Beauty Lifestyle

Makin ‘Hairless’, Makin Superior?: Sejarah Bulu Dicoret dari Standar Kecantikan

Sejak kapan berbulu jadi musuh perempuan, dan kenapa cuma perempuan?

Avatar
  • May 12, 2023
  • 5 min read
  • 6631 Views
Makin ‘Hairless’, Makin Superior?: Sejarah Bulu Dicoret dari Standar Kecantikan

Pembahasan seputar tubuh perempuan rupanya masih dan selalu menarik perhatian karena di atasnya lah dibebankan berbagai standard kecantikan yang paling absurd sekalipun. Di tubuh perempuan lah ditempelkan berbagai stereotip dan kewajiban palsu akan makna tubuh ideal. 

Perempuan dikontentastasikan pada seberapa menarik penampilan fisiknya, dibungkus dalam slogan-slogan yang meminggirkan perempuan lain yang tidak memenuhi standar tertentu. Studi membuktikan bahwa standar kecantikan yang sering tidak masuk akal dan diyakini dalam masyarakat, berpengaruh pada tingginya angka kecemasan dan body dysmorphia yang dialami oleh jutaan perempuan di seluruh dunia. Meskipun wacana terkait pembebasan perempuan dari kungkungan standard kecantikan sudah jauh lebih banyak digaungkan dalam dua dekade ke belakang, tidak mudah untuk sepenuhnya melenyapkan anggapan tentang bagaimana rupa cantik itu.

 

 

Aku melalui jalan yang berliku untuk sampai pada penerimaan diri yang tulus. Berkali-kali aku meyakinkan diri untuk berhenti mengantre pada jalur keyakinan bahwa menjadi cantik adalah sesempit batasan-batasan yang diciptakan oleh society, masyarakat. Bertubuh langsing, kulit putih mulus dan tidak berbulu menjadi bagian dari betapa eksklusifnya perempuan cantik didefinisikan. Dan aku, tidak pernah menjadi perempuan sebagaimana dikampanyekan itu.

Baca juga: Teknologi dan Obsesi Cantik yang Problematik

Belasan tahun lalu, aku pernah sangat benci dengan warna kulitku yang cokelat. Aku juga menuruni gen ayahku yang berambut lebat. Alisku tebal, bahkan dibonusi dengan kumis yang sering dibilang mirip kumis Tukul. Rambut kakiku juga tumbuh segar dengan jarak yang tidak terlampau rapat. Meskipun dulu aku begitu ‘memuja’ perempuan yang berkulit putih, tapi aku tidak pernah membenci rambut kakiku, tidak dulu, tidak juga sekarang. Rambut kaki yang aku biarkan hidup damai tanpa pernah aku usik dengan wax, rupanya menjadi sasaran ucapan-ucapan menyakitkan dari orang lain. Aku yang awalnya tidak peduli dengan isu menjadi hairless, pada satu titik mulai menyadari bahwa hal senatural rambut kaki pun, ternyata bisa menjadi masalah karena dianggap melenceng dari ‘trah’ keperempuanan dan terasa terlalu maskulin. 

Menilik sejarah penghilangan rambut pada tubuh manusia, jauh sebelum modernitas menyerbu, bangsa-bangsa terdahulu telah melakukan praktik ini baik pada perempuan maupun laki-laki. Dalam catatan Victoria Sherrow dalam Encyclopedia of Hair: A Cultural History, sejak zaman batu, Mesir Kuno, Yunani hingga Romawi Kuno, ada berbagai macam bahan yang digunakan untuk menghilangkan rambut pada tubuh. Spesifik pada bangsa Romawi Kuno, ketiadaan rambut tubuh akan menentukan kelas sosial, semakin hairless, semakin superior kedudukannya dalam masyarakat. Namun sayangnya, tradisi yang gender neutral ini kemudian berubah secara berangsur-angsur hingga secara drastis menjadi semacam mandat khusus yang dibebankan kepada perempuan. 

Ketidaksetaraan rambut yang tumbuh di kaki laki-laki dan perempuan sebagai kontrol sosial seperti menemukan jalannya dari masa ke masa. Gagasan modern tentang rambut tubuh yang tidak feminin pernah dikemukakan oleh Charles Darwin (1871) dalam bukunya yang berjudul Descent of a Manse bagaimana dijelaskan dalam tulisan Rebecca Herzig, seorang professor Gender and Sexuality Studies di Bates College dalam tulisannya Plucked: A History of Hair Removal. Dalam teori seleksi alam, Darwin mengaitkan rambut tubuh sebagai bagian dari keturunan primitif dan dianggap sebagai bentuk yang belum berkembang. Memiliki rambut tubuh yang lebih sedikit adalah tanda modernitas dan lebih menarik secara seksual. Kepopuleran teori ini kemudian menjadikan banyak ahli medis abad 19 mengaitkan kondisi manusia berambut banyak dengan penyakit patologis, seksual inversion, kegilaan dan kriminalitas. Sayangnya, konotasi tersebut disematkan secara semena-mena, seringnya hanya pada perempuan. 

Heather Widdows, Profesor Etik Global di University of Birmingham dan penulis Perfect Me: Beauty as an Ethical Ideal mengatakan bahwa menghilangkan rambut di tubuh perempuan telah bergeser dari yang sebelumnya ‘diharapkan’ menjadi norma tidak tertulis yang seolah wajib diikuti. Keyakinan perempuan harus menjadi hairless terus menerus untuk terlihat atraktif dan dianggap layak diperhatikan, ia sebut sebagai cara heteronormatif untuk mengendalikan tubuh perempuan melalui rasa malu.

Baca juga: Bagaimana Standar Kecantikan Menghancurkan Perempuan?

Rentetan tren dan kampanye yang masif dilakukan pada dekade awal abad 20, semakin mempopulerkan tren penghilangan rambut tubuh di Amerika Serikat. Pada awal tahun 1900an, orang-orang kulit putih Amerika Serikat yang berasal dari kelas menengah dan atas, menyerukan bahwa tubuh bebas rambut adalah tanda feminitas.

Sebaliknya, tubuh yang berambut dianggap menjijikkan dan seketika memberikan stereotipe sebagai kelompok kelas bawah, pekerja kasar maupun imigran. Tahun 1915, majalah Harper’s Bazaar meluncurkan kampanye penghilangan rambut ketiak pada perempuan untuk pertama kalinya.

Masih di tahun yang sama, sebuah perusahaan cukur pria memperkenalkan produk shaving untuk perempuan dengan tagline, “memecahkan masalah pribadi yang memalukan“. Ditambah, pengenalan bikini di Amerika pada tahun 1946 juga membuat perusahaan pencukur dan konsumen perempuan fokus pada pemangkasan dan pembentukan pada rambut-rambut pubik mereka. 

Pengendalian tubuh perempuan melalui slogan-slogan yang mempermalukan rambut tubuh, membuat perempuan terpaksa tunduk dalam aturan tersebut. Keyakinan bahwa perempuan harus hairless secara terus menerus, membawa konsekuensi serius karena akan membuat batasan ‘normal’ baru tentang bagaimana tubuh perempuan ‘seharusnya’. 

Pemikiran terkait hairless kemudian ditentang oleh para feminis di Amerika ketika gelombang kedua feminis menyebar sekitar tahun 1960-1970. Bagi para feminis, rambut tubuh adalah simbol kesetaraan. Penolakan aturan pada tubuh perempuan kemudian membuka tabir gelap tentang batasan-batasan misoginis yang sekian lama diemban oleh perempuan.

Pemikiran tentang body positivism dan body neutrality yang meluas sejak 2 dekade ke belakang kemudian membuat lebih banyak perempuan memilih keluar dari aturan ketubuhan yang semu dan mulai mengapresiasi tubuhnya sendiri. Gerakan yang semakin inklusif untuk menghormati tubuh setiap orang ini membawa cahaya terang untuk keberagaman tubuh, terutama perempuan.

Beberapa public figure internasional kemudian menunjukan gerakan politisnya dengan memanjangkan rambut alami mereka baik itu di ketiak maupun tangan dan kakinya. Meskipun hujatan dan cibiran masih berdatangan, kampanye untuk mewajarkan rambut alami tubuh menjadi bukti bahwa mempermalukan tubuh orang lain semakin tidak relevan. 

Baca juga: Stop Nilai Diri dan Perempuan Lain dari Penampilan Fisik

Kalimat-kalimat jahat dan body shaming yang pernah aku terima mungkin tidak bisa aku lupakan. Tapi aku senang karena aku bisa berdamai dengan diriku, dengan seluruh rambut di tubuhku. Aku tidak perlu secara terpaksa waxing sampai menangis hanya untuk memenuhi ceklis standar kecantikan konyol karena aku bisa tentukan apa yang terbaik untuk diriku. 

Aku percaya bahwa rambut tubuh itu pilihan pribadi. Mencukurnya atau membiarkan ia tumbuh alami adalah pilihan yang valid, personal dan tidak boleh diatur oleh siapapun.



#waveforequality


Avatar
About Author

Shofia Gunawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *