Lifestyle

Normalisasi Pernikahan Sederhana: Cukup di KUA untuk Menekan Biaya, Terbentur Keinginan Orang Tua

Belakangan cerita nikah di KUA tanpa resepsi viral di medsos. Realitasnya tidak semudah itu untuk dilakukan, karena mempertimbangkan keinginan orang tua dan bisikan tetangga.

Avatar
  • February 19, 2023
  • 9 min read
  • 2127 Views
Normalisasi Pernikahan Sederhana: Cukup di KUA untuk Menekan Biaya, Terbentur Keinginan Orang Tua

Lahir sebagai anak bungsu ternyata sebuah privilese bagi Chandra dan istrinya. Terutama perihal mengurus pernikahan. Keduanya terbebas dari ekspektasi melakukan resepsi pernikahan besar-besaran. Menikah di Kantor Urusan Agama (KUA) pun menjadi pilihan.

“Beruntungnya kami berdua, karena kami anak terakhir, perayaan itu dilakukan di pernikahan kakak. Jadi keinginan orang tua udah terpuaskan,” tutur pria yang akrab disapa Odong tersebut.

 

 

Layaknya pasangan pada umumnya, sebenarnya Odong dan istri berencana mengadakan acara pernikahan. Hanya saja berupa intimate wedding. Sebab, mereka melihat sebuah pesta sebagai ajang berkumpul dan bersenang-senang dengan teman-teman dekat.

“Waktu itu ada paket (pernikahan) yang menggiurkan. Kalau enggak salah sekitar Rp60 juta sampai Rp80 juta,” kata Odong.

Setelah merefleksikan pernikahan kakak dan iparnya, Odong dan istri melihat banyaknya energi yang akan disalurkan untuk acara seharian penuh. Mereka pun tidak menganggap adanya urgensi mengadakan acara besar, lantaran tidak banyak teman yang akan diundang. Ditambah Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta belum mengizinkan resepsi pernikahan, selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

“Itu yang membangun komunikasi kenapa enggak menikah di KUA aja,” ujar Odong.

Akhirnya, Odong dan pasangannya menghelat pernikahan di KUA Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, pada Februari 2021.

Pernikahan sederhananya itu belakangan ramai dibicarakan di media sosial. Bermula dari Odong yang memberikan insight untuk netizen di Twitter, yang ingin menekan biaya pernikahan. Pria 32 tahun itu menceritakan pernikahannya yang tidak dipungut biaya, karena hanya di KUA.

“Administrasinya gratis, karena (kami menikah) di weekdays,” jelas Odong.

Seperti disebutkan Odong, KUA tidak memungut biaya administrasi pernikahan, apabila akad nikah dilakukan selama hari kerja di kantor KUA. Sementara di akhir pekan dan jika akad nikah dilakukan di luar kantor KUA, dikenakan biaya senilai Rp600 ribu. Biaya tersebut adalah kas negara, terhitung sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Agama.

Melihat pernikahan Odong dan istrinya, mayoritas netizen menyatakan kesederhanaan itu sebagai impian dan sebaiknya dinormalisasi. Tanpa harus menggelontorkan biaya besar, dan dapat mengalokasikannya untuk keperluan lain.

Baca Juga: Dicari: Khatib Nikah yang Tak Bias Gender

Namun, sebagian orang tidak dapat melakukannya, lantaran terbentur dengan tradisi, budaya, dan agama.

Keinginan Orang Tua, Tradisi, dan Bisikan Tetangga

Salah satunya Andini, yang bersama pasangannya sepakat menikah menggunakan tabungan masing-masing. Tumbuh tanpa kehadiran keluarga membuat Andini enggan membebani orang tua pasangan, untuk membiayai resepsi pernikahan. Karenanya, mereka memilih menggunakan sebagian besar tabungan untuk menambah down payment (DP) rumah dan kendaraan.

Tentu kenyataannya tidak mulus. Andini dan pasangannya berusaha meyakinkan orang tua–yang saat itu masih calon mertuanya–dengan berbagai alasan. Salah satunya menitikberatkan latar belakang keluarga Andini yang tidak utuh, sehingga sulit menikah dengan adat Sunda.

“Biasanya pihak calon pengantin laki-laki di adat Sunda kasih uang buat resepsi, dan yang ngurusin calon pengantin perempuan. Berhubung aku enggak ada keluarga sama sekali ya mana mungkin? Kalau ada resepsi, paling banter cuma ayahku yang dateng,” ujar Andini.

Hingga akhirnya, Andini dan pasangannya berpura-pura hanya memiliki sedikit biaya, sehingga tidak bisa mengundang banyak orang. Namun, ujung-ujungnya keluarga ingin menambahkan budget-nya.

“Latar belakang ekonomi suamiku juga termasuk cukup berada, jadi pernikahan sebelumnya selalu meriah,” ungkap Andini. Keinginan menikah di KUA pun terealisasikan saat pandemi, setelah ibu mertuanya terpapar virus corona dan kesehatannya tidak memungkinkan untuk mendampingi anaknya di pelaminan.

Serupa dengan Andini, keinginan Yusvika untuk menikah di KUA pun bertentangan dengan sang ibu. Karyawan swasta asal Malang, Jawa Timur itu menganggap pernikahan cukup dilakukan di KUA, karena Yusvika dan pasangan menanggung biayanya sendiri. Pertimbangannya, biaya tersebut bisa digunakan untuk kebutuhan setelah menikah. Bukan dihabiskan untuk perayaan sehari.

Sementara ibu Yusvika menginginkan sebaliknya. Dikarenakan akan mantu untuk pertama kali, ibunya berharap bisa mengadakan acara. “Aku anak perempuan pertama, mungkin ibu juga lebih menghormati karena menganggapku dewasa,” cerita Yusvika.

Meskipun tidak mengungkapkan secara langsung, Yusvika tahu keinginannya memberatkan sang ibu. Ia melihat perubahan sikap ibunya yang menjaga jarak. Namun, ibu Yusvika tidak mengatakan apa pun, tampaknya sungkan menyampaikan kehendaknya.

Perbedaan preferensi pernikahan–seperti dialami Yusvika–kerap terjadi. Di Indonesia, umumnya pernikahan identik dengan perayaan besar: dilaksanakan secara tradisional mengusung adat istiadat, berlokasi di gedung atau rumah, dan mengundang banyak orang. Tak jarang, pernikahan yang tidak sesuai dengan kebiasaan di masyarakat menerima pandangan miring.

Seperti mertua Andini yang mengkhawatirkan tanggapan tetangga, ketika ia dan pasangannya beralasan budget pernikahannya bisa digunakan untuk menambah DP rumah.

“Alasan itu masih mental juga, katanya dibilang enggak enak sama tetangga. Bahkan dibandingkan dengan tetangga belakang rumah yang nikahnya cuma akad, pengajian, dan makan-makan di rumah,” cerita Andini. “Katanya, itu aja dijadikan objek obrolan tetangga. Apalagi cuma di KUA?”

Perempuan berdomisili di Bandung itu meyakini, di samping gengsi, orang tua–terlebih yang sudah menetap di suatu lingkungan untuk waktu yang lama–pasti terpengaruh stigma di masyarakat. Stigma yang dimaksud Andini adalah, pernikahan di KUA menunjukkan married by accident (MBA), atau melakukan tindakan tidak bermoral lainnya.

Terbiasa melihat kelaziman di masyarakat itu juga menjadi salah satu alasan Marsella merencanakan pesta pernikahan di gedung. Ia dan pasangannya juga mempertimbangkan relasi orang tua, dan ingin menyenangkan keluarga—melihat pernikahan sebagai momen berkumpul keluarga besar. Karena itu, pernikahan ditetapkan pada Juli 2020.

Lagi-lagi karena pandemi, agenda tersebut terpaksa dibatalkan. Marsella dan pasangannya menikah di KUA, setelah menghadapi beberapa pertanyaan dari keluarga.

Misalnya alasan tidak melakukan resepsi dan menyarankan menunda dibandingkan membatalkannya, serta ketidakinginan melestarikan tradisi. Perkara tradisi, keluarga Marsella dan pasangannya tidak memaksakan, hanya kalau bisa tetap dilakukan.

“Sebenarnya kami mau (menikah secara tradisional), tapi itu harus mengeluarkan budget lagi. Ditambah perlu nambah waktu lagi untuk cuti, sedangkan (cutinya) enggak bisa sepanjang itu,” tutur Marsella. “Jadi kami milih efisiensi waktu dan uang, karena sebenarnya enggak terlalu pengen banget. Cuma pengen nyenengin keluarga.”

Baca Juga: Setara dalam Rumah Tangga

Untuk melangsungkan pesta pernikahan memang membutuhkan biaya yang tak sedikit. Minimal puluhan hingga ratusan juta rupiah. Ketika merencanakan pernikahan di gedung, Marsella pun telah mengeluarkan biaya sebesar Rp190 juta ke wedding organizer. Dengan rincian biaya katering untuk 400 undangan, sewa gedung dan baju pengantin, makeup pengantin, dan jasa wedding organizer–belum termasuk suvenir.

Sementara pernikahannya di KUA hanya berkisar Rp7 juta sampai Rp8 juta. Biaya itu termasuk sewa baju pengantin dan keluarga inti, jasa fotografer dan videografer, dan makeup artist. 

“Uangnya kami alokasikan untuk nyicil tanah, apartemen, dan hampir setengahnya dipakai untuk biaya melahirkan. Kebetulan aku melahirkan prematur, jadi butuh dirawat di NICU (Neonatal Intensive Care Unit),” terang Marsella.

Selain mengatakan pernikahan sederhana di KUA sebagai impian, tak sedikit netizen merespons mereka tidak akan bisa melakukannya karena dua alasan. Agama dan adat istiadat. Kebanyakan dari mereka mengungkapkan dirinya Kristiani, dan berasal dari suku tertentu. Seperti Batak, Sumba, dan Bugis.

Realitasnya, Islam merupakan satu-satunya agama yang dapat melangsungkan pernikahan di KUA. Pasalnya, KUA hanya melakukan pencatatan nikah untuk umat muslim. Sementara pemeluk agama lainnya harus ke Kantor Catatan Sipil.

Kondisi tersebut dilatarbelakangi oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Peraturan tersebut memastikan, aturan pernikahan bagi pemeluk agama selain Islam tidak akan berubah, dan mengikuti yang sudah berjalan sejak pemerintahan Hindia Belanda. Yakni melakukan pencatatan nikah, talak, dan rujuk. Dikarenakan hukum agama itu, KUA tidak bertugas untuk mencatat pernikahan di luar agama Islam.

Di samping itu, semasa kerajaan Islam di Indonesia juga memiliki jabatan penghulu atau naib. Bedanya, tanggung jawab mereka di luar urusan pernikahan meliputi penentuan Ramadan dan hari raya, pendidikan, serta soal pidana dan perdata.

Apabila melihat adat istiadat, sejumlah suku mewajibkan pernikahan dengan tradisi yang ditetapkan. Bahkan, ada persyaratan yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan pernikahan.

Salah satunya belis, maskawin di Sumba berupa hewan ternak, yang dianggap lumrah lantaran bagian dari budaya. Tradisi di Sumba memaknai belis sebagai simbol menghormati antara kedua keluarga, sekaligus penguat ikatan emosional, yang diajukan pihak perempuan.

Di sini latar belakang keluarga perempuan menentukan besaran belis, dan tidak boleh melebihi belis yang pernah diterima ibu maupun kakak perempuan.

Maka itu, menormalisasi pernikahan yang sederhana akan sulit bagi sebagian orang. Namun, bukan berarti mustahil untuk dilakukan. Setidaknya keinginan itu bisa dikomunikasikan, dan disesuaikan dengan kehendak keluarga.

Komunikasi dengan Keluarga Sebagai Jalan Tengah

Sikap ibunya yang membangun jarak membuat Yusvika mempertimbangkan, untuk melaksanakan resepsi pernikahan. Ia tidak ingin perasaan tidak mengenakkan itu memengaruhi suasana pernikahan. Akhirnya, Yusvika mengajak ibunya mengobrol.

Baca Juga: Berkaca dari Pernikahan Maudy dan Eva Celia

“Aku bilang ke ibu, punya biayanya sekian jadi enggak bisa (bikin acara) gede-gedean,” ungkap Yusvika.

Namun, obrolan itu tidak serta-merta berbuah manis. Sang ibu menginginkan agar pernikahan Yusvika digelar di rumah. Sedangkan berdasarkan informasi yang diperoleh Yusvika, pesta yang dilakukan di rumah memakan biaya lebih besar. Hal itu dikarenakan perlu memenuhi kebutuhan dekor, masakan, dan perhitungan jumlah undangan yang tidak dapat dibatasi untuk lingkup tetangga.

“Untungnya sekitar satu atau dua minggu sebelum pernikahanku, ada saudara yang menikah di rumah. Ibu melihat kalau pengeluarannya lebih banyak,” ujar Yusvika.

Kemudian, Yusvika memberikan pengertian pada ibunya, bahwa pernikahan tersebut adalah acaranya. Karenanya, undangan sampai susunan acara menjadi tanggung jawabnya dan suami.

Akhirnya, sang ibu sepakat resepsinya diadakan di gedung—sekitar tiga minggu dari akad nikah yang dilaksanakan di KUA, pada 2019 silam. Yusvika dan pasangannya menyebarkan 200 undangan, 25 di antaranya untuk kenalan ibunya.

Serupa dengan Yusvika, pernikahan Odong dan Marsella dengan pasangannya masing-masing tak luput dari komunikasi dengan keluarga. Bagi Odong, komunikasilah yang membawa keterbukaan.

“Menurutku ini perkara diskusi aja,” kata Odong. “Terbuka dulu sama keluarga, supaya saling tahu keinginan masing-masing. Nanti muncul solusinya.”

Hal yang sama dilakukan Marsella dan pasangannya. Meskipun realitasnya pandemi membatasi ruang gerak untuk melangsungkan pesta pernikahan, keluarga Marsella masih mempertimbangkannya. Maka itu, Marsella membicarakan pada keluarganya, terkait perubahan rencana pernikahan yang cukup dilangsungkan di KUA.

“Kuncinya menikah di KUA itu persetujuan antara kedua pihak keluarga, soalnya pernikahan itu melibatkan keluarga besar ya. Terus kalau budget (pernikahannya) punya sendiri, propose ke orang tua dengan alasan kuat,” jelas Marsella.

Kendati demikian Marsella dan Yusvika sepakat, keinginan untuk menikah dengan sederhana akan lebih mudah dilakukan, apabila kedua calon mempelai mengeluarkan biayanya sendiri. Tanpa ditunjang orang tua maupun anggota keluarga lainnya.

“Kalau nikah pakai uang sendiri, lebih punya leverage buat ngomong lebih. Enggak bisa dibantah. Kalau biayanya dari orang tua, diterima aja,” ucap Yusvika.

Walaupun pada akhirnya melaksanakan resepsi pernikahan, Yusvika menyatakan dirinya tidak menyesal. Hari itu tetap menjadi momen bahagianya bersama orang terdekat. “Menurutku sekali seumur hidup, jadi enggak masalah. Pokoknya jangan sampai mengutang,” tegasnya.

Terlepas dari komunikasi sebagai kunci, dan menggunakan biaya sendiri akan memudahkan realisasinya, tak dimungkiri pandemi membuka kesempatan lebar untuk melangsungkan pernikahan yang sederhana. Pertanyaannya, apakah opsi itu bisa dinormalisasi, saat menciptakan kerumunan boleh kembali dilakukan?



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *