Problem Pembahasan Kekerasan Seksual dalam Fikih Islam
Isu gender dan seksualitas secara progresif belum mendapat tempat khusus dalam wacana keislaman tradisional, apalagi menjadi satu gerakan konkret.
Isu kekerasan seksual mulai banyak disorot dewasa ini. Mendesaknya pengesahan Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), serta meningkatnya kesadaran gender dan seksualitas di masyarakat turut membentuk pemahaman yang lebih baik tentang ragam bentuk kekerasan seksual. Tak terkecuali di lingkungan masyarakat beragama.
Tanpa mengabaikan peranan agama lain, Islam yang menjadi mayoritas di Indonesia berpengaruh dalam pengarusutamaan isu gender dan seksual dalam masyarakat. Era modern tidak menghilangkan patronasi umat Islam dalam beragama. Merujuk otoritas ulama menjadi satu ideal tersendiri dalam mengamalkan ajaran Islam. Merujuk kiai dan ustaz tertentu adalah hal lumrah, dan lingkungan yang lebih lokal kerap mengikuti kiai-kiai di pesantren.
Memang usaha memperkenalkan konsep feminisme dalam Islam, seperti dilakukan oleh Musdah Mulia; Nur Rofiah melalui Kajian Gender Islam (KGI); atau K.H. Husein Muhammad melalui Fahmina Institute, telah membuka jalan diskusi gender dan seksualitas di lingkungan muslim. Namun perlu dicatat bahwa isu gender dan seksualitas secara progresif belum mendapat tempat khusus dalam wacana keislaman tradisional, apalagi menjadi satu gerakan konkret.
Berbicara dalam kerangka besar keislaman, Al-Quran dan ragam riwayat hadis menyatakan bahwa Islam menyetarakan manusia perempuan dan laki-laki, serta memperbaiki posisi perempuan di masyarakat. Maqashid syariah (tujuan-tujuan syariat) menegaskan pentingnya berfikih dengan berpedoman pada tujuan besar syariat dalam al-kulliyat al-khams (kaidah universal yang lima, yaitu menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga harta, menjaga keturunan, serta menjaga akal/rasionalitas). Sayangnya, klaim dan kerangka besar itu memiliki keterbatasan.
Persoalan menjadi lain dalam lingkup kajian fikih klasik dan diktum yang spesifik. Para penceramah dan ulama yang tradisional-konservatif tetap akan mengklaim Islam telah memuliakan perempuan, dan menjaga mereka dari kekerasan seksual. Mereka akan mengutip ayat dan hadis serta kisah ulama perempuan, tapi di sisi lain menilai moralitas perempuan masa kini sebagai pihak yang mesti “tahu diri” dalam masalah seksualitas.
Baca juga: RUU PKS Tidak Menyalahi Ajaran Islam
Kerap kita dapati ceramah maupun sikap ulama yang kurang peka terhadap seksualitas maupun gender. Misalnya, tuduhan zina semata kekeliruan perempuan; doktrin perempuan untuk lebih mengurusi perkara domestik; poligami yang diklaim menjadi ajaran agama; bahkan sampai adanya kasus pencabulan guru agama kepada para santrinya.
Berbeda mazhab
Salah satu buku yang menarik dalam menyoroti problem fikih klasik terhadap isu kekerasan seksual adalah karya Hina Azam, berjudul Sexual Violation in Islamic Law. Buku ini memotret perkembangan hukum Islam dalam koridor dua mazhab besar, yaitu mazhab Hanafi dan mazhab Maliki. Kedua mazhab ini disorot oleh Hina Azam karena keduanya adalah mazhab fikih tertua dan masih banyak dianut muslim di dunia hari ini. Selain itu, menurut Hina Azam, doktrin kedua mazhab ini sedikit banyak menjadi basis mazhab Syafii dan Hanbali, yang akrab bagi masyarakat Indonesia—mazhab Syafii diajarkan secara detail di pesantren, sedangkan mazhab Hanbali cenderung populer di kalangan Salafi-Wahabi.
Dalam aspek kekerasan seksual, setidaknya kedua mazhab tertua itu berbeda dalam beberapa aspek. Menurut mazhab Hanafi, perbuatan kekerasan seksual (dalam hal ini pemerkosaan) masuk dalam klasifikasi zina, yang menjadikan hukuman pelakunya terkait hukum hadd—di antaranya adalah diasingkan, cambuk, atau rajam. Hanya saja sifat zina ini adalah “zina yang disertai paksaan”. Sedangkan mazhab Maliki mengakomodasi pandangan bahwa masalah kekerasan seksual tidak hanya urusan moralitas yang diatur dalam hadd, namun juga urusan fisik dan properti (pengambilan kuasa atau ightishab).
Perlu ada produk hukum fikih yang mengelaborasi visi luhur Islam dan yang erat dengan kondisi sosial dan budaya. Irisan ini akan membuat hukum fikih tidak lagi sebagai sesuatu yang final dan formalistis, namun membangun paradigma masyarakat yang lebih berkeadilan.
Masalah bahasan kekerasan seksual dalam perkembangan hukum Islam tidak hanya terkait seksualitas saja, namun juga dengan isu properti (dalam kasus perbudakan dan pernikahan), moralitas, serta hak-hak manusia dalam bahasan hadd atau hudud – hukuman yang ada ketentuannya dalam sumber-sumber keislaman.
Fikih yang masih banyak diajarkan di masyarakat Indonesia sendiri belum memiliki definisi konkret tentang pemerkosaan, apalagi kekerasan seksual lainnya. Padahal menjadikan pemerkosaan semata bagian dari zina menafikan aspek kekerasan yang terjadi karena imbas “kekerasan” ini tidak sederhana, bisa trauma fisik maupun psikis. “Kekerasan seksual” yang masih dianggap sekadar bagian dari zina, menjadikan pembahasannya penuh bias moral atau patriarki.
Imbas menyamakan kekerasan seksual hanya bagian dari zina juga memiliki beragam konsekuensi. Salah satunya adalah pembuktian dalam perilaku kekerasan. Persoalan putusan bukti kekerasan seksual semata dalam fikih dapat dinilai hanya dari adanya kehamilan atau kerusakan organ seksual atau fisik. Sekali lagi, jika tidak ada bukti kekerasan, hal ini bisa dianggap hanya sekadar dalam koridor “zina”.
Serta ini yang terpenting: Pengabaian kesaksian dari sudut pandang perempuan. Dalam khazanah hukum klasik, disebutkan bahwa hadd zina bisa ditegakkan dengan adanya empat saksi pria yang adil. Meski mungkin hukum positif tidak mengadopsi syarat kesaksian itu, namun kerangka pikir tersebut jadi problem dalam mendudukkan peranan keterangan dan perspektif perempuan. Apalagi jika dilakukan dalam konteks ketiadaan saksi mata, kesaksian perempuan terbatas pada masalah qadzf (tuduhan zina) saja.
Sekali lagi, khazanah fikih yang berbasis qauli—dengan mencari ibarat-ibarat yang spesifik, sejauh pemahaman penulis, belum memadai dalam soalan kekerasan seksual. Barangkali untuk masalah pemerkosaan, pemahaman Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah maupun imam mazhab lainnya bisa dirujuk. Namun bagaimana dengan permasalahan kekerasan seksual non-fisik, mulai dari pelecehan, verbal, kekerasan non-penetrasi, serta bentuk kekerasan seksual lainnya?
Baca juga: Ulama Perempuan Tolak Kekerasan Seksual, Pernikahan Anak, dan Perusakan Alam
Terlebih lagi kekerasan seksual dalam pernikahan. Memang agama Islam mengajarkan etika berkeluarga yang baik. Namun dalam fikih, aturan-aturan yang timpang gender seperti kebolehan memukul istri dan pembatasan peranan istri sebatas dalam ranah domestik, menjadikan kekerasan dalam rumah tangga tidak cukup terakomodasi. Apalagi mindset maskulinitas bahwa perempuan mesti berada dalam naungan suaminya, menjadikan peluang kekerasan itu semakin memungkinkan.
Penting diketahui bahwa perkembangan mazhab fikih, meski berbasis pada Al-Quran dan hadis, juga tidak lepas dari kondisi masyarakat, relasi kuasa, serta perkembangan sosio-kultural masyarakat Timur Tengah yang menjadi objek hukum fikih kala itu. Perlu dibedakan produk hukum fikih yang mengelaborasi visi luhur Islam, serta produk hukum mana yang erat dengan kondisi sosial dan budaya. Dengan membuat irisan ini, seseorang tidak akan memandang hukum fikih sebagai sesuatu yang final dan formalistis, serta senantiasa membangun paradigma masyarakat yang lebih berkeadilan.
Lembaga keislaman seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sudah mulai akomodatif terhadap isu-isu gender dan seksual, salah satunya dengan mendukung pengesahan RUU PKS. Meski harus diapresiasi, hal itu tidak meniadakan kondisi riil pemahaman keislaman di masyarakat muslim akar rumput soal gender dan seksualitas.
Persoalan penghargaan hak-hak perempuan serta relasi gender dan masalah seksualitas mesti diberi tempat dalam bahasan fikih dan isu keislaman lainnya, termasuk dalam kultur muslim tradisional. Dengan demikian, isu-isu gender dan seksualitas tidak menjadi hal yang tabu, serta ketimpangan patriarkal bisa diatasi dengan basis teologi keislaman yang konkret.