KDRT Ferry Irawan, Kesalahan Tafsir Alquran, hingga Pendidikan Gender untuk Lelaki
Lelaki perlu belajar feminisme agar sadar bahwa kekerasan dalam bentuk apapun, termasuk KDRT istri tak dibenarkan.
Selebriti Ferry Irawan dituntut vonis 1 tahun 6 bulan penjara, buntut dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KRDT) atas sang istri, Venna Melinda. Tuntutan itu dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum Kediri baru-baru ini. Dalam liputan Kompas, Venna ditekan hidungnya oleh Ferry hingga berdarah pada (8/1). Dalam pengakuannya, Venna bilang, ini bukan kejadian pertama. Ia sering diancam dengan kekerasan oleh mantan suami itu.
Kasus KDRT yang dialami oleh selebriti sebenarnya tak cuma sekali dua kali kita dengar. Tahun lalu, publik juga digegerkan dengan drama KDRT Lesti Kejora dan suami, Rizky Billar. Bermula dari dugaan perselingkuhan Rizky, Lesti meminta untuk dipulangkan ke rumah orang tua. Tersulut emosi, Rizky mencekik dan membanting Lesti ke kasur. Ia juga menarik biduan dangdut itu ke arah kamar mandi. Kasusnya sendiri dihentikan karena Lesti konon memaafkan pelaku.
Dalam Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2023 kasus kekerasan terhadap istri paling banyak diadukan setelah kekerasan terhadap mantan pacar. Komnas Perempuan mencatat ada 622 kasus kekerasan terhadap istri. Adapun laporan aduan ranah personal yang ditangani lembaga layanan juga mencatat ada 3.205 kasus kekerasan terhadap istri sepanjang tahun.
Di Podcast Magdalene’s Mind edisi Ramadan dikupas panjang lebar tentang bagaimana islam memandang KDRT. Setidaknya ada dua episode yang menyoal KDRT, yakni episode 1 bersama Nyai Nur Rofiah, anggota Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dan episode 4 bersama Dosen Ilmu Fiqh Siyasah dan Ilmu Falak Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar Nyai Fatmawati Hilal.
Nur Rofiah bilang, para lelaki kerap berdalih pemukulan istri dilegitimasi oleh QS Annisa ayat (34): “Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka.”
Padahal ayat itu tak bisa serta merta ditafsirkan secara literal. “Alquran adalah firman Allah, Dzat yang Maha Tahu, Maha Benar, Maha Adil, termasuk adil terhadap perempuan. Sehingga, informasi dalam Alquran didasarkan pada ilmu pengetahuan tak terbatas, pasti benar, pasti adil. Namun, Alquran dipahami oleh manusia yang tak Maha Tahu, Maha Benar, Maha Adil, sehingga penafsiran mereka kadang benar kadang salah, kadang adil kadang tak adil. Jadi akar kekerasan itu karena tafsir yang salah, bukan ayat Alquran,” ungkapnya.
Baca juga: Problem Pembahasan Kekerasan Seksual dalam Fikih Islam
Dalam QS Ar-Rum ayat (21) dijelaskan: “Dan di antara tanda (kekuasaan)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang.” Ayat ini menegaskan bahwa tujuan perkawinan adalah ketenangan jiwa (sakinah), dan relasi harus didasarkan pada kasih sayang (mawaddah warrahmah).
Jika dihubungkan dengan ayat ini, maka pemukulan istri tidak dibenarkan, karena tak mencerminkan kasih sayang dan tidak berdampak ketenangan jiwa pada istri. Ayat pemukulan terhadap istri, imbuhnya, perlu ditafsirkan sebagai larangan pemukulan suami pada istri, mengingat kata “pukul-lah” menjadi langkah terakhir.
“Ayat ini mestinya bisa disimpulkan sebagai petunjuk untuk secara bertahap melarang memukul istri. Apalagi jika dihubungkan dengan QS Annisa ayat (19) yang artinya, pergaulilah istri dengan bermartabat dan jika kau benci mereka, maka siapa tahu Allah memberi banyak kebaikan pada apa yang kalian benci,” ujarnya.
Senada, Fatmawati menjelaskan, ada kekeliruan memahami ayat Alquran dan Hadist terutama ketika mengimplementasikan kehidupan rumah tangga, khususnya berkaitan dengan kebutuhan seksual. Ada Hadist yang kerap ditafsirkan sebagai ketaatan total istri pada suami, khususnya dalam urusan ranjang. “Apabila seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya dan sang istri menolak sehingga semalaman sang suami marah, maka para malaikat melaknat istri tersebut sampai pagi.” (H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim dari Abu Hurairah r.a.).
Pemenuhan hak biologis adalah hak perempuan pula, dan ketaatan suami bukan ketaatan mutlak. Sebab, dalam Hadist lain dijelaskan, “…tak ada ketaatan pada makhluk dalam melakukan kemaksiatan kepada Allah.” Menyia-nyiakan hak biologis perempuan sama saja melakukan kezaliman. Hadist ini harusnya ditafsirkan secara adil bahwa dua-duanya, lelaki dan perempuan punya hak yang sama.
“Alquran dan Hadist tak mungkin mengebiri kebutuhan biologis suami istri. Pasalnya, Allah tak mungkin menciptakan dua makhluk lalu mengabaikan lelaki dan perempuan lalu mengabaikan kebutuhan biologis keduanya. Seorang suami selayaknya memenuhi kebutuhan istri sehingga tak jadi superior dalam hubungan biologis,” ujarnya.
Pada akhirnya, kata Fatmawati, KDRT adalah kejahatan kemanusiaan, KDRT bukan urusan individu keluarga yang bersengketa, KDRT adalah tindakan kriminal.
Baca juga: Bagaimana Islam Memandang KDRT?
Lelaki Harus Terliterasi
Usman Kansong, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Kominfo berkomentar soal KDRT dalam Podcast episode 7. Ia tak menampik, para lelaki kerap menafsirkan ayat Alquran dan Hadist secara literal, tanpa memerhatikan sebab-sebab turunnya ayat (asbabun nuzul). Padahal ayat Alquran itu selalu dikategorikan dalam dua jenis, satu yang sudah jelas tafsirnya (muhtamat) dan sisanya perlu tafsir ulang (mutasyabihat).
Terkait kasus KDRT, menurutnya ini adalah praktik zaman dulu, penuh bias gender, sehingga perlu ada penafsiran baru yang lebih adil gender. “Kita selama ini membaca keberadaan Tuhan sebagai Dia yang Maha Menghukum Maha Membalas, the Father of God. Padahal ada juga sisi Tuhan sebagai the Mother of God, yang penuh kasih sayang dan cinta kasih,” tuturnya.
Artinya, kata dia, ada mindset yang terbentuk bahwa lelaki boleh melakukan apa saja termasuk kekerasan. “Sementara kita tahu, Islam itu agama cinta kasih. Kata dasarnya kata salamat, selamat, salam, menerima, pasrah. Dari situ saja sudah bertentangan suami boleh memukul istrinya. Saya kira sudah harus ada tafsir ulang,” urainya.
Masalahnya, jika bicara mindset, relatif sukar diubah apalagi jika itu terkonstruksi selama puluhan bahkan ratusan tahun. Mindset yang tertanam saat ini umumnya, yakni lelaki boleh pukul istri, lelaki harus ditaati secara total karena dia imam keluarga, urusan KDRT adalah urusan privat. Padahal sebenarnya tak demikian. Karena itulah Usman mengusulkan untuk melakukan dekonstruksi narasi utama yang patriarkal.
Baca juga: Isu Besar Bagi Muslim: Pernikahan Nabi Muhammad-Aisyah dan Poligami
Dekonstruksi artinya membongkar total narasi yang keliru, melucuti hal-hal apa saja yang tak adil gender, mana realitas yang harus diubah, lalu dicari jalan keluarnya. Dalam konteks ini, kita butuh bantuan negara.
“Negara harus hadir secara penuh. Kita tahu, dalam banyak hal regulasi pemerintah sudah cukup progresif, seperti dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Namun negara perlu memastikan tiga hal berikutnya: Penegakan hukum, mengubah mindset, dan aksi yang nyata,” ungkapnya.
Mengubah mindset sendiri, kata dia, tak cuma dalam urusan pembagian peran di ranah domestik. Pemerintah juga harus berpikir bahwa perempuan kedudukannya setara, haknya sama. Dalam rumah tangga, urusan politik, hingga merawat lingkungan. Semua lelaki, termasuk anggota parlemen karena itu, harus belajar tentang Feminisme, belajar ideologi.
“Dengan pendidikan, mindset bisa diubah. Agar tidak lagi jadi tempelan, pendidikan ideologi, termasuk Feminisme, menurut saya penting. Sehingga, kita bisa menempatkan perempuan dan lelaki setara, tapi tetap memberikan affirmative action kepada perempuan. Pasalnya, memang start perempuan belakangan. Lelaki harus tahu soal ini, harus terliterasi,” ujarnya lagi.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari