Culture Screen Raves

Review Episode 3 ‘The Last of Us’: Yang Bikin Satu Bumi Nangis Berjemaah

Kalau kamu belum menonton The Last of Us—setidaknya episode 3—kamu berarti sedang ketinggalan perasaan patah hati berjemaah seplanet Bumi, minggu lalu.

Avatar
  • February 1, 2023
  • 5 min read
  • 684 Views
Review Episode 3 ‘The Last of Us’: Yang Bikin Satu Bumi Nangis Berjemaah

Tulisan ini mengandung spoiler.

Bahkan penonton paling cynical sekali pun tahu bahwa The Last of Us, serial terbaru HBO yang diadaptasi dari sebuah game yang super-terkenal, adalah sebuah hit. Dari tiga episode yang sudah dirilis, kreator Craig Mazin (penanggung jawab miniseri Chernobyl yang sungguh menggigit) dan Neil Druckmann (penulis asli game-nya) tidak hanya berhasil menampilkan hiburan yang paten, tapi juga memberikan karakter yang langsung membuat saya, sebagai penonton, langsung terpikat.

 

 

Premis yang ditawarkan oleh The Last of Us sebenarnya cukup generik: dunia kiamat karena zombie. Kurang lebih seperti itu daya tarik utamanya. Tahun 2003 banyak orang terinfeksi jamur yang merupakan mutasi dari Cordyceps yang akhirnya menyebabkan pandemi global. Infeksi ini menyebabkan orang-orang untuk melakukan hal-hal yang seperti dilakukan oleh zombie; menggigit orang dan tentu saja menyebarkan virus.

Tokoh utamanya adalah seorang bapak-bapak ganteng bernama Joel (Pedro Pascal) yang di episode pertamanya mendapatkan tugas mengantarkan seorang gadis muda, Ellie (Bella Ramsey). Ellie rupanya imun dengan virus ini yang kemungkinan besar bisa menjadi jalan untuk menghentikan semua kegilaan ini.

Dua episode yang sudah dirilis membuat semua penontonnya, baik yang tidak familiar dengan sumber aslinya maupun penggemar game-nya, berteriak kesenangan. The Last of Us menyajikan ketegangan yang paten, drama yang menggigit dan karakter yang tiga dimensional. Semua itu kemudian dibungkus dengan production value khas HBO yang selalu on point.

Hari Senin, 30 Januari 2023 kemarin, The Last of Us merilis episode ketiganya yang berjudul Long Long Time dan baru separuh durasi, saya tahu episode ini akan menciptakan kegaduhan.

Bill dan Frank yang Bikin Geger

Ditulis oleh Craig Mazin dan disutradarai oleh Peter Hoar, Long Long Timemelakukan hal yang berani dengan memberikan backstory yang lumayan komplet tentang dua karakter pendukung. Penonton memang masih diajak untuk melihat perjalanan Joel dan Ellie tapi dalam episode ini kita diajak untuk bertemu dengan Bill (Nick Offerman) dan Frank (Murray Bartlett).

Bill adalah seorang survivalist yang tidak percaya dengan pemerintah. Menurutnya semua adalah konspirasi. Ketika pemerintah mengevakuasi warga di awal-awal penyebaran virus, Bill memilih untuk sembunyi di rumahnya, tinggal diam dan hidup tenang sendirian. Ia mengelilingi rumahnya dengan pertahanan yang paten sehingga zombie-zombie itu tidak menyerangnya, begitu juga pemerintah yang mungkin nanti iseng akan tampil.

Muncullah Frank ke dalam frame. Terjebak dalam ranjau yang dibuat oleh Bill, Frank dengan jujur mengatakan bahwa dia butuh pertolongan. Dua hari ia belum makan dan semua rekannya sudah tewas. Bill yang selama ini selalu paranoid untuk pertama kalinya menurunkan pertahanannya dan mengizinkan Frank untuk singgah. Ia memberikan tempat Frank untuk mandi dan kemudian makan.

Adegan yang ditulis oleh Craig Mazin dan kemudian diterjemahkan ke dalam bentuk visual oleh Peter Hoar sebenarnya sangat sederhana. Orang yang tadinya sendirian selama bertahun-tahun akhirnya bertemu dengan orang yang matanya langsung menyala setelah mencicipi masakan yang proper. Bill memang masih menjaga pertahanan dirinya tapi ia tahu Frank memberikan nuansa “normal” yang selama ini ia tidak dapatkan. Tidak lama bagi keduanya untuk langsung intim.

Di atas ranjang, Frank berbisik dan berdeklamasi bahwa ia bukan seorang yang murahan. Tapi ia menginginkan tinggal untuk lebih lama, paling tidak beberapa hari. Craig Mazin memutuskan untuk langsung loncat ke beberapa tahun kemudian dan penonton melihat hidup Bill yang berubah. Frank kini menjadi tujuan hidupnya.

Bikin Gaduh Twitter Nusantara

The Last of Us adalah serial yang menurut saya sangat macho. Ini jenis tontonan yang akan sangat digemari oleh laki-laki heteroseksual: setting-nya eksotis (post-apocalyptic), premisnya enggak ribet dan diadaptasi dari game yang terkenal. Keputusan pembuatnya untuk memberikan satu episode khusus untuk side characteryang kebetulan adalah homoseksual adalah sebuah keputusan yang berani.

Bahkan sebelum adegan intim antara Bill dan Frank muncul, saya sudah merasa bahwa episode ini akan menjadi kontroversi. Dan dugaan saya benar. Ketika saya membuka Twitter, saya menemukan banyak orang (baca: homofobik) berkomentar bahwa episode ini sia-sia. Ada yang bilang kecewa. Ada yang bilang mereka sengaja mempercepat durasi sampai di ending supaya mereka tidak melihat adegan Bill dan Frank.

Susah beragumen dengan orang-orang yang mindset-nya sudah saklek.

Tapi yang mengejutkan bagi saya, banyak juga penonton LGBT yang merasa bahwa episode ini terlalu “maksa” dan dibuat hanya dengan tujuan supaya “woke”. Banyak yang kecewa dan bingung kenapa di tengah-tengah dunia yang susah, karakternya malah asyik pacaran.

Saya justru merasa sebaliknya.

Keputusan Craig Mazin untuk membuat cerita cinta yang lumayan mundane tentang dua pria homoseksual di tengah-tengah dunia yang kiamat justru terasa revolusioner. Cinta mereka tidak hanya membuat konteks pandemi menjadi mengharu biru tapi juga langsung memberikan efek yang jelas terhadap karakternya. Sebelum Frank masuk ke dalam kehidupan Bill, ia tidak punya gol lain selain bertahan hidup. Dia hanya butuh untuk menyelamatkan diri sendiri. Dengan Frank, ia sekarang memiliki tujuan lain untuk bertahan hidup. Tema “Apa artinya hidup tanpa cinta?” jadi kuat di sini.

Cerita tentang Bill dan Frank juga menurut saya membuat misi Joel dan Ellie menjadi lebih penting. Hadirnya cinta di tengah-tengah dunia yang kacau membuat karakter utamanya (dan juga penonton) sadar apa yang sedang mereka pertaruhkan. Episode ini akhirnya menjadi penting (dan tidak terlihat menjadi filler episode) karena ia membuat saya engage dengan misi tokoh utamanya. Ada banyak darah dalam perjalanan Joel dan Ellie. Dan berkat Bill dan Frank, kita diingatkan kembali kenapa misi ini menjadi penting sekali.

Menyelamatkan kemanusiaan ternyata memang sepenting itu.

Cinta, seberapa pun klise kedengarannya, membuat kemanusiaan menjadi misi yang layak untuk diperjuangkan.

The Last of Usdapat disaksikan di HBO Go



#waveforequality


Avatar
About Author

Candra Aditya

Candra Aditya adalah penulis, pembuat film, dan bapaknya Rico. Novelnya ‘When Everything Feels Like Romcoms’ dapat dibeli di toko-toko buku.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *