jam 11 malam, saya berusaha keras untuk bangun. Dan biasanya ending dari usaha tersebut adalah saya ketiduran. Saya hanya bisa kebagian menonton sampai adegan Jack menang lotre kemudian keesokannya saya terbangun dengan perasaan kesal.

Tidak ada yang menyangka bahwa hal tersebut menjadi salah satu hal yang saya rindukan ketika saya dewasa dan berusia tepat kepala tiga saat ini: Ketiduran saat menonton. Sekarang-sekarang ini saya hampir tidak pernah ketiduran saat menonton sesuatu. Mungkin karena saya berkacamata dan selalu tersadar bahwa saya sebaiknya tidak boleh tidur saat memakai kacamata (kacamata mahal, cuy). Tapi alasan utamanya adalah karena sekarang susah sekali bagi saya untuk tidur.

 

 

Ini adalah sebuah kejutan. Tidak ada yang memberitahu saya bahwa ketika beranjak dewasa saya harus belajar banyak hal. Mulai dari menghitung pajak, menabung supaya punya rumah (yang udah dapet warisan rumah dari bonyok, I envy you so effing much), mencari teman yang tidak toksik sampai bagaimana caranya bisa tidur dengan cepat. Kedengarannya sepele: Tidur. Tapi ternyata kenyataannya tidak sesepele itu.

Sekarang ini, untuk bisa tidur saya biasanya harus melakukan ritual-ritual ini berikut ini:

  1. Memastikan kamar sudah dingin (ya kalian bisa bilang saya manja tapi tidur berkeringat kalau sebelumnya tidak diikuti dengan adegan dewasa adalah sebuah hal yang tidak berguna);
  2. Memastikan kondisi kasur sudah enak (seprei yang rapi dan bersih adalah kunci untuk tidur dengan namaste);
  3. Mengoleskan essential oil ke pergelangan tangan saya;
  4. Memutar playlist tidur dari Spotify. Bisa membutuhkan waktu setengah jam untuk menentukan apakah malam tersebut saya sedang mood mendengarkan jazz atau suara ombak. Atau bahkan mungkin piano;
  5. Scrolling media sosial sampai akhirnya mengantuk;
  6. Kalau ini semua masih belum berhasil, kadang sampai perlu nonton sesuatu di Netflix untuk membuat saya terlelap. Poin keenam ini agak berbahaya karena kalau yang ditonton terlalu seru, kadang akhirnya jadi begadang.

Baca juga: Satu Resep Bahagia: Kenali Diri Sendiri

“Can, lo aja yang lebay. Gue tidur tidur aja. Nggak pake yang aneh-aneh.”

Dan bersyukurlah kalau kalian memang tipe orang yang bisa tidur di mana saja, kapan saja. So many of us (saya yakin saya tidak sendirian dalam hal ini), harus berusaha keras untuk bisa tidur setiap malamnya. Kalau saja waktu kecil ada yang memberi tahu saya bahwa salah satu penyakit orang dewasa adalah susah tidur, saya mungkin akan lebih mengapresiasi ketika orang tua saya menyuruh saya tidur siang ketika saya masih bocah.

Dan yang lebih menyebalkan lagi dari semua ritual sebelum tidur tersebut adalah kualitas tidur saya pun tidak benar-benar bagus. Bangun tidur rasanya seperti tidak beristirahat. Sebagai orang yang selalu bermimpi setiap tidur, saya selalu merasa otak saya tidak pernah beristirahat. Dan ini terjadi terus-terusan setiap malam.

Kenapa ini bisa terjadi? Apakah ini kutukan menjadi dewasa?

Dulu ketika saya masih muda, katakanlah masih SMA, saya bisa tertidur dengan mudahnya. Sekarang setiap kali mau tidur, kepala saya beterbangan ke mana-mana. Kadang memikirkan tentang deadline mana yang harus saya kerjakan duluan. Kadang saya memikirkan tentang nasib kucing saya. Apa yang akan saya lakukan kalau misalnya kucing saya pergi tiba-tiba dan tidak pernah kembali? Biasanya setelah memikirkan ini, saya akan pergi ke tempat kucing saya tidur lalu dengan egois membangunkan dia supaya dia mau saya peluk. Kadang memikirkan tentang kejadian-kejadian yang terjadi di masa lalu.

Baca juga: 5 Tips Mencari Tahu Potensi Diri

Dan ini saya belum membahas kontemplasi tengah malam dengan genre romansa. Sebagai orang yang selalu naksir orang tapi orangnya enggak naksir balik ke saya, pikiran-pikiran seperti “kenapa gue enggak laku-laku”, “gue kurang apa ya?”, “apakah karena kelakuan gue kayak anjing?” selalu muncul ketika saya ingin tidur. Kadang kala saya akhirnya tertidur ketika saya benar-benar pusing karena tidak tahu jawabannya. Dan saya perhatikan, bukan saya saja yang mengalami hal ini. Setiap kali saya membuka Twitter saya tengah malam, saya lihat banyak sekali orang-orang punya kontemplasi yang sama.

Kadang kalau saya benar-benar ingin tidur lelap, saya mengambil obat yang ditujukan agar Anda tidak muntah dalam perjalanan. Efeknya memang membuat saya tertidur lelap. Sayangnya obat tersebut ada efek sampingnya. Ketika bangun saya lebih linglung dari yang sudah-sudah. Mata rasanya seperti berat sekali. Keinginan untuk rebahan dan bermalas-malasan seharian juga jauh lebih tinggi. Basiannya benar-benar tidak enak.

Saya tahu bahwa keluhan saya ini sama sekali tidak esensial. Banyak orang di luar sana yang punya masalah yang lebih gawat daripada susah tidur. But I can’t help but wonder (get it?), apakah ada jawaban dari semua kerumitan ini? Apakah ini adalah tanda bahwa saya harus mulai berolahraga lebih sering supaya tidurnya lebih enak? Atau ini tanda bahwa saya harus mulai makan makanan yang lebih sehat? Atau ini memang cara alamiah tubuh kita untuk mengingatkan kita bahwa being adult effing sucks? Kalau kalian tahu jawabannya, please tell me. Karena makin ke sini, kontemplasi tengah malam saya mulai tidak sehat. Saya bahkan tidak bisa membedakan antara horny dan kangen.



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *