Menikah Saat Pandemi: Adaptasi dan Redefinisi Makna Pesta Pernikahan
Pernikahan saat pandemi bisa menghemat biaya, tapi juga menyedihkan karena tidak bisa dihadiri keluarga.
Memutuskan untuk menikah di saat pandemi melanda berarti harus siap menikah dengan konsep yang tidak biasa. Berbagai penyesuaian harus dilakukan guna mengikuti protokol kesehatan dan keselamatan, termasuk mengubah konsep pernikahan ala Indonesia—yang biasanya dihadiri ratusan undangan dengan resepsi pernikahan mewah, lengkap dengan prosesi adat dan katering mahal—menjadi pernikahan sederhana dengan tamu undangan terbatas, yang bahkan harus dilakukan secara virtual.
Aktris Tara Basro adalah salah satunya yang memutuskan untuk tetap melangsungkan pernikahan di masa pandemi ini. Melalui akun Instagramnya @tarabasro, Tara menceritakan bagaimana pernikahannya dengan aktor Daniel Adnan berlangsung sederhana dengan tamu undangan hanya keluarga inti. Agar bisa disaksikan kerabat lain yang tidak bisa hadir, pernikahan mereka juga disiarkan secara virtual. Meski begitu, menurut Tara, pernikahan sederhana itu sama sekali tidak mengurangi kekhidmatan maupun kebahagiaannya.
Tara dan Daniel bukan satu-satunya pasangan yang memutuskan untuk melangsungkan pernikahan di saat pandemi, tanpa merasa ada yang esensi yang terlewat. Dini Djalal, 49, melangsungkan pernikahan di Kantor Pencatatan Pernikahan Singapura setelah rencananya untuk menikah di sebuah hotel dibatalkan akibat pandemi.
“Di ruangan pernikahan Registry of Marriage itu hanya ada saya, suami, dua orang saksi, dan dua orang anak saya, karena enggak boleh ada banyak orang selain keluarga,” kata Dini kepada Magdalene.
Untuk tetap melibatkan kerabat dan keluarga di hari bahagia mereka, Dini dan pasangannya tetap melangsungkan beberapa rangkaian acara di rumah mereka yang kemudian disiarkan secara virtual.
“Di rumah dilanjutkan acaranya, ada mengulang kembali vow, toast, dan first dance. Teman-teman dan keluarga ada yang kasih speech juga. Lalu kita potong kue. Mungkin acara di rumah itu berlangsung selama satu jam lima belas menit, dan semuanya dilakukan via Zoom,” ujarnya.
Baca juga: Keluarga Menuntut Resepsi Pernikahan Mahal, Bagaimana Menolaknya?
Dini merasa “pernikahan virtual” ini justru terasa tetap intim, karena jangkauan internet luas sehingga pernikahan mereka bisa disaksikan oleh teman dan keluarga yang tinggal di berbagai negara.
“Kami merasa sangat dekat dengan teman-teman yang jauh. Ada sekitar 80 teman dan keluarga yang hadir di Zoom, dari Amerika, Afrika selatan, Hong Kong, Melbourne, Jakarta, Korea, dan lain-lain. Seandainya menikah langsung, mereka enggak mungkin bisa ikut. Teman-teman saya juga pada bilang merasa senang dengan pernikahan seperti ini. It was really nice to see other people happy, bukan hanya kita yang happy,” kata Dini.
Dream wedding kandas vs. terwujud
Menikah secara virtual dengan komunikasi jarak jauh bersama tamu undangan mungkin sudah cukup karena ini adalah pernikahan keduanya, kata Dini. Tapi tak semua orang bisa merasa begitu.
Naddya Dea, 24, merasa sedih karena acara pernikahan yang sudah dirancang sejak akhir 2019 batal dan resepsi diundur sampai waktu yang belum bisa ditentukan.
“Dream wedding-ku sesungguhnya adalah pernikahan yang bisa dihadiri sahabat dan keluarga. Pingin ada mereka di hari bahagiaku. Tapi karena ada pandemi, aku enggak bisa merasakan itu. Cuma bisa lihat mereka via video call,” kata Naddya, yang menikah 6 Juni lalu.
Hal yang sama juga dirasakan Anita Ayu Pujiyati, 23, yang terpaksa mengubah acaranya menjadi akad saja yang dihadiri sedikit orang.
“Aku sedih karena enggak bisa kumpul bareng keluarga. Apalagi keluarga yang tinggalnya jauh. Kita enggak bisa mengundang mereka untuk datang. Cuma bisa diberi pemberitahuan,” katanya.
Baca juga: 5 Hal Kurang Berfaedah dalam Persiapan Pernikahan
“Setiap hari pasti panik karena enggak tahu seminggu ke depan bakal ada kebijakan baru apa. Aku juga kasihan sama orang tuaku yang khawatir ada perubahan mendadak mendekati hari H karena kebijakan baru,” tambah Anita.
Buat sebagian besar masyarakat Indonesia, pernikahan memang bukan sekadar acara atau perayaan resminya hubungan dua orang di mata negara dan agama. Ada serentetan fungsi lain yang mengikutinya, seperti fungsi silaturahmi antar keluarga, reuni antar teman dan mitra kerja, sampai pamer gengsi keluarga. Makanya, pernikahan dua orang jadi terlihat milik banyak orang, bukan sekadar milik kedua mempelainya. Tak sedikit yang berlomba-lomba membuat resepsi pernikahan mewah, lengkap dengan upacara adat, katering mahal, dan dekorasi glamor, demi menunjukkan status sosial dan ekonomi keluarga.
Tapi tanpa tamu undangan, kemewahan itu tentu jadi sia-sia. Makanya, ketika pemerintah melarang perkumpulan yang menghadirkan banyak orang akibat pandemi COVID-19, banyak acara pernikahan yang terpaksa mengalami perubahan drastis.
Di satu sisi, ini bisa menjadi kesempatan emas bagi orang-orang yang ingin menikah murah dan anti-ribet, tapi dilarang oleh keluarga. Mereka jadi bisa mengadakan pernikahan impiannya tanpa harus takut digunjingkan tetangga dan keluarga, seperti yang dialami Anita.
“Biasanya kan kalau menikah yang ribet itu orang tua. Anaknya pingin yang biasa aja, tapi mama papa punya keinginan begini-begitu. Karena sekarang lagi pandemi, orang tua juga pasti nerima aja, karena memang keadaannya yang enggak bisa,” tambahnya.
Anita mengaku lega karena bisa menghemat lebih banyak uang. Ia beruntung baru membayar 30 persen uang muka gedung, dan wedding organizer pilihannya fleksibel dalam melakukan penyesuaian budget maupun konsep acara.
Baca juga: Menikah Tapi Tetap Bebas, Bagaimana Caranya?
“Sukanya dari menikah saat pandemi ini jadi bisa lebih hemat. Apalagi kebutuhan setelah menikah nanti jauh lebih banyak ketimbang kebutuhan sebelum menikah,” katanya.
Sayangnya bagi Naddya, ia malah harus menambah pengeluaran untuk persiapan akad nikah yang baru. Padahal, sebenarnya, seluruh persiapan acara akad dan resepsi pernikahannya sudah selesai.
“Karena enggak boleh adain nikahan di gedung, aku jadinya menyusun rencana lagi untuk akad di rumah tanpa bantuan wedding organizer. Cari dekorasi dan katering baru. Bukannya hemat, budget malah jadi nambah lagi untuk akad terpisah ini,” kata Naddya, yang saat ini bekerja sebagai karyawan swasta.
Selain pengeluaran yang bertambah, Naddya juga harus menghadapi tantangan birokrasi di Kantor Urusan Agama (KUA). Banyak protokol yang harus diikuti, serta ketidakjelasan ketentuan dan administrasi.
“Dua minggu sebelum acara akad pun aku masih belum dapat kejelasan akan menikah di KUA atau bisa menikah di rumah. Karena, katanya, enggak boleh menikah di rumah selama bulan April-Mei,” kata Naddya.
“Beberapa hari sebelum acara, penghulu masih nanya, ‘Kenapa nikahnya enggak di masjid aja?’. Setelah dijelaskan kalau aku dan keluarga udah menyiapkan semuanya di rumah, akhirnya dilaksanakanlah akad di rumah dengan mengikuti semua protokol. Penghulunya bawa termometer tembak. Di dalam rumah cuma boleh ada delapan orang, yaitu dua orang saksi, empat orang tua, mempelai laki-laki, penghulu, dan aku,” tambahnya.