Issues

Ketika Pernikahan Muda Tak Melulu Jadi Bencana

Bagi perempuan ini, menikah muda tidak menjadikannya kurang feminis dan bahagia. Sebab, ia punya suami yang mendukung dan setara dalam rumah tangga.

Avatar
  • October 13, 2021
  • 7 min read
  • 1172 Views
Ketika Pernikahan Muda Tak Melulu Jadi Bencana

Bagi sebagian orang, menikah muda artinya tidak mendukung gagasan-gagasan feminisme, termasuk pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender. Citra menikah muda sudah relatif negatif di mata publik, sehingga tak jarang perempuan yang memutuskan menikah muda dipandang tidak berdaya dan hanya bergantung pada suaminya. Tidak mengherankan bila banyak narasi pernikahan muda lebih berpusat pada bagaimana perempuan berakhir mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), ketidakbahagiaan, atau berujung pada perceraian. Namun, Kamila memiliki pemikiran dan pengalaman berbeda mengenai pernikahan muda.

Perempuan 23 tahun tersebut menikah saat dirinya berusia 21 dan hamil di umur 22 tahun. Memandang dirinya sebagai seorang feminis, Kamila sempat mengalami pergolakan batin terkait keputusan menikah. Ia khawatir keputusannya menikah muda hanya akan membuatnya terlihat seperti perempuan yang tidak berpendidikan dan tidak berdaya sebagai perempuan. Akibatnya, ia malu mengakui menikah muda dan kerap berbohong mengenai status pernikahannya ketika ditanya dalam wawancara magang. 

 

 

“Jujur, aku tuh sempet takut banget karena aku merasa takut di-judge. Sebab, stigma nikah muda itu negatif, aku jadi ngerasa kayak orang-orang ngerasa aku bukan feminis lagi setelah nikah muda,” tuturnya.  

Namun, rasa malunya itu ia buang jauh-jauh karena ia menyadari keputusan menikah di usia muda adalah kemauannya sendiri. Sebagai feminis, Kamila menggarisbawahi esensi dari gagasan feminisme adalah penekanan pada kemampuan diri untuk mengambil pilihan-pilihan secara merdeka. 

“Aku memandang, feminis itu kan terkait dengan apa yang kita lakukan: Kita bebas beropini dan memilih apa yang penting menurut kita. Toh, setelah menikah muda aku juga enggak depend on sama suamiku,” ujarnya.

Baca juga:  Menikah pada Usia 21: Apakah Saya Masih Bisa Disebut Feminis?

Ingin Menikah Muda Karena Kemauan Pribadi

Kamila cukup lama mengenal suaminya, “Kadir”,  yaitu sejak dirinya masih menjadi mahasiswa baru. Awal pertemuannya dengan Kadir adalah ketika sang Ayah mengenalkan Kadir yang hadir dalam suatu pengajian khusus laki-laki. Ayah Kamila ketika itu dibuat cukup kagum dengan Kadir karena ia melihat bagaimana di usianya masih terbilang muda Kadir menyempatkan diri menimba ilmu agama. Dari sinilah ayah Kamila merasa Kadir bisa dikenalkan dengan putrinya, untuk selanjutnya menjalankan masa pendekatan (PDKT).

Kamila dan Kadir menjalankan masa PDKT selama setahun lebih dan dari masa PDKT ini, Kamila merasa sudah sangat cocok dengan Kadir. Kecocokan dan rasa sayang ia miliki terhadap kekasihnya ini akhirnya membuat keduanya memutuskan melangkah ke jenjang lebih serius, yaitu pernikahan.  

Selain rasa cocok, rasa sayang, dibarengi dengan kesiapan mental dan biologis, hal terpenting lain yang membulatkan tekadnya menikah muda adalah komitmen Kadir sebagai calon suami Kamila. Komitmen ini mengacu pada sikap Kadir yang mau mendukung pilihan hidup Kamila, tidak membatasi Kamila untuk berkembang sebagai manusia, dan tidak mencoba mengecilkan diri Kamila.

Dalam keputusannya untuk menikah muda, Kamila bersyukur tidak harus melewati pertentangan dari keluarga intinya. Keluarga intinya justru mendukung penuh ia menikah muda dengan alasan bahwa Kamila dan Kadir sudah cukup lama kenal dan tidak perlu lagi berlama-lama berpacaran. Kendati keluarga intinya mendukung keputusannya ini, Kamila sempat mendapat sindiran dari keluarga besar. 

“Kalo keluarga besar ada yang kayak, ‘Ah, pasti nanti abis nikah enggak mau lanjut kuliah, enggak mau kerja’. Tapi untungnya, enggak ada yang sampai menentang keras gitu,” ujarnya.

Dari sindiran itu, Kamila justru semakin ingin membuktikan bahwa tidak selamanya menikah muda membuat perempuan tidak berkembang.

“Aku mau buktiin kalau aku enggak kayak gitu [tidak berdaya]. Makanya, aku pengin banget empowering orang yang nikah muda bahwa enggak selamanya kita [perempuan] enggak punya masa depan,” lanjutnya.

Baca juga:  Setara dalam Rumah Tangga

Pernikahan Bukan Hambatan untuk Lanjut Kuliah dan Bekerja

Mungkin ketakutan terbesar perempuan ketika sudah menikah adalah dibatasinya ruang gerak mereka untuk mengaktualisasikan diri. Masih banyak perempuan di luar sana tidak bisa menggapai mimpinya mengenyam pendidikan tinggi ataupun bekerja setelah suami melarang mereka untuk melakukan hal-hal tersebut.

Namun, hal ini tidak terjadi pada Kamila. Justru setelah pernikahannya, Kamila dapat mewujudkan salah satu mimpinya yaitu dengan mengenyam pendidikan S2 di salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Pernikahan yang ia jalankan juga tidak membatasi dirinya untuk bekerja sesuai dengan minatnya. 

Hal ini dapat terjadi karena mereka berdua sama-sama menekankan bahwa satu sama lain harus saling mendukung mimpi masing-masing dan saling menghormati. Keduanya juga menekankan pada negosiasi dalam pernikahan mereka, sehingga apapun yang mereka lakukan sudah menjadi komitmen bersama dan tidak ada relasi yang timpang. Karenanya, mereka pun rela untuk berkorban untuk kebahagian mereka satu sama lain. 

“Ya karena dia juga kan pengin sekolah lagi ambil spesialisasi, aku jadi merasa kayak, gue bakal dukung lo, tapi lo juga harus dukung gue. Jadi ya, kami sama-sama berkorban untuk meraih itu,” papar Kamila.

Untuk dapat menyeimbangkan karier dan pendidikannya, Kamila pun sebisa mungkin mengatur jadwal pribadinya. Pada awalnya Kamila memang sempat kebingungan bagaimana caranya ia dapat membagi waktunya sebagai orang tua dan perempuan yang masih ingin bekerja dan mengambil S2. Namun, Kadir sebagai suaminya mencoba menenangkannya dan membuatnya lebih tenang dalam mengatur pembagian waktu.

Melalui pembagian waktu yang sudah disepakati bersama, setelah hamil dan mengambil S2, Kamila memutuskan untuk mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai penerjemah. Keputusannya ini ia ambil karena ia dahulu belum mempunyai asisten rumah tangga dan ia ingin banyak menghabiskan waktu dengan buah hatinya yang masih kecil.

“Aku tuh bukan tipe yang pingin waktu aku habis untuk kerja. Dari dulu aku pingin punya waktu buat anak, jadi aku kerjanya juga dua-duanya part time,” ujarnya.

Sekarang ia telah bekerja purna waktu dan fokus dengan tesisnya. Ia paham betul bagaimana ia dan suami semakin lama semakin sibuk dengan tanggung jawab pekerjaan mereka. Untuk mengakalinya, ia dan suami sepakat untuk mempekerjakan asisten rumah tangga untuk membantu mereka mengurus pekerjaan domestik dan anaknya yang sekarang sudah berusia kurang lebih 1 tahun setengah.

Namun, bukan berarti ketika sudah memiliki asisten rumah tangga ia dan suami melepas tanggung jawab mereka sebagai orang tua. Sesuai dengan komitmen bersama mereka berdua, sampai saat ini keduanya masih terus bernegosiasi peran dan sebisa mungkin memiliki waktu bersama dengan anaknya. Kamila pun berharap bahwa pernikahannya ini akan terus berjalan harmonis tanpa ada relasi timpang di antara keduanya.

Baca juga: Pola Pengasuhan Ganda dan Beban Ibu yang Dibagi Rata

Setara dalam Urusan Rumah Tangga 

Pernikahan idealnya dilandaskan oleh nilai kesetaraan dan kepedulian. Namun sayang, pada praktiknya, kedua nilai dasar ini tidak diterapkan oleh sebagian pasangan yang menganut patriarki dan kerap mengotakkan peran gender di dalam keluarga mereka. Tidak mengherankan  banyak sekali pernikahan yang kemudian berujung pertengkaran karena adanya pembagian kerja domestik yang timpang. 

Hal inilah yang sangat dihindari Kamila selama pernikahannya. Ia dan suaminya justru sejak awal sudah sepakat untuk membagi beban kerja domestik keluarga kecil mereka. Ini bertujuan agar keduanya memiliki peran setara dalam membangun keluarga dan membesarkan buah hati mereka.  

Ia tidak mau menjadi satu-satunya orang yang harus mengorbankan tenaga dan pikiran dalam mengurus anak dan mengerjakan pekerjaan domestik. Hal ini karena menurut Kamila, pernikahan adalah tentang bagaimana kedua insan berkomitmen untuk membangun sebuah keluarga bersama sehingga keduanya harus terlibat di dalamnya.

“Ya maksudnya kan sama-sama ini [punya] anak barengan, ya, bukan anak ibunya doang. Masa yang capek cuma ibunya?” kata Kamila. 

Dari awal pernikahan dan kehamilan pun, suami Kamila bukan merupakan sosok yang pasif dalam urusan domestik. Kamila bahkan mengatakan bahwa suaminya belajar pada ibunya bagaimana cara memandikan anak. Kesigapan dan kesadaran suaminya dalam berbagi peran inilah yang membuat Kamila sangat terbantu selama memiliki anak dan menjadi seorang ibu dan ia merasa bersyukur karenanya. 

Baca juga: Apa Itu Gamophobia, Ketakutan Berlebihan pada Pernikahan?

Sebagai seorang guru bahasa Inggris dengan suami berprofesi sebagai dokter, Kamila kerap menegaskan pentingnya berbagi peran dalam keluarga kecilnya. Meski suaminya punya jam kerja lebih panjang, hal itu tidak membuat ia lepas dari tanggung jawab domestik. Pembagian pekerjaan rumah yang adil mereka lakukan semata-mata agar buah hati mereka tetap memiliki waktu bersama kedua orang tuanya dan tidak ada satu pun dari mereka yang merasa terbebani. 

“Pekerjaan suamiku kan shift-shiftan gitu. Jadi, kalau dia lagi jaga malem, aku yang pegang anak. Waktu aku lagi ngajar, baru gantian anak kami dia yang dipegang. Jadi, dalam sehari enggak mungkin nih, anakku enggak ketemu aku atau suami aku,” kata Kamila. 

Kamila menekankan bagaimana ia dan suami paham bahwa dalam membina keluarga dan membangun pernikahan harmonis, komunikasi antar kedua belah pihak merupakan kunci utamanya. Oleh karena itu, setiap masalah yang berkaitan dengan anak dan urusan rumah tangga akan mereka selalu lakukan dengan diskusi bersama. 

“Selama ini selalu dikomunikasikan ya. Jadi kalau ada masalah, sehari bahkan enggak sampe sehari itu udah diomongin bareng-bareng. Jadi ya udah, dalam sehari udah selesai,” ujarnya.

Proyek jurnalistik ini didukung oleh International Media Support.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *