Pandemi Turunkan Partisipasi Kerja, Perempuan Miskin Paling Terdampak
Pandemi COVID-19 membuat perempuan kepala keluarga, penenun batik, dan pembuat jamu kehilangan pendapatan sehari-hari.
Sebelum pandemi COVID-19 dua tahun lalu, Rahma dan anggota Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) di Bima, Nusa Tenggara Barat kerap membuat kue yang dijajakan di warung sekitar rumah mereka. Untuk memodali usaha kue, ibu tiga anak itu menerima dana dari swadaya simpan pinjam dan arisan setiap pekan.
Namun, pandemi terpaksa membuat mereka harus mengubah rutinitas itu. Beberapa anggota PEKKA pindah ke daerah lain, seperti Sumbawa, NTB untuk menjadi buruh tani. Melihat situasi tersebut, Rahma sebagai kader PEKKA di daerahnya mencari solusi agar anggota lain tak meninggalkan keluarga demi mencari nafkah.
Rahma mendekati pemerintah desa di Bima, lalu menawarkan jasa dan keahlian perempuan PEKKA untuk membuat masker. Selain itu, mereka juga melakukan penggalangan dana guna memodali usaha makanan salome di warung-warung. Tahun lalu, Rahma dan anggota lainnya mengumpulkan minyak jelantah untuk dijadikan sabun cuci dan bank sampah untuk dijual ke pengepul.
Hal yang dilakukan Rahma dan anggota PEKKA di Bima menjadi menjadi perhatian penuh Romlawati, Co-Executive Director PEKKA. Dia mengatakan, perempuan PEKKA mengembangkan produksi usaha sesuai sumber daya alam daerah masing-masing. Di timur Indonesia, misalnya, kelapa digunakan sebagai alternatif minyak saat terjadi kelangkaan minyak.
“Konsumen utama usaha ini anggota PEKKA, tapi sekarang berkembang ke masyarakat lokal. Selain itu, (mereka) mengampanyekan untuk belanja di warung tetangga karena ini mendukung usaha yang dikelola perempuan kepala keluarga,” ujarnya.
Tantangan perekonomian juga menghantam perempuan komunitas Empu yang fokus di bidang fesyen ramah lingkungan. Leya Cattleya, konsultan dan spesialis serta penggagas Empu mengatakan, pandemi meruntuhkan sendi perekonomian bagi perempuan yang bergerak di bidang kreatif dan kebudayaan, terutama yang memiliki misi untuk melanggengkan fesyen ramah lingkungan.
“Saat pandemi, penjualan Empu relatif nol, padahal harga dan karya mereka terbuat dari bahan alami, seperti pewarna,” ujarnya.
“Sebelum pandemi, kita ekspor garmen terbesar, saat pandemi banyak penenun yang sulit dapat benang dan meningkatkan resiko mereka kembali ke rentenir (untuk mendapatkan modal),” imbuhnya.
Sementara itu, lanjutnya, peramu jamu yang digadang-gadang pendapatnya meningkat selama pandemi, ternyata tak terjadi. Selama Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM), kebanyakan portal perumahan ditutup dan peramu jamu sulit menjajakan dagangannya. Selain itu, penjamu juga bukan kelompok yang diperhatikan pemerintah.
“Penenun dan peramu jamu rentan resiko kemiskinan karena mereka masuk dalam kelompok miskin sebelum pandemi. Bencana ini menghantam siapa saja, khususnya perempuan yang banyak kerja tak berbayar dan dianggap hanya membantu saja,” tandasnya.
Baca juga: Asal Suami Senang: Bias Aturan Perbankan dan Sulitnya Perempuan Punya Usaha
Pandemi Hambat Perkembangan Ekonomi Perempuan
Leya mengatakan, perempuan Empu menerima dukungan dari komunitas perempuan, aktivis, hingga beralih menjadi pemilik UMKM dan menerima dana bantuan presiden. Membuka usaha mandiri juga menjadi satu upaya perempuan penenun, pembatik, dan peramu jamu untuk mempertahankan kondisi ekonomi keluarga.
Jika menilik data dari Badan Pusat Statistik (BPS), selama pandemi mayoritas usaha UMKM dikelola perempuan hingga mencapai 64,5 persen. Sementara, Kementerian Keuangan mencatat perempuan pekerja informal mencapai 93 persen dan selama pandemi banyak perempuan yang membuka usaha ‘rumahan’ untuk mendukung ekonomi keluarga. Selain itu, Kementerian Perindustrian menyatakan 47,6 persen usaha kecil dan menengah dijalankan oleh perempuan.
Meski demikian, laporan World Economic Forum (WEF) tahun 2021 menemukan selama pandemi COVID-19 ada kemunduran dalam pencapaian kesetaraan gender di berbagai sektor, seperti ekonomi. Leya menambahkan, walaupun perempuan industri kreatif dan kebudayaan mendapatkan bantuan ada yang kesulitan menerima dana bantuan pemerintah karena KTP tidak sesuai daerahnya.
“Pada umumnya mereka menolak jika ada pinjaman dengan bunga dan tertarik dengan hibah. Tetapi terbatas saat pandemi dan beberapa UMKM yang terjerat pinjaman daring dengan serangan yang luar biasa,” katanya.
Ia mengatakan, teknologi dan digitalisasi yang didorong selama pandemi memang menjadi salah satu solusi agar perempuan bisa menjajakan dagangannya secara daring.
“Belum bisa optimal karena literasi pada teknologi cukup terbatas dan tidak semua komunitas bisa menggunakannya dan memasarkan produknya di media sosial atau platform yang lain,” tuturnya.
Baca juga: Finansial Setara untuk Perempuan Cuma Mimpi di Siang Bolong?
PHK dan Kebijakan yang Belum Memihak Perempuan
Abby Gina, Direktur Utama Yayasan Jurnal Perempuan juga mengatakan, dampak lebih jauh terhadap perempuan berupa pemutusan hak kerja. Pasalnya, perempuan perempuan masih dianggap bukan pencari nafkah utama, sehingga menjadi kelompok pertama yang dikorbankan meskipun tak ada aturan secara tertulis mengenai hal tersebut.
“Begitu pula produktivitas kerja yang dialihkan ke rumah menghilangkan (daya) kompetensi perempuan karena terlibat dalam kerja perawatan dan produksi yang tak jelas batasnya,” ungkap Abby.
Data Kementerian Ketenagakerjaan pada 2021 juga menemukan ada 623.407 perempuan yang diputuskan hubungan hak kerjanya saat pandemi. Selain itu, UN Women menyatakan ada sekitar 39 persen perempuan kehilangan pekerjaan dan 80 persen tidak mendapatkan tunjangan kerja selama pandemi.
Melihat situasi itu, lanjutnya, isu ekonomi yang dialami perempuan tidak bisa diselesaikan dengan aturan yang netral gender. Sebelum pandemi pun situasi ekonomi dan jaminan sosial untuk perempuan pekerja informal kurang teratur, seperti pekerja formal.
Ikhaputri Widiantini, akademisi fakultas ilmu budaya Universitas Indonesia yang fokus pada isu feminisme dan filsafat berujar, kebijakan bekerja dari rumah juga tidak menguntungkan perempuan sebab menambah beban bekerja dan rumah tangga untuk perempuan.
“Kalau (perempuan) fokus pada pekerjaannya akan dianggap tak bertanggung jawab pada keluarga dan berdampak pada psikologis perempuan. Apalagi ibu,” kata Ikhaputri.
Baca juga: Kesetaraan Gender Tingkatkan Kontribusi Perempuan dalam Ekonomi Kreatif
Mendengarkan Cerita Perempuan
Ikhaputri berargumen, solusi dari permasalahan partisipasi kerja dan penghasilan ekonomi perempuan dapat dimulai dengan mendengarkan keragaman narasi hidup perempuan. Ketika perempuan diberikan kesempatan untuk membagikan pengalamannya, ia menjadi subjek dan tak hanya pelengkap pemberdayaan ekonomi dalam perawatan rumah tangga.
“Mendengarkan cerita itu baik, tetapi perlu mendengarkan dengan kepedulian tanpa memberikan penilaian atau perbandingan. Misalnya, melihat semua cerita dan solusinya memiliki konteks. Karena satu wilayah akan memiliki solusi yang berbeda dengan lainnya.”
Selain itu, Ikhaputri menegaskan diperlukan kesepakatan yang setara bahwa perubahan perilaku perlu dilakukan, misalnya membagi beban tugas domestik. Di ranah publik diperlukan jaminan fasilitas pengasuhan anak dan cuti untuk pengasuhan baik untuk ayah atau ibu.
Dini Widiastuti, Direktur Utama Yayasan Plan International Indonesia menyatakan, hasil proyek Raise The Bar menemukan sudah ada pergeseran pendapat tentang pembagian tugas domestik. Responden laki-laki dan perempuan berusia 20 hingga 40 tahun percaya pandemi COVID-19 juga memengaruhi partisipasi ekonomi perempuan.
“Namun, partisipasi yang meningkat belum sepenuhnya bisa diterima masyarakat dan tidak mengindikasikan kesetaraan gender sudah lebih baik di masyarakat,” ucap Dini.