Bagaimana Islam Memandang KDRT?
Ada kesalahpahaman dalam memaknai Surat An-Nisa ayat 34 terkait kasus KDRT.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tidak khusus terjadi pada kelompok agama tertentu. Badan PBB untuk Perempuan (UN Women) Indonesia mengungkapkan satu dari tiga perempuan di dunia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencatat satu dari lima perempuan di dunia mengalami pemerkosaan atau percobaan pemerkosaan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) juga mencatat sepanjang 2019, sedikitnya terjadi 11.105 kasus KDRT di Indonesia.
Di Australia, satu dari enam perempuan mengalami kekerasan fisik atau seksual, dari pasangan saat ini atau sebelumnya. Meski demikian, beberapa laporan media di sana menimbulkan perhatian mengenai KDRT di komunitas Muslim, dan sering kali menghubungkannya dengan Surat An-Nisa ayat 34. Kesalahpahaman ini tidak hanya menjadi kesalahan di komunitas Australia, akan tetapi juga disalahpahami secara luas di komunitas Muslim.
Beberapa individu dan organisasi Muslim berkomentar tentang An-Nisa ayat 34 tanpa pemahaman yang tepat tentang konteksnya. Ini hanya menambah kesalahpahaman tentang apa pandangan Islam tentang KDRT.
Pandangan Islam terhadap KDRT bersumber dari Al-Quran, hadis dan Sunnah Nabi, sejarah, dan fatwa ulama. Al-Quran dan Sunnah dengan jelas menggambarkan hubungan antarpasangan. Al-Quran mengatakan bahwa hubungan itu didasarkan pada ketenteraman, cinta tanpa syarat, kelembutan, perlindungan, dukungan, kedamaian, kebaikan, kenyamanan, keadilan, dan belas kasih.
Nabi Muhammad memberi contoh langsung tentang cita-cita hubungan pernikahan dalam kehidupan pribadinya. Tidak ada perkataan Muhammad yang lebih jelas tentang tanggung jawab suami terhadap istrinya selain tanggapannya ketika ditanya.
Beri dia makanan saat kamu mengambil makanan, beri dia pakaian ketika kamu membeli pakaian, jangan mencaci wajahnya, dan jangan memukulinya.
Nabi lebih lanjut menekankan pentingnya sikap baik terhadap perempuan dalam perjalanannya. Pelanggaran terhadap hak perempuan dalam perkawinan sama dengan pelanggaran perjanjian perkawinan itu dengan Tuhan.
Baca juga: Problem Pembahasan Kekerasan Seksual dalam Fikih Islam
Kekerasan terhadap seorang perempuan juga dilarang karena bertentangan dengan hukum Islam, khususnya tentang kehidupan dan akal, dan perintah Al-Qur’an tentang kebenaran dan perlakuan baik.
Kekerasan dalam rumah tangga dilihat dengan konsep kerugian (darar) dalam hukum Islam. Ini termasuk kegagalan suami untuk memberikan kewajiban keuangan (nafkah) untuk istrinya, tidak hadirnya suami dalam waktu lama, ketidakmampuan suami untuk memenuhi kebutuhan seksual istrinya, atau perlakuan sewenang-wenang anggota keluarga terhadap istri.
Pada abad ke-17, selama Kekaisaran Turki Usmani, vonis hukum dikeluarkan terhadap suami yang melakukan kekerasan dalam beberapa kasus KDRT. Islam mengizinkan istri yang dilecehkan untuk mengklaim kompensasi di bawah ta’zir (hukuman jasmani). Ahli hukum Suriah abad ke-19 Ibnu Abidin mengatakan ta’zir wajib dikenakan untuk:
… laki-laki yang memukuli istrinya secara berlebihan dan “mematahkan tulang”, “membakar kulit”, atau “menghitamkan” atau “memar kulitnya”.
Bagaimana dengan An-Nisa ayat 34?
Tetapi jika Islam mengutuk semua bentuk kekerasan terhadap perempuan, bagaimana dengan An-Nisa ayat 34? Tafsir dari ayat ini berbunyi:
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).
Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.
Baca juga: Isu Besar Bagi Muslim: Pernikahan Nabi Muhammad-Aisyah dan Poligami
Ayat ini secara khusus membahas masalah hukum nusyuz, yang secara kontroversial diterjemahkan sebagai ketidaktaatan istri, pembangkangan terang-terangan, atau kelakuan buruk.
Ini penting karena prinsip umum yang digunakan adalah bahwa seorang istri berhak untuk mendapatkan nafkah dari suaminya sesuai dengan pedoman hukum Islam. Satu-satunya pengecualian dari hak ini adalah ketika dia nusyuz.
Perdebatan tentang An-Nisa ayat 34 di dunia Barat khususnya terkait dengan terjemahan bahasa Inggris. Tidak ada terjemahan yang akurat dari ayat ini; ini menambah masalah bagi penutur bahasa Inggris.
Ada tiga kata khusus: qawwamuna, nushuzahunna, dan wadribuhunna yang muncul dalam ayat ini dan sering salah diartikan, terutama karena kurangnya kata-kata yang setara dalam bahasa Inggris.
Yang menjadi masalah utama adalah bagaimana kata wadribuhunna diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ada ketidaksepakatan di antara para pembahas Al-Quran berbahasa Inggris tentang cara terbaik untuk menerjemahkan kata ini. Semua terjemahan yang ada memberikan konotasi negatif yang eksplisit, dan ketika dibacakan di luar konteks semakin memperburuk kesalahpahaman.
Tidak satu pun akademisi Muslim klasik dan kontemporer berpendapat bahwa wadribuhuna sebenarnya berarti “memukul” istri, terlepas dari bagaimana terjemahan bahasa Inggris menerjemahkan artinya.
Para ahli telah melakukan segala upaya untuk menetapkan kondisi ketat yang mengatur wadribuhunna, yang merupakan upaya terakhir dalam kegagalan perkawinan yang disebabkan oleh nusyuz istri. Jadi setiap bentuk kekerasan dan paksaan terhadap perempuan yang digunakan untuk mengontrol atau menaklukkan dianggap penindasan dan tidak dapat diterima dalam Islam, bahkan jika itu dibolehkan dalam praktik budaya.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.