Issues Politics & Society

Kupas Tuntas RUU PPRT: Siapa Untung, Masalah Upah, hingga Langkah Selanjutnya

Magdalene ngobrol bersama anggota DPR Luluk Hamidah, untuk cari tahu apa langkah selanjutnya setelah RUU PPRT jadi inisiatif DPR.

Avatar
  • March 29, 2023
  • 21 min read
  • 2228 Views
Kupas Tuntas RUU PPRT: Siapa Untung, Masalah Upah, hingga Langkah Selanjutnya

Ada pemandangan tak biasa di depan Gedung Nusantara, Senayan, siang itu, (15/2). Sebuah kain serbet berukuran 15×15 meter dibentangkan oleh ratusan pekerja rumah tangga (PRT) bersama dengan sejumlah organisasi masyarakat. Ini adalah simbol solidaritas untuk PRT yang belum dapat payung hukum setelah nyaris dua dekade berjuang. Mengenakan kaos bertuliskan “PRT = Pekerja Rumah Tangga”, massa aksi tersebut berorasi di momen Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional.

Buat mereka, Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) penting karena menjamin hak dan keselamatan kerja. Terlebih, PRT menurut catatan Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mengalami 3.219 kasus kekerasan sepanjang 2012-2019.

 

 

Tak cuma kekerasan psikis, seperti isolasi dan penyekapan, PRT juga mengalami rentetan kekerasan lain. Mulai dari kekerasan fisik, ekonomi (penahanan dokumen pribadi, gaji bulanan tidak dibayar, gaji karena sakit, tidak dibayar THR), juga perdagangan orang.

Luluk Hamidah, satu-satunya anggota DPR yang menghampiri PRT dalam aksi siang itu tahu betul, PRT memang berada di posisi rentan. Mereka punya jam kerja panjang, beban berat, tak ada kepastian waktu istirahat dan cuti. Apalagi jaminan sosial dan kebebasan untuk berserikat. Padahal dalam hematnya, PRT adalah tangan-tangan tak terlihat yang membuat roda perekonomian Indonesia terus berjalan.

“Lima sampai sepuluh juta PRT punya kontribusi pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kalau saja PRT ini mogok sebulan, kalang kabut semuanya. Kalau PRT-nya enggak bekerja, pusing itu presidennya, begitu pula DPR, apa yang bisa terjadi?”

Ucapan Luluk disambut sorak dan tepuk tangan dari massa aksi saat itu. Luluk sendiri memang cukup konsisten mengawal RUU PPRT untuk segera disahkan di DPR. Ia tahu bagaimana tarik ulur yang terjadi di Parlemen, sehingga RUU ini mengkrak. Ia juga dekat dengan para PRT, dan kerap mendukung aksi protes di lapangan.

Kini, dua minggu sejak aksi itu, perjuangan PRT mulai memperlihatkan titik terang. Pada (21/3), RUU PPRT resmi menjadi RUU inisiatif DPR. Namun, jalan masih panjang untuk RUU tersebut bisa diketok palu sebagai UU. Karena itulah Magdalene menggali lebih jauh tentang dinamika penggodokan RUU PPRT, termasuk bertanya apa langkah strategis selanjutnya.

Berikut ini kutipan wawancara Magdalene dengan Luluk Hamidah.

Baca Juga: Jalan Panjang Pekerja Rumah Tangga Cari Keadilan, Negara ke Mana?

Sudah berapa lama mengawal RUU PPRT?

Saya terpilih sebagai sebagai DPR di tahun 2019, jadi secara official mengawal RUU PPRT sejak terpilih sebagai DPR. Ini berarti saya juga sudah terlibat dari persidangan awal di tahun 2020 ketika RUU PPRT ini masuk pembahasan di BALEG (Badan Legislasi), dan juga ditetapkan untuk bisa dijadikan sebagai RUU inisiatif DPR.

Sebelum jadi (anggota) DPR, tentu saja saya sudah mengawal isu ini sejak lama. Sebelumnya saya hadir sebagai pengurus partai, aktif di gerakan sosial, dan dekat dengan isu yang terkait PRT. Jadi ini perjalanan panjang yang kemudian dilanjutkan ketika sudah menjadi DPR. Sampai sekarang tidak berhenti.

RUU ini officially akan dikirimkan ke pemerintah untuk dibuatkan daftar inventarisasi masalah atau DIM. Itu prosedurnya. Jadi pemerintah bisa membentuk tim walaupun sebenarnya sekarang juga sudah ada tim di pemerintah. Jadi secara official, tim mendapatkan penunjukan dari presiden dan menyusun daftar isian masalah dari draf RUU itu. Lalu presiden akan memberikan surat presiden ke DPR bersama dengan DIM, kemudian dibahas bersama-sama dengan DPR lagi.

Sebenarnya tahapan yang paling berat itu sudah kita lampaui, yaitu melakukan pengajian melalui naskah akademik dan sinkronisasi harmonisasi termasuk pembulatan peraturan perundang-undangan yang terkait itu. Proses ini panjang. Ada yang diulang, ada yang baru, ada yang kemudian terpaksa harus yang di-drop. Ini semua termasuk dinamika dan proses politik ya.

Kenapa RUU PPRT ini sangat penting?

PRT sebagai pekerja kalau tidak ada undang-undang ini, perlindungannya dan pengakuan haknya nyaris tidak ada, hilang. Beda dengan buruh atau pekerja lain karena mereka diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan, sehingga bisa mendapatkan haknya. Misalnya, mendapatkan jaminan sosial, ketentuan pemutusan hubungan kerja (PHK), kalau sakit ada BPJS, keselamatan kerja termasuk cuti ada, THR, promosi, dan lain-lain. Namun, karena PRT ini sifatnya khas dan sangat khusus lingkupnya dalam rumah tangga atau urusan domestik, maka butuh pengaturan sendiri.

PRT ini punya kerentanan yang berlapis-lapis. Mereka enggak ada jam kerja khusus, walaupun di rancangan undang-undang ini tidak diatur secara saklek, PRT hanya bekerja berdasarkan kesepakatan. Kalau tidak ada rambu-rambunya, PRT bisa bekerja 24 jam nonstop. Ini kan yang terjadi. Ada eksploitasi, kerentanan psikis, secara emosional dilecehkan, dihina dipanggil dengan panggilan yang tidak respect kepada manusia, terkena perundungan. Keluarganya pun dalam situasi yang sangat rentan karena kerja-kerja mereka tidak diakui. Anak PRT pun tidak bisa secara bebas menceritakan apa pekerjaan orang tuanya karena dianggap memalukan. Ini karena tidak ada rekognisi terhadap PRT.

Selain itu, PRT juga mengalami kerentanan secara ekonomi karena tidak ada kepastian dan pemenuhan upah atau gaji. Banyak kasus PRT yang gajinya dikurangi, ditahan, enggak dikasih, sekian lama sekian tahun ini berarti kan kerentanan. Belum lagi ada PRT yang bertemu dengan penyalur nakal. Untuk jadi PRT saja harus bayar, terus sejak awal gaji sudah dipegang penyalur. Ketika putus kerja, susah mendapatkan (kerja) lagi.

Belum lagi kerentanan yang sifatnya kekerasan fisik, mulai dari dipukul, diperkosa, sampai ada yang meninggal dunia karena mengalami kekerasan yang kontinu. Makanya undang-undang ini penting, sebab tak hanya mengatur PRT, tapi juga pemberi kerja dan hak kewajiban pemberi kerja.

Pemberi kerja yang menggaji pekerjanya, punya hak untuk mendapatkan pelayanan terbaik dari PRT sesuai kesepakatan. Ini (RUU PPRT) sebenarnya jaminan bagi pemberi kerja. Pemberi kerja juga rentan terhadap penipuan oleh lembaga penyalur. Misalnya dengan modus, kita sudah membayar deposit kemudian ternyata baru satu bulan ditarik PRT-nya, kita enggak bisa ngapa-ngapain.

Kemudian kalau mau mencari PRT lagi dengan lembaga penyalur, kita harus membayar mahal ke penyalurnya. Ke lembaga penyalurnya kita bayar, ongkos transportasi pulang pergi yang harus kita bayarkan, gaji full satu bulan harus dibayarkan. Kita ibaratnya dalam satu bulan bisa mengeluarkan 3 kali lipat biaya yang seharusnya tidak dilakukan.

Sebaliknya ada keuntungan yang diberikan pemberi kerja jika ada undang-undang ini. Misalnya PRT kita sakit dan negara hadir dengan memberikan BPJS, baik itu kesehatan atau keselamatan kerja. Maka sebenarnya pemberi kerja sudah diringankan dari beban yang dia perlu keluarkan apalagi sampai harus bernilai banyak. Kalau tidak ada bentuk jaminan yang difasilitasi negara, maka ini mau jadi tanggung jawab siapa?

Kerentanan itu bisa terjadi di majikan sekaligus PRT. Di PRT misalnya, mereka dipulangkan dalam kondisi yang sakit atau mengalami kecelakaan. Ini situasi yang tidak manusiawi. Apalagi PRT yang hamil, pasti pemberi kerja tidak mau pakai. Ini kan kondisi-kondisi yang tidak sehat dan bisa melahirkan kekerasan dalam bentuk yang lain.

Bolehkah dijelaskan bagaimana proses penggodokan RUU?

Pembahasan ini sudah panjang sekali ya. Kita mencoba me-refresh sejenak bagaimana perjalanan RUU ini. Sejak diusulkan pada 2004 hingga sekarang, RUU PPRT mengalami situasi yang naik turun seperti gelombang. Pada periode 2004 hingga 2009, RUU ini diajukan kemudian masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan setiap masa periode bakti DPR selalu masuk Prolegnas. Di 2009 hingga 2014 RUU PPRT ini masuk prioritas. Jadi selama 2010, 2011, 2012, 2013, 2014 itu masuk prioritas tapi stuck.

Barulah pada 2010 masuk pembahasan di Komisi IX. Berlanjut ke Komisi XI sudah melakukan berbagai kajian dan penelitian di berbagai daerah terkait praktik perlindungan PRT. Di 2012 Komisi XI melakukan uji publik di tiga kota: Makassar, Malang, dan Medan. Di tahun yang sama, DPR juga melakukan studi banding ke Afrika Selatan dan Argentina.

Berlanjut ke 2013, Komisi IX akhirnya menyerahkan draf RUU PPRT ke BALEG DPR. Jadi sejak 2010-2013 situasinya seperti itu, dibahas di komisi DPR, tapi tidak selesai pada 2013 karena keburu masuk tahun politik. Di 2014 berhenti sepenuhnya pembahasan Badan legislasi (BALEG) DPR RI. Ini apalagi ditambah dengan adanya Pemilu 2014 – 2019.

Karena tidak dibahas sama sekali, RUU PPRT masuk Prolegnas waiting list tapi 5 tahun enggak ada kemajuan yang berarti. Barulah pada 2019 sampai 2024 di mana saya juga terpilih sebagai anggota DPR, ini (RUU PPRT) masuk lagi di Prolegnas. Sejak awal, kami (anggota Partai Kebangkitan Bangsa) sudah wanti-wanti kepada pimpinan kami, Cak Min, agar RUU PPRT ini bisa diusulkan ke prolegnas.

Di 2020, RUU PPRT beruntungnya masuk. Ini jadi milestone tersendiri, karena saat itu RUU PPRT dibahas di BALEG bahkan pada Juni pembahasan terkait RUU sudah selesai. Setelah selesai dibahas, maka diambil keputusan di BALEG. Ada tujuh fraksi yang menyepakati atau setuju agar ini dibawa ke rapat paripurna. Biar nantinya dimasukkan dalam RUU inisiatif. Sayangnya, ada dua fraksi, PDIP dan Golkar tetap tidak sepakat. Akan tetapi karena sudah ada tujuh fraksi yang bersepakat, maka pada Juli 2020, draf sudah diserahkan ke BAMUS (Badan Permusyawaratan Nagari).

Apa alasan PDIP dan Golkar menolak RUU ini?

Nah ini dia masalahnya yang tidak sepakat sudah tidak mau menjelaskan ke kita. Semua bentuk perselisihan atau pertentangan atau perbedaan yang ada, sekencang apapun itu kan tempatnya ada di BALEG. Ketika kita melakukan pembahasan di BALEG, dua fraksi itu ada, dan juga ikut membahas. Tapi saat mengambil keputusan, posisinya menolak, ini kan ya disayangkan sebenarnya.

Apalagi di awal-awal, PDIP justru ada di garda depan (mendukung RUU PPRT). Namun dalam perjalanannya justru paling yang berbeda (sikap). Ada dugaan (terkait alasan penolakan beberapa fraksi) karena dalam RUU ini nantinya akan diatur jenis-jenis pekerjaan yang rigid. Klaster yang membedakan satu pekerjaan dengan yang lain, sehingga PRT terbagi ke beberapa jenis pekerjaan yang berbeda.

Pembacaannya mereka, dalam satu rumah misalnya, “Kita perlu hire PRT sampai 9 dong kalau di situ ada jenis pekerjaan yang berbeda.” Padahal ini sudah dijelaskan bahwa tidak dimaksudkan PRT akan melakukan pekerjaan yang berbeda berdasarkan clustering jenis pekerjaan tadi karena dalam RUU ada klausul bahwa semua pekerjaan, termasuk gaji didasarkan kepada kesepakatan.

Ada consent. Jika PRT-nya sepakat melakukan semua jenis pekerjaan, misalnya mencuci, setrika, menyapu, memasak, atau mengurus kebun, dan sepakat dengan gaji, maka tidak ada persoalan apapun yang dilanggar. Semua berdasarkan kesepakatan. Kesepakatan itu adalah hukum.

Kalau kita lihat dinamikanya, sekarang banyak majikan yang punya PRT dengan klaster kerja terpisah. Misal, ada driver sendiri, ngurusin kebun, mencuci dan menggosok. Untuk yang masak berbeda karena majikan mencari yang benar-benar pintar untuk memasak dan tidak dibebani dengan pekerjaan yang lain. Ini secara praktik sudah ada dalam masyarakat. It’s okay, yang penting ada kesepakatan di awal. Dikasih tahu, ini kamu akan mengerjakan ini, kamu gajinya segini, setuju atau tidak? Semua berdasarkan kesepakatan. Kalau PRT bilang enggak mau, ya tidak terjadi kesepakatan.

Nah ini di RUU diatur, kesepakatan ditempatkan sebagai norma tertinggi dalam proses hubungan kerja di antara PRT dan pemberi kerja. Termasuk jam kerja, diatur dalam RUU, juga hak untuk istirahat. Semua itu adalah kebutuhan yang justru menjamin agar PRT sehat dalam kondisi terbaik, sehingga dia happy kan gitu.

Maka, perlu ada pengaturan itu. At least perjanjian yang tertulis walaupun secara sederhana enggak harus pakai notaris. Sebab, ini untuk melindungi kedua belah pihak, pemberi kerja sekaligus PRT, sehingga hubungannya jadi harmonis selaras.

Bagi yang menentang, permasalahan soal RUU ini dikatakan liberal, tidak mengedepankan gotong royong dan kekeluargaan sebagai bagian dari budaya kita juga ada. “Lho kan di masyarakat kita semangatnya gotong royong, kekeluargaan,” kata mereka. Kemudian kita cek yang dimaksudkan dengan tidak kekeluargaan yang mana? RUU ini asasnya kekeluargaan, musyawarah, kesepakatan, dan keadilan, kok.

Harus dibedakan dengan cara kita melihat contoh kasus saat kita menitipkan anak di pesantren, nitipin anak ke Kiai. “Saya nitip ya Pak Kiai. Anak saya dibina dengan baik, mengaji di sini dapat berkah dan dapat membantu.” Kalau ini memang iya. Atau misal kita ajak ponakan, saya sekolahin, kemudian dia juga melakukan pekerjaan di rumah, ya itu berbeda. Dia datang tidak untuk bekerja. Ini tidak diatur makanya ini dimaksudkan dengan prinsip kekeluargaan dan gotong royong.

Contoh lain Abdi Dalem di keraton. Mereka pekerja bukan? Tergantung niat dan kesepakatannya. Kalau jadi Abdi Dalem sebagai sebuah kehormatan, itu kan beda konteks dan tujuan. Praktik-praktik ini berlaku secara kultural. Makanya perlu digarisbawahi tujuan awalnya apa. Para PRT sejak dari rumah niatnya adalah untuk bekerja. Dia harapannya mendapatkan upah. Nah, ini harus diatur, biar tidak eksploitatif, dan tidak terjadi perbudakan.

Baca Juga: Tangan-tangan Tak Terlihat: Bagaimana Jutaan PRT Bertahan Selama Pandemi

Berbicara soal RUU PPRT, dalam drafterbarunya, kami melihat sampai sekarang upah minimum PRT tak dimuat. Kendati masalah yang mengacu pada PRT itu upah minimum atau tidak terbayar. Bolehkah dijelaskan kenapa upah minimum tidak dimasukkan?

Mungkin begini. Pertama harus dipahami dulu, di satu sisi ini (peraturan upah minimun) juga jadi satu hambatan kenapa RUU ini mentok enggak kebahas dulu. Jadi ada begitu banyak pihak yang sangat keberatan dan ini pasti mewakili kelompok pemberi kerja. Orang-orang yang ada di DPR ya memang mereka keberatan.

Saya juga heran. Yang keberatan di DPR apakah sudah mengumpulkan hasil petisi seluruh rakyat indonesia yang keberatan, ya enggak juga. Ini lebih ke karena ego dan sisi feodalisme yang masih sangat kuat. Mereka melihat PRT tidak layak dianggap sebagai pekerja. Sehingga, untuk mendapatkan upah minimum saja rasanya tidak sudi.

Padahal upah minimum salah satu cara menghindari agar setidak-tidaknya (hak) minimum itu masih didapatkan oleh PRT. Tujuannya untuk ngejagain hak mereka. Apalagi kan banyak kasus terjadi, “Yowes lah daripada enggak ada pekerjaan. Daripada enggak makan.” Jadi banyak sekali excuse (pemberian upah tak layak) ini yang terjadi.

Para PRT ini tidak dianggap secara ekonomi berkontribusi seperti angkatan kerja yang lain, atau dia tidak secara langsung dianggap menyumbangkan GDP (produk domestik bruto). Makanya, klausul upah mininum di-drop. Ini sebenarnya adakah strategi untuk bisa terjadi kesepakatan lebih cepat dalam proses pembahasan di BALEG.

Ini yang kita bilang ini ruang politik tidak bisa hitam putih, otot-ototan kalah menang. Walaupun kita menginginkan peraturan yang sangat ideal tapi masa upaya kita harus dibuyarkan lagi. Tidak adanya upah minimum ini jadinya merupakan bagian dari kompromi kita. Ini kompromi kepada pihak pihak yang menentang, misalnya seperti Partai Karya yang sangat resist kalau soal upah. Sementara di-drop dulu, toh ada waktu dalam pembahasan kalau pemerintah membuat keputusan yang lain, bisa saja (dimasukkan soal upah minimum ini).

Dalam draf RUU PPRT terbaru, pada Bab 6 tentang Pendidikan dan Pelatihan, PRT dapat mendapatkan pelatihan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah lewat balai latihan kerja. Ini mekanismenya nanti bagaimana?

Pasti akan melibatkan kementerian dan kelembagaan yang terkait. Misal kementerian ketenagakerjaan punya kewajiban menyediakan BLK (Balai Latihan Kerja) untuk menjadi bekal penyiapan PRT atau kewajiban itu dibebankan kepada lembaga penyalur. Ini jadi alasan kenapa lembaga penyalur dimasukkan ke sini (RUU PRT). Lembaga penyalur itu mendapatkan fee, ongkos dari pihak yang membutuhkan jasanya. Masa tugasnya cuma mengambil calon PRT tapi lupa kewajibannya, makanya itu perlu diatur kewajibannya.

Sebelum menugaskan PRT atau mengirimkan calon PRT ke tempat kerja, mesti dipastikan mereka mendapatkan pelatihan dan pendidikan yang dibutuhkan pekerjaannya nanti. Misal, dalam keseharian PRT tidak bertemu dengan alat-alat elektronik, lalu saat bekerja semua serba elektronik. Ini kan bukan salah PRT kalau kemudian dia datang dan mengalami gegar budaya, ini harus disiapkan makanya harus tahu betul penyalur itu siapa calon kliennya. Pekerjaan apa yang akan diperlukan dari PRT, bagaimana situasi rumahnya. Harus dipastikan dia akan ngerjain apa saja.

Kemudian pendidikan itu bisa dalam bentuk formal. Maksudnya, PRT berhak mendapatkan pendidikan formal. Ini banyak bentuknya. Misal dengan KBM (kegiatan belajar mengajar), paket B, paket C. Jadi ketika PRT punya hak untuk tetap mendapatkan pendidikan dan dia tetap ingin mendapatkan itu, pemberi kerjanya jangan melarang. Itu hak konstitusional warga negaranya untuk cerdas. Masa PRT tidak boleh jadi warga negara yang cerdas.

Nah ini nanti bisa dikembalikan ke tujuan bernegara ini yang ada di Kementerian Pendidikan. Jadi Kementerian Pendidikan, Kementerian Ketenagakerjaan, dan kementerian lain harus menjadi bagian dari menciptakan ekosistem yang berkeadilan.

Dari aksi di Hari PRT Nasional lalu, kami melihat Bu Luluk dekat dan disayang sama teman-teman PRT. Apa yang membuat Ibu punya kedekatan dengan isu PRT ini secara personal?

Ya, ini soal kemanusian. Apalagi saya punya pengalaman hidup, tumbuh, dan besar bersama orang-orang yang punya jasa sangat besar. Saya tahu betul kehadiran mereka punya kontribusi yang sangat penting dalam tumbuh kembang saya sejak kecil sampai sekarang.

Kedua, ini persoalan cinta kasih yang menurut saya yang sudah menjadi bagian dari keyakinan diri saya untuk terus menerus menjadi value dalam berpolitik. Di satu sisi, saya dididik dalam keluarga. Masa-masa jadi santri di pesantren dan sampai sekarang bahwa yang namanya kesadaran keagamaan dan iman, ditunjukkan melalui bagaimana sikap kita membela mustadh’afin (orang-orang tertindas atau lemah). Jadi ini termasuk di dalamnya PRT, nelayan, petani, mereka adalah kelompok rentan.

Ukuran kesalehan antara lain berupa positioning kita kepada orang-orang yang sangat rentan ini. Itu yang menjadi misi perjuangan politik bahwa saya melihat mereka tidak dengan kalkulasi elektoral. Saya tidak kenal mereka secara personal, demikian sebaliknya. Mereka bahkan mungkin memilih PDIP dibandingkan PKB di Pemilu kemarin, tapi itu tidak jadi alasan untuk tidak memperjuangkan hak mereka.

Bagi saya, politik itu harus bisa mewujudkan kemaslahatan publik dan itu jelas standpoint saya. Apalagi saya perempuan dan kebanyakan dari PRT itu perempuan (Data Organisasi Buruh Dunia pada 2015 menyebutkan jumlah PRT perempuan di Indonesia mencapai 84 persen). Para PRT ini harus meninggalkan keluarga, anak anaknya. Saya selalu bertanya ketika ketemu PRT, punya anak enggak, anaknya usianya berapa, dan itu selalu mengganggu saya ketika mengetahui ada ibu bekerja yang dijauhkan dengan anaknya karena harus bekerja.

Saya merasakan betul, bagaimana beratnya secara pribadi jauh dari anak. Padahal saya punya kemampuan untuk jumpa setiap saat sama mereka. Harus berpisah saat kunjungan ke daerah pemilihan (dapil), atau ketika sekolah lagi, itu saja berat. Apalagi kalau ada PRT tidak tahu kapan mereka bisa pulang karena tidak ada jaminan atau izin untuk pulang, kecuali kalau anaknya sedang sakit.

Biasanya kan begitu, harus selalu ada peristiwa anak atau ortu sakit rada keras, baru bisa mereka jumpa. Ini menyakitkan menurut saya. Karena Indonesia akan luar biasa, kalau warga negaranya bahagia. Saya meyakini itu. Kalau anak-anak yang tumbuh, dilahirkan dari orang tua siapa pun mereka, apa pun pekerjaan mereka punya kebahagian.

Kita tidak menginginkan jutaan anak-anak tumbuh dengan nestapa kemudian di masa perkembangannya mengalami disabilitas rohani” karena situasi kerentanan ini. Pada akhirnya ini jadi lingkaran kekerasan yang akan berpengaruh pada perjalanan bangsa kita. Saya melihatnya seperti itu.

Selain itu, kenapa saya punya perasaan dekat? Karena mereka adalah saya. Bukan soal pekerjaannya, tapi dari bagaimana dia jauh sama anak-anaknya. Saya mengalami bagaimana sakitnya jauh sama anak-anak. Sama kan. Saya punya pengalaman personal betapa sakitnya saya jauh, dan ada yang enggak bisa ditebus. Enggak bisa diganti.

Di luar sana ada jutaan anak-anak PRT yang terluka dan mengalami bully dan menjadi yatim karena pekerjaan orang tua mereka membuat mereka harus jauh. Saya bisa merasakan itu. Karena bisa merasakan itu bagi saya tidak ada acara lain selain harus menyuarakan mereka.

Melihat perjuangan hidup mereka yang luar biasa, pengorbanan mereka jauh dari keluarga yang mereka miliki, luka batin yang mereka terima. Sementara, saya mendapatkan penghargaan secara sosial yang dihargai oleh publik dan negara, maka betapa tidak adilnya PRT yang tak mendapatkan penghargaan serupa padahal berkorban banyak.

Dari keringat yang dia keluarkan, air mata yang dia tumpahkan, kesepian yang rasakan, dan anaknya tercerabut dari kasih sayang, tidak diakui oleh negara, tidak dilindungi. Ini harus terus diperjuangkan agar dia bisa mendapatkan apa sepatutnya yang dia dapatkan. Jadi menurut saya sesimpel itu.

Setelah 19 tahun, akhirnya RUU ini masuk sebagai RUU inisiatif DPR pada Rapat Paripurna. Bagaimana pendapat ibu tentang hal ini?

Saya tentu sangat bersyukur dan senang karena perjalanan dan perjuangan RUU ini sudah sangat lama. Penuh dengan keprihatinan, banyak yang harus dikorbankan termasuk waktu, tenaga, dan luka-luka kesakitan, bahkan korban jiwa. Di titik kulminasi ini saya menyampaikan apresiasi.

Salut kepada semua pihak yang memberikan dukungan, sehingga RUU ini akhirnya ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR. Tentu ini apresiasi kepada ketua dan para anggota DPR yang memberikan persetujuan, sehingga RUU ini bisa masuk rapat paripurna.

Apresiasi yang sebesar-besarnya juga saya berikan kepada gerakan masyarakat sipil, khususnya JALA PRT, Serikat Pekerja Rumah Tangga Sapu Lidi, Perempuan Mahardhika, Rumpun Gema Perempuan, gerakan mahasiswa, dan gerakan lain yang tidak bisa saya sebutkan semua yang telah memberikan dukungan pada RUU ini. Lalu juga pada NU, karena lewat Muktamar NU yang terakhir di Lampung, NU secara resmi memberikan dukungan pada pengesahan RUU PRT.

Maka saya sampaikan bahwa persetujuan dan penetapan RUU PPRT sebagai inisiatif DPR adalah kemenangan kita semua. Ini adalah kemenangan nurani, kemenangan kemanusiaan, dan kemenangan bangsa Indonesia. Kita terus ingin menjaga momentum ini. Mengawal dan menyelesaikan secara tuntas kerja-kerja untuk kemaslahatan sampai RUU ini benar-benar disahkan menjadi undang-undang.

Walau RUU PPRT ini sudah jadi RUU inisiatif DPR, masih ada proses lain yang harus dijalani. Ada tidak kendala yang mungkin bakal hadir, dan apakah Bu Luluk punya punya strategi untuk terus mengawal RUU ini sampai disahkah?

Kemarin ketika ditetapkan di Rapat Paripurna oleh ketua DPR, saya melakukan interupsi. Menegaskan dan mengingatkan kepada pimpinan agar segara bersurat kepada presiden serta menyerahkan rancangan undang-undang, sehingga tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda pembahasan dengan pemerintah.

Apalagi memang secara tertib atau prosedur RUU baru bisa dibahas bersama dengan pemerintah kalau pemerintah menerima rancangan undang-undang yang kemudian presiden bisa menerbitkan supres. Ini yang harus kita kawal terlebih dahulu.

Tanggal 27 Maret, ketua DPR sudah menandatangani surat untuk presiden sekaligus menyerahkan RUU PPRT. Langkah ini memperlihatkan kesiapan DPR untuk membahas bersama dengan presiden atau pemerintah. Karena itu kita akan cek, apakah surat ini sudah diterima pemerintah dan kita harap pemerintah juga tidak menunggu waktu yang lebih lama lagi.

Saya harapkan di minggu ini tuntas, supres berikut dengan DIM-nya karena toh Bapak Presiden sendiri sudah memberikan dukungan secara terbuka terhadap RUU PPRT dan sudah menugaskan kementerian yang terkait (Kementerian Hukum dan HAM serta Kementerian Ketenagakerjaan) untuk melakukan proses-proses percepatan pengesahan RUU PPRT. Di antaranya dengan segera melakukan koordinasi dengan DPR dan seluruh stakeholder yang terlibat.

Dalam hitungan saya, kalau minggu ini supres dan DIM sudah bisa dikeluarkan pemerintah, maka di minggu awal April kita udah bisa membahas bersama-sama. Nah saya kira proses percepatan itu bisa dilakukan manakala alat kelengkapan dewan yang ditunjuk untuk membahas dengan pemerintah adalah BALEG.

Kenapa? Karena kita yang sudah menggodok, sudah menyiapkan RUU-nya. Kita juga yang melakukan sinkronisasi, dan harmonisasi. Kita juga sudah mengenal satu sama lain dan menurut saya tak perlu lagi memulai dari 0 melakukan pendalaman terhadap substansi.

Jika BALEG yang diberikan kepercayaan untuk membahas ini bersama pemerintah, kita tinggal melanjutkan saja apa apa yang harus dituntaskan bersama-sama. Itu enggak butuh waktu yang lama. Kira-kira tanggal 13 April saat penutupan masa sidang di bulan depan kita sudah bisa mengesahkan RUU ini.

Makanya kita minta Presiden tolong untuk segera menugaskan kementerian terkait untuk menyiapkan DIM sebaik-baiknya dan kita mengurangi seminimal mungkin situasi yang menimbulkan perdebatan yang sangat serius karena perdebatan itu sudah kita selesaikan di BALEG.

Dalam meminimalisasi konflik dan gap antara pemerintah dan DPR, kita harus memiliki pemahaman yang sama khususnya yang terkait pasal-pasal tertentu yang diputuskan untuk ditiadakan dalam RUU. Ini bukan untuk mengurangi kualitas dan substansi ya. Namun, pertimbangan semata-mata sudah ada aturan terpisah yang sudah digunakan. Misalnya terkait sanksi pidana karena sudah diakomodasi lewat KUHP, UU TPKS, atau TPPO.

Baca juga: RUU Perlindungan PRT Kurang Perhatian Media, Minim Pemberitaan

Ibu sempat mengatakan dalam proses panjang RUU PPRT ini juga diwarnai dengan pertentangan dari dua fraksi, PDIP dan Golkar. Jika RUU ini sendiri sudah jadi RUU inisiatif DPR, berati pertentangan ini sendiri sudah berhasil ditangani di tubuh DPR?

Ya benar, kita memang lakukan diskusi sangat intens untuk bisa menggali kira-kira keberatan itu ada di mana. Karena memang situasi pada saat pembahasan di BALEG dengan kondisi dan dinamika di luar BALEG kan berbeda ya. Namun demikian setelah proses-proses dialog dan intensitas pertemuan yang telah dilakukan, kita bisa pahami keberatan mereka dan kita terima. Misalnya RUU ini haruslah mencantumkan asas kekeluargaan, ya kita cantumkan.

Kalau bagi saya ini tidak mengubah apa-apa. Secara substantif kita sepakat RUU ini tetaplah harus mengusung semangat dan asas kekeluargaan dengan dasar hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja, tetapi tetap berlandaskan kesepakatan atau perjanjian. Asas kekeluargaan ini juga tidak boleh jadi alasan untuk melakukan eksploitasi.

Jadi kita sudah bersepakat ya dengan asas kekeluargaan ini bukan berarti PRT jadi kehilangan kemerdekaannya. Kehilangan hak untuk bisa punya privasi, waktu untuk dirinya sendiri, memiliki hak untuk libur atau bahkan melakukan ibadah sesuai kepercayaan masing-masing atau hal lain yang secara manusiawi PRT punya hak untuk bisa bertumbuh dan berkembang.

Sehingga atas dasar kekeluargaan justru undang-undang ini nantinya bisa mengikat kedua belah pihak. Pemberi kerja bahkan pihak ketiga seperti Lembaga penyalur tidak boleh berlaku semena-mena dengan PRT.

Pertanyaan terakhir, apa harapan Ibu ke depannya pada RUU PPRT ?

Harapan saya semoga undang-undang ini bisa jadi kado Lebaran yang baik bagi semua PRT di Indonesia. Mudah-mudahan bisa secara efektif jadi kekuatan diplomasi kita untuk memberikan perlindungan pekerja migran.

Dengan disahkannya RUU PPRT, pekerja migran atau PRT indonesia yang bekerja di luar negeri tidak hanya diakui kerja-kerjanya tapi mereka juga diberikan penguatan posisi dan penghormatan oleh negara. Negara penempat PRT nantinya jadi tidak boleh main-main. Memperlakukan PRT kita dengan buruk atau semena-mena karena PRT kita udah punya power ini nantinya.

Sebelum ada RUU ini agak repot ya Indonesia dalam berbincang dalam konteks internasional. Kita saja gagal mengakui dan melindungi PRT, masa kita mau minta negara lain untuk mengakui dan melindungi pekerja kita di sana dengan sebaik-baiknya. Undang-undang ini nantinya bakal jadi kekuatan diplomasi kita yang luar biasa.

Makanya saya beberapa kali bilang, Kementerian Luar Negeri walau secara tidak langsung tidak jadi bagian dari gugus tugas, mereka tetap punya peran penting dan tanggung jawab besar dalam memberikan dukungan. Ini karena upaya untuk memberikan perlindungan pada warga negara khususnya pekerja migran di luar negeri, berkaitan dengan komitmen politik yang yang berpihak pada pekerja rumah tangga.

Dalam rangka International Women’s Day 2023, Magdalene meluncurkan series liputan jurnalisme data bertema “Urgensi Ekonomi Perawatan”. Akan ada satu artikel utama dan 4 artikel lainnya yang tayang setiap Rabu. Jika kamu menyukai liputan visual, Magdalene juga membuat laporan berformat video yang bisa diakses di Youtube kami.

Penanggung jawab/Pemimpin Redaksi: Devi Asmarani

Redaktur Pelaksana: Purnama Ayu Rizky

Editor: Aulia Adam

Reporter/ Periset:

Aurelia Gracia, Jasmine Floretta, Chika Ramadhea

Desainer Grafis: Jeje Bahri, Della Nurlaelanti Putri

Juru Kamera dan Editor: Tommy Triardhikara

Web Developer: Denny Wibisono

Media Sosial: Siti Parhani

SEO Specialist: Kevin Seftian

Community Outreach: Paul Emas



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *