Magdalene Primer: RUU Perlindungan PRT yang Sudah 16 Tahun Mangkrak
RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sudah 16 tahun mangkrak di DPR padahal penting untuk melindungi hak PRT dan majikan.
Jika pengesahan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja dikebut oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tidak demikian dengan beberapa RUU lain yang sebenarnya sangat mendesak disahkan. Selain RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), ada RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU Perlindungan PRT), yang sudah 16 tahun mandek di DPR sejak drafnya pertama kali diajukan pada 2004.
Ari Ujianto, Staf Pengembangan Kapasitas dan Pengorganisasian Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), mengatakan ada sejumlah kendala dalam pengesahan RUU Perlindungan PRT. Kendala-kendala tersebut termasuk draf awal yang dianggap terlalu idealis, pertentangan politik dua fraksi besar di DPR, sampai kecenderungan bias kelas.
“Anggota DPR lebih memosisikan diri sebagai pemberi kerja alih-alih pembuat kebijakan untuk rakyat kecil, sehingga mereka khawatir RUU PRT ini akan menyulitkan mereka di kemudian hari,” ujar Ari kepada Magdalene.
“Ada yang menganggap ini bentuk kapitalisasi, jadinya segala diduitin gitu. Belum lagi mereka takut dikriminalisasi sama PRT-nya kalau ada aturan macam-macam. Padahal kan ini RUU PRT juga menguntungkan pihak pemberi kerja juga,” ia menambahkan.
Untuk lebih memahami situasi pekerja rumah tangga dan betapa krusialnya aturan yang melindungi pekerja rumah tangga dan pemberi kerja, berikut adalah poin-poin dasar yang perlu diketahui.
Bagaimana situasi pekerja rumah tangga di Indonesia?
Organisasi Buruh Internasional (ILO) memperkirakan, pada 2015 ada 67,1 juta pekerja rumah tangga atau domestik, yang mencakup 3,6 persen dari pekerjaan berupah di dunia. Tren jumlah PRT ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat ada 52,6 juta pada 2010 , dan 67,1 juta pada 2015 di dunia.
Baca juga: Perlindungan Hukum Bagi PRT Migran Masih Semrawut
Seiring pertumbuhan Indonesia menjadi negara berpenghasilan menengah, jumlah PRT juga meningkat. Hasil analisis ILO terhadap Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2008-2015 menunjukkan, jumlah PRT mencapai 2,6 juta orang pada 2008 dan empat juta orang pada 2015. Kendati demikian, JALA PRT meyakini bahwa di Indonesia angkanya jauh lebih besar dari hasil analisis ILO tersebut.
“Kami percaya ada lebih dari lima juta PRT karena masih banyak yang belum tercatat,” ujar Ari.
Dianggap pekerja rendahan, para pekerja rumah tangga menghadapi kerentanan dari berbagai sisi. Pertama, mereka rentan dieksploitasi dengan mendapat upah rendah dan jam kerja yang panjang tanpa batas waktu tertentu. PRT juga rentan terhadap perdagangan manusia lewat agen-agen penyalur yang belum teregulasi. Selain itu, PRT rentan kekerasan fisik dan seksual karena bekerja di ranah privat di balik pintu-pintu tertutup.
Selama pandemi ini, nasib PRT semakin memburuk karena banyak yang dirumahkan dan sebagian besar dari mereka terpaksa memilih pulang kampung agar bisa tetap makan dan bertahan hidup. Cerita-cerita kerentanan para PRT selama pandemi ini sudah pernah Magdalene bahas dalam podcast Magdalene’s Mind.
Dengan segala kerentanan yang ada, PRT belum mendapat perlindungan maupun jaminan sosial yang mumpuni, bahkan pekerjaan mereka tidak tercantum dalam UU Ketenagakerjaan 2013.
Bagaimana perjalanan RUU Perlindungan PRT?
Berangkat dari masalah kerentanan dan statistik PRT di Indonesia, lembaga-lembaga advokasi kemanusiaan membentuk JALA PRTuntuk mendorong disahkannya RUU Perlindungan PRT di DPR pada 2004. RUU ini hadir sebagai inisiasi masyarakat sipil yang sering menangani kasus-kasus kekerasan pada PRT baik di dalam maupun di luar negeri.
“Memang aturan hukum untuk tindakan kekerasan itu sudah diatur dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) dan UU KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga). Tapi belum ada payung hukum yang bisa mencegah kekerasan dan eksploitasi itu terjadi, RUU PRT ini hadir untuk meregulasi itu. Selama ini PRT tidak terdaftar sehingga enggak bisa diawasi,” ujar Ari.
RUU PRT baru dilirik serius oleh pemerintah saat ILO mengadakan Konvensi Buruh Internasional di Jenewa, Swiss, pada 2011. Konvensi 189 itu menghasilkan rekomendasi 201 tentang kerja layak bagi PRT agar diadopsi oleh negara-negara yang terlibat di dalamnya, termasuk Indonesia.
Irham Saifudin, Programme Officer ILO untuk Indonesia dan Timor Leste, mengatakan pada awalnya pemerintah Indonesia tidak menyetujui rekomendasi dari konvensi tersebut, terlebih ada penolakan dari Aliansi Pengusaha Indonesia (Apindo). Namun, seiring semakin maraknya kasus penyiksaan buruh migran Indonesia, ada lobi politik yang membuat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi kala itu, Muhaimin Iskandar, akhirnya menyetujui hasil konvensi tersebut.
“Presiden waktu itu Pak Susilo Bambang Yudhoyono turut menghadiri konvensi tersebut, ia bahkan diberi podium khusus. Dari sana susunan upaya hukum RUU PRT ini mulai menguat dan ramai disuarakan banyak pihak. Aktivis sampai konfederasi buruh juga mulai melihat urgensi RUU PRT ini. Tapi sayangnya, di dalam tubuh DPR-nya sendiri enggak begitu ada kemajuan,” ujar Irham kepada Magdalene.
Baca juga: Perempuan Pekerja Rumahan: Terabaikan dan Tak Diakui Haknya
Apa yang diatur dalam RUU Perlindungan PRT?
Secara substansial, RUU PRT mengatur mulai dari kejelasan kontrak, jaminan sosial bagi PRT, regulasi agen-agen penyalur PRT, serta pembentukan lembaga pendidikan untuk pelatihan PRT. Dengan demikian, menurut Ari, RUU PRT ini mengatur banyak hal yang tidak hanya menguntungkan pemberi kerja dan PRT semata, namun juga akan memberi nilai tambah dari segi keterampilan atau kemampuan bagi PRT.
“RUU PRT sudah menerima dan mempertimbangkan pendapat berbagai pihak serta kendala yang sering dianggap memberatkan. RUU PRT ini menguntungkan semua pihak, enggak cuman PRT aja. Kan kasus PRT kabur atau mencuri itu bisa diminimalisasi kalau kontrak dan yang lainnya jelas,” ujar Ari.
Irham mengatakan, kejelasan kontrak membuat kedua belah pihak terlindungi karena punya sanksi dan keuntungan masing-masing. Jika ada kasus PRT yang kabur atau menyalahi kontrak mereka tentu akan menerima sanksi yang sudah sama-sama disepakati kedua belah pihak.
“Sebagian besar pelanggaran itu karena tidak ada kontrak, karena ada kerancuan. Nah, kontrak ini mewadahi semua masalah itu. Kontrak tersebut tidak harus tertulis, yang penting ada kesepakatan,” ujarnya.
Mengapa tidak kunjung disahkan?
Menurut Ari, tidak sedikit anggota DPR yang melihat RUU Perlindungan PRT ini dari kacamata majikan atau pemberi kerja, menganggap RUU PRT sebagai ancaman yang bisa mengkriminalisasi majikan di masa depan. Padahal, ujar Ari, draf RUU PRT terus direvisi dan dikompromikan selama 16 tahun terakhir. Pasal-pasal yang dianggap memberatkan telah banyak mengalami perubahan dan sekarang ini sudah jauh lebih fleksibel dibanding draf awalnya, katanya.
“Awalnya memang draf RUU PRT yang kita bikin itu sangat idealis ya. Kita mengatur semuanya, kelayakan upah, tapi lama kelamaan kita sadar kalau seidealis itu enggak masuk-masuk, nih. Banyak sekali aturan yang sekarang ini lebih fleksibel serta menyesuaikan kesepakatan antara pemberi kerja dan PRT, jadi tidak memberatkan,” ujar Ari.
Kendati sudah mengalami banyak perubahan, RUU PRT ini masih mengalami penolakan dari dua fraksi di DPR, yaitu fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Golkar. Hal tersebut cukup disayangkan mengingat baru tahun ini RUU PRT bisa tembus di Program Legislasi Nasional (Prolegnas), artinya RUU PRT sudah didiskusikan oleh Badan Legislasi (Baleg). Sebagai fraksi yang punya suara besar di DPR, penolakan keduanya tentu cukup berpengaruh dalam proses pembahasan RUU PRT ini.
JALA PRT mempertanyakan penolakan PDI-Perjuangan, mengingat partai itu termasuk yang mengusung RUU PRT di awal pembentukan draf. Belum lagi pada perayaan Hari Perempuan Internasional Maret 2015 lalu, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri berjanji memperjuangkan RUU PRT.
“Sekarang ini yang lead-nya dari Nasdem, menurut saya ada sentimen antar fraksi juga di situ, tapi 7 fraksi yakni Gerindra, PKB, NasDem, Demokrat, PKS, PAN, dan PPP, yang lainnya sudah setuju,” ujar Ari.
“Masih banyak yang menganggap bahwa RUU PRT ini akan mengkriminalisasi mereka sebagai pemberi kerja. Saya pun kadang diledek dengan nada bercanda nantinya akan membuat ‘RUU Sopir’ atau RUU lainnya.”
Sekarang bagaimana kelanjutannya?
RUU Perlindungan PRT sebetulnya mengalami kemajuan yang cukup berarti tahun ini. Selain sudah masuk dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020, RUU ini juga sudah disetujui Badan Legislasi (Baleg) pada Juli 2020 untuk menjadi RUU usul inisiatif DPR. Panitia Kerja (Panja) RUU PRT pun sudah dibentuk dan direncanakan akan dibawa ke sidang paripurna.
Ketua Panja RUU Perlindungan PRT, Willy Aditya mengatakan, dulu hambatan utama pengesahan RUU tersebut adalah karena dianggap industrialis. Setelah dirinya menjadi Ketua Panja, ujarnya, RUU PRT dibagi menjadi dua kluster, untuk agen penyalur dan untuk pemberi kerja langsung, sehingga RUU PRT lebih kontekstual saat nanti dilakukan pembahasan di paripurna.
“Begitu RUU itu masuk ke Panja, dalam proses pembuatannya saya banyak melibatkan sosiolog. Nah setelah ini berjalan diterima di tingkat satu oleh Panja dan Baleg, habis itu dikirim ke pimpinan DPR lalu di sampaikan di Bamus (Badan Musyawarah),” ujar Willy kepada Magdalene.
“Karena saya juga anggota Bamus, saya juga menyampaikan RUU PRT itu di Bamus. Tapi karena masih ada yang belum setuju, jadi belum bisa masuk ke sidang Paripurna,” ia menambahkan.
Willy, yang merupakan Wakil Ketua DPP Nasdem dan anggota Komisi I DPR yang membidangi isu luar negeri, komunikasi, dan intelijen, mengatakan tidak mudah memperjuangkan RUU PRT ke paripurna, apalagi jika ada pertentangan politik di tubuh DPR. Menurutnya, ia bahkan beberapa kali sempat dirundung oleh anggota DPR lain karena mengajukan kembali RUU PRT dalam rapat Bamus di DPR Juli lalu.
Baca juga: ‘Sekali Berstatus PRT Migran Selamanya PRT Migran’
“Masih banyak yang menganggap bahwa RUU PRT ini akan mengkriminalisasi mereka sebagai pemberi kerja. Saya pun kadang diledek dengan nada bercanda nantinya akan membuat ‘RUU Sopir’ atau RUU lainnya,” ujarnya.
Kendati demikian, Willy tetap optimistis untuk mengejar RUU PRT sampai bisa disahkan sebagai RUU inisiatif DPR di sidang paripuna sebelum 2020 berakhir.
“Ini kan sudah diajukan menjadi hak inisiatif DPR. Ini harus diputuskan dulu di paripurna sebagai inisiatif, baru habis itu dikirim ke Presiden untuk kemudian keluar dibahas di tingkat pemerintah. Ini di tingkat dua saja belum selesai, tapi di Baleg sudah selesai. Jadi ada dua step lagi untuk disahkan menjadi Undang-undang. Targetnya tahun ini yang penting disahkan di rapat paripuna dulu,” ujar Willy.
Irham dari ILO mengatakan, sudah sepatutnya negara hadir memenuhi hak dasar PRT sebagai pekerja, apalagi Indonesia merupakan negara pengirim pekerja migran terbesar kedua di Asia Tenggara, setelah Filipina.
“Sumbangan mereka yang besar tidak dibarengi dengan perlindungan akan harkat dan martabat mereka sebagai pekerja yang juga berhak hidup layak,” ujar Irham.
Ari mengatakan, 50 persen hak PRT selama ini tidak dipenuhi; mereka hidup tanpa jaminan sosial dan menanggung sendiri biaya jika ada kecelakaan kerja.
“Kortak kerja enggak ada, datang ke penyalur buat kerja malah dijual atau dieksploitasi. Sudah saatnya kita memanusiakan mereka sebagai pekerja,” ujarnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari.