Andai Kaesang Jadi Wali Kota Depok, Sebuah Curhatan Akamsi
Kami warga Depok butuh pemimpin baru yang serius membenahi kota. Apakah Kaesang sosok yang tepat?
Aku memang baru dua setengah tahun tinggal di Depok, Jawa Barat. Meski singkat, cukup buatku untuk menyimpulkan kota ini tak cukup nyaman dihuni. Selain karena cuaca panasnya yang menyerupai panas hati melihat tetangga beli perabot baru, Depok juga punya segudang masalah lain yang membuatnya super semrawut. Mulai dari ruang publik yang terbatas, macet akibat angkot ngetem, banjir, sampah, kawasan hijau terdesak gedung tinggi, dan bahaya kecemplung sungai lantaran tak ada pembatas jalan. Namun, yang paling mencolok adalah ancaman berjalan di atas trotoar yang ambyar.
Kalau enggak jadi korban catcalling, terkilir, tertabrak motor yang kerap kali melintas, ancaman buat akamsi sepertiku adalah kejedot tiang baliho. Di Depok, trotoar memang tak pernah jadi milik pengguna jalan, ia hak dari pengendara motor yang tergesa berangkat kantor dan politisi narsis yang kebelet nampang.
Sebenarnya terkait problem terakhir, sudah bukan hal aneh melihat deretan baliho politisi menjajah trotoar Depok. Apalagi di tahun Pemilu sekarang, wajah yang paling familier karena sering mejeng di TV, pewaris dinasti, pak haji, hingga yang paling asing sekali pun, turut menyumbang polusi visual Kota Belimbing ini. Mereka bilang, itu demi sosialisasi, sebab tahapan kampanye sendiri baru dimulai akhir November 2023.
Namun, terlepas dari betapa mengganggunya baliho-baliho tersebut, ada satu yang cukup menarik perhatianku sebagai warga yang melintasinya saban hari. Jika kebetulan kamu lewat etalase Depok (baca: Jalan Margonda), ada baliho besar yang berisi foto pria berkemeja putih dan membawa setangkai mawar di tangan kanan. Dia adalah Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi. Saat tulisan ini dibuat, baliho foto Kaesang sudah diganti dengan pose dia menangkupkan tangan dan pakai peci hitam. Mungkin agar lebih agamis sesuai citra Depok.
Enggak lama setelah itu, spanduk dukungan agar Kaesang maju di Pemilihan Wali Kota (Pilwakot) Depok bersusulan muncul di Jalan Siliwangi, Pancoran Mas dan Jalan Proklamasi, Sukmajaya. Tulisan “Saatnya Kota Depok dipimpin Anak Muda. Kami Mendukung Kaesang Menjadi Wali Kota Depok 2024” dicetak besar di atas spanduk berkelir merah putih itu. Tulisan lain berbunyi “PSI Menang Wali Kota Kaesang”.
Sejauh ini memang baru PSI yang memberi dukungan terang-terangan agar Kaesang maju. Namun, dengan jumlah kursi yang cuma sebiji di DPRD setempat, pencalonan Kaesang (jika diseriusi) akan relatif sulit. PSI harus memenuhi target parliamentary threshold 4 persen dari total 50 anggota. Itu berarti dia harus menambah jatah 5 kursi baru di DPRD. Belum lagi mesti melawan dominasi the one and only penguasa dua dekade Depok: Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang memborong 12 kursi DPRD dan menempatkan kadernya sebagai Wali Kota.
Melihat keterbatasan ini, Ketua DPR RI yang juga pengurus DPP PDI Perjuangan Puan Maharani memberi lampu hijau. “Untuk Mas Kaesang, boleh juga ya masuk Depok,” ujar Puan kepada Kompas, (6/6). Jika PDIP yang punya jatah 10 kursi dan PSI duet, maka Kaesang baru bisa sah untuk dicalonkan.
Masih calon lho ya. Belum tentu mau, belum tentu menang. Sebab Kaesang sendiri belum memberikan respons yang tegas: Mengiyakan atau menolak. Kaesang juga tak memutuskan akan bergabung dengan PDIP, seperti halnya kakak lelaki dan saudara iparnya. Sejauh ini ia masih jualan pisang, tapi dalam pernyataannya kepada media yang sama, tampaknya ia menunjukkan ketertarikan. “Dukung (pencalonan dirinya oleh PSI). Foto (baliho)nya dari saya. Saya sudah suplai foto-fotonya.”
Baca juga: Penggembira, Selebriti Cantik: Faktor Perempuan dalam Pemilu
Apa Motif Kaesang
Sebenarnya wacana pencalonan Kaesang di Pilwakot Depok adalah hal yang relatif wajar. Pertama, Kaesang adalah bagian dari dinasti. Sehingga, bakal lebih mulus jalannya ketimbang mereka yang berlaga tanpa bekingan keluarga penguasa. Ayahnya adalah orang nomor satu di Indonesia, kakak lelakinya Wali Kota Solo, abang iparnya jadi Wali Kota Medan, paman iparnya Ketua Mahkamah Konstitusi. Kalau pun Kaesang denial ini tak akan berimbas pada pencalonannya, para pemikir politik dengan senang hati membantahnya.
Pablo Querubin dalam risetnya “Family and Politics: Dynastic Persistence in the Philippines” (2016) menjelaskan apa itu dinasti politik. Menurutnya, dinasti politik merujuk pada keluarga yang anggotanya memegang kekuasaan lebih dari satu generasi. Dalam sejarah, kita melihat banyak contoh fenomena dinasti politik, seperti Kennedy dan Bush di Amerika Serikat, Aquino dan Ortega di Filipina, hingga Gandhi di India.
Sementara di Indonesia, praktik dinasti politik dan politik dinasti juga tersebar di berbagai wilayah. Menurut catatan riset Nagara Institute, lembaga kajian politik, demokrasi, dan kenegaraan (2020), sebanyak 99 dari 575 anggota DPR RI periode 2019-2024 terhubung dengan dinasti politik. Sementara, dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 tercatat, 57 calon kepala daerah yang berasal dari dinasti politik petahana menang. Terbanyak ada Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten.
Kenapa dinasti politik memengaruhi keputusan orang untuk mencalonkan diri? Sebab, sadar atau tak disadari, mereka yang terhubung dengan dinasti politik punya modal yang besar untuk “membeli” kekuasaan. Memang berkompetisi di Pemilu adalah hak politik warga negara, tak ada yang salah soal itu. Kaesang tentu juga enggak bisa memilih dilahirkan dari keluarga pejabat politik. Yang salah adalah ketika penguasa menggunakan kekuasaannya, modal sosial dan politik, mengerahkan semua sumber daya untuk memenangkan anggota kerabatnya.
Jika diteruskan, ini enggak cuma membahayakan demokrasi tapi juga membuka kans besar buat praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sebab, salah satu ciri khas dinasti politik dan politik dinasti adalah kekuasaan yang terpusat. Sudah hukum alam jika kekuasan terpusat cenderung absolut, dan yang absolut biasanya korup.
Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2017 menyebutkan, enam kepala daerah yang korupsi, berkaitan dengan dinasti politik di daerahnya. Misalnya, kasus Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Banten 2007-2017; Sri Hartini, Bupati Klaten 2016-2021; Atty Suharti Wali Kota Cimahi 2012-2017; Yan Anton Ferdian, Bupati Banyuasin 2013- 2018; Syaukani Hasan Rais, Bupati Kutai Kartanegara 1999-2010; dan Fuad Amin, Bupati Bangkalan 2003-2012.
Tentu saja aku enggak bilang jika seorang Kaesang maju, lalu akan otomatis jadi koruptor. Namun, pencalonan dia, sekali lagi jika jadi, bakal membuat posisinya yang dikelilingi privilese, rentan melakukan itu.
Kedua, alasan kenapa Kaesang wajar mencalonkan diri karena Depok sudah terlalu lama dipimpin PKS. Empat kali periode, PKS selalu sukses menggolkan wali kotanya. Namun, kesuksesan itu tak sejalan dengan kepiawaian mereka menjalankan pemerintahan. Dua puluh tahun Depok masih tersandera masalah yang sama seperti yang aku jelaskan di awal tulisan. Kalau pun ada pembangunan, mayoritas terpusat di Jalan Margonda. Padahal Depok bukan cuma Margonda, masih ada Citayam, Sawangan, Tapos, Cimanggis, dan daerah lain yang butuh uluran.
Dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2015 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Depok 2012-2032 dijelaskan arah pembangunan kota dengan jelas. Ada pembangunan ruang terbuka hijau, jalur sepeda, peremajaan transportasi kota, tapi sebagai akamsi yang tiap hari wara-wiri membelah jalanan Depok, aku belum melihat ada pembangunan yang konkret, berjalan di kota.
Baca juga: Ada Apa dengan Depok dan LGBT?
Menakar Peluang Kemenangan
Pertanyaannya, anggap saja Kaesang serius membenahi Depok, apakah ia masih punya peluang kemenangan? Aku ngobrol dengan dua pengamat politik, Dosen Fisip Universitas Warmadewa Bali Anastacia Patricia dan Abdul Rahman Ma’mun dari Universitas Paramadina. Mereka punya pendapat berbeda.
Anastacia bilang, dimana saja Kaesang berlaga, besar kemungkinan dia bakal menang. “ Kalau dia ikut kontestasi 2024, peluang menangnya tinggi. Sebab, Indonesia kekurangan tokoh politik muda yang segar. Segar di sini ya well communicated di berbagai platform media, dan Kaesang jago komunikasi di Twitter serta instagram,” ungkapnya pada Magdalene.
Apalagi pemilih Indonesia pada 2024 nanti akan dikuasai oleh pemilih muda sebesar kurang lebih 60 persen, dan nama Kaesang cukup populer di antara pemilih pemula. “Sekarang tergantung Kaesang. PSI sudah mengirim sinyal yang jelas untuk mendukung, tapi sepertinya Kaesang belum ambil keputusan. Padahal potensi Kaesang untuk terpilih sama besarnya seperti Gibran dan Bobby di Pilkada,” imbuhnya.
Di Solo, tempat kakaknya memimpin, nama Kaesang menduduki lima besar kandidat kuat wali kota berikutnya. Survei Prodi Magister Administrasi Publik (MAP) Universitas Slamet Riyadi (Unisri) Solo yang mewawancarai 560 responden menyimpulkan, Kaesang ada di urutan kedua setelah Wakil Wali Kota Teguh Prakosa.
Solo memang daerah kekuasaan dinasti Jokowi, sekaligus kandang besar Partai Banteng. Namun, mari tarik tempat kontestasi ke area Depok. Aman berkomentar, agak berat buat Kaesang bisa memenangkan Pilwalkot Depok. “Solo itu nature-nya memang dominan PDI Perjuangan. Sementara di Depok, haruslah orang yang ketokohannya cukup kuat yang bisa jadi pemimpin. Harus orang yang mengakar,” ucap pria yang juga warga Depok tersebut.
Ia menambahkan, ada dua PR yang harus dikerjakan Kaesang. Pertama, ia harus mampu membangun ketokohannya agar diperhitungkan oleh warga Depok. Kedua, tim di lapangan harus bekerja ekstra keras untuk menunjukkan bahwa ia mampu melakukan perubahan yang progresif.
Baca juga: Memoar Depok di Mata Saya: Enggan Kembali Meski Banyak Memori
Apa yang Sebenarnya Dibutuhkan Warga Depok
Maju atau tidak, menang atau tidak, tak peduli siapa pun pemimpin Depok, akamsi sepertiku punya pandangan yang cenderung pragmatis. Masalahnya, orang-orang pragmatis yang justru dari kelompok menengah dan melek politik itu biasanya memang abai dengan Pilwalkot Depok. Aku pun cuma menjadikan Depok sebagai tempat tidur atau sesekali nongkrong di Margonda City. Kehidupan kami lebih banyak berputar di Jakarta: Sekolah, kerja, cari uang di Jakarta. Sebab, kami putus asa setelah melihat rekam sejarah kepemimpinan Depok selama empat periode, nyatanya pembangunan kota masih begitu-begitu saja.
“Sementara, mereka yang peduli, mayoritas adalah warga asli Betawi, sebagian Sunda yang senang jika ada yang ngopeni mereka. Enggak heran jika PKS secara elektoral selalu dapat banyak suara. Karena cuma PKS yang ngopeni orang-orang bawah di kampung-kampung itu. Berbeda dengan partai atau elit politisi lainnya,” tutur Aman.
Masalahnya definisi ngopeni atau merawat warga itu tak berjalan optimal, setidaknya jika menengok pembangunan kota yang masih terpusat di Margonda dan abai pada daerah lainnya. Lalu apa yang sebenarnya dibutuhkan warga Depok tanpa kecuali?
Harus ada perubahan yang sangat mendasar, siapa saja yang jadi pemimpinnya, entah Kaesang, orang PKS lagi, atau politisi opera sabun sekali pun. Menurut Aman, pemimpin baru ini harus punya visi yang jelas untuk Depok. Sebagai kota penyangga, Depok harus bisa berkaca dari pembangunan Jakarta.
“Secara psikologis, warga menengah Depok ini kan Jakarta by heart. Mereka mendambakan pembangunan infrastruktur dan tata kota yang layak, jelas. Kalau itu dipenuhi, dengan segala keterbatasannya, pasti akan memperoleh dukungan atau minimal (kelas menengah) ini merasa memiliki Depok,” ujarnya pada Magdalene.
“Dan sebagaimana tempat lainnya, perubahan harus didorong dari kelas menengah Depok dulu. Kalau kelas menengah mulai mikirin, enggak pragmatis lagi, mungkin enggak akan sulit melakukan perubahan,” ucap Aman.
Baca juga: Depok dan Perda Anti-LGBT yang Salah Kaprah
Perubahannya seperti apa? Ini termasuk melakukan pembangunan secara merata sampai ke kampung-kampung. Membangun jalan beton lengkap dengan drainase yang memadai. Membangun trotoar, bukannya menghancurkannya dengan polusi visual wajah-wajah mereka, atau membentangkan karpet merah untuk pengemudi motor.
“Mengembangkan asymmetric policy untuk anggaran juga penting. Setiap wali kota yang memimpin Depok selalu berdalih enggak punya anggaran pembangunan. RTRW sudah bagus, tapi selalu mentok di duit,” ujarnya.
Ia mencontohkan pelebaran jalan di sepanjang Tole Iskandar ke arah Jalan Raya Bogor, yang selalu tertunda. “Dalihnya enggak boleh pinjam dana pemerintah pusat, di sana banyak pabrik tapi pajak lari ke Jakarta. Baru kali ini kembali ke kota. Namun, buatku itu bukan alasan. Pemimpin Depok harus bisa gaul. Asymmetric policy artinya ia bisa luwes mengelola keuangan, tak harus korupsi atau bergantung ke pusat dan korporasi. Wali kota bisa saja berkolaborasi dengan pemimpin tetangga dari Bekasi, Tangerang, Bogor. Jangan karena sudah langganan menang, lalu enggak mau gaul dengan pemimpin daerah lain dan mengambil manfaat,” tukasnya.
Pertanyaannya, Kaesang segaul itu enggak? Gaul di Depok enggak sama dengan sibuk bikin konten Podcast, nge-gym, atau bikin twit di Twitter. Ia harus mau terjun langsung, belanja masalah nyata di lapangan seperti apa, komitmen ngopeni seluruh warga tanpa kecuali, dan bisa mengelola kota dengan saksama.