Depok dan Perda Anti-LGBT yang Salah Kaprah
Rancangan Perda Anti-LGBT di Depok menunjukkan pentingnya pengarusutamaan gender di kalangan aparatur dan institusi negara.
Pemerintah Depok baru-baru ini mengeluarkan Rancangan Peraturan Daerah (Perda) Anti Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) yang sebelumnya didahului Surat Instruksi Wali Kota Depok Nomor 2 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Penguatan Ketahanan Keluarga terhadap Perilaku Menyimpang Seksual. Peraturan ini kini tengah didesak oleh sejumlah politisi, terutama politisi dari Fraksi Partai Gerindra di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Depok agar segera disahkan.
Aturan ini menunjukkan gagapnya pemerintah dalam menghadapi isu dalam masyarakat sehingga memunculkan kebijakan (atau ketidakbijakan) yang mengabaikan ragam gender.
Pengesahan rancangan peraturan tersebut hanya akan melanggengkan kekerasan yang selama ini kerap menimpa kelompok LGBT. Pemerintah Kota Depok akan menyediakan jalan bagi diskriminasi terhadap LGBT secara struktural. Orang-orang LGBT akan menghadapi keterbatasan dan akan kesulitan mengakses pelayanan dan ruang publik, seperti implementasi surat instruksi sebelumnya, sehingga hak partisipasi dalam pemerintahan dan pembangunan yang dimiliki para LGBT sebagai warga negara direnggut.
Kelompok-kelompok yang kerap kali menggunakan kekerasan pun akan mendapatkan justifikasi melakukan kekerasan dan aksi main hakim sendiri terhadap kelompok LGBT jika peraturan tersebut disahkan. Selain itu, masyarakat secara luas akan mendapat peneguhan atas alienasi yang selama ini dilakukan kepada LGBT.
Peraturan seperti ini bukan membawa pada kemaslahatan umum, tapi membawa bahaya bagi pihak yang dibatasi dalam peraturan yang disusun. Padahal hal pertama yang seharusnya menjadi perhatian pemerintah ketika menyusun peraturan adalah kondisi dan dampak yang diterima pihak yang diatur.
Baca juga: Kasus Polisi Gay: Ketika Maskulinitas Aparat Terluka
Pengarusutamaan gender
Secara kultural, masyarakat masih salah paham terhadap LGBT dan menganggapnya sebagai perilaku yang menyimpang. LGBT dianggap lain karena tidak mengikuti peran gender yang ditetapkan oleh masyarakat, yaitu sejumlah sifat yang melekat pada individu yang sesuai dengan jenis kelamin secara biologis – perempuan bersikap feminin serta laki-laki harus maskulin – dan norma heteroseksual atau orientasi seksual terhadap lawan jenis. Padahal manusia lebih kompleks dari penyederhanaan tersebut. Jenis kelamin dan orientasi seksual tidak lantas berkaitan satu sama lain, begitu pula identitas dan ekspresi gender yang dimiliki.
Sialnya, pihak yang bertindak sebagai pembuat kebijakan mengadopsi pemikiran tersebut ke dalam struktur pemerintahan. Dalih yang digunakan untuk membuat peraturan yang menyudutkan LGBT adalah terganggunya ketertiban umum. Tentu saja dalih ini tidak kuat karena tidak jelas bentuk ketertiban umum yang diganggu oleh orientasi seksual yang merupakan urusan pribadi. Selain itu, bukankah LGBT sebagai pihak yang dibatasi dengan adanya rancangan peraturan tersebut juga bagian dari “umum” atau publik?
Kurangnya pemahaman mengenai gender di kalangan aparatur dan institusi negara, baik nasional maupun daerah, berdampak pada sejumlah tindakan yang tidak bijak sehingga sulit disebut sebagai kebijakan. Ketidakadilan, pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dan semakin langgengnya ketimpangan gender menjadi argumen yang menguatkan betapa tidak bijaknya tindakan yang diambil.
Pengetahuan mengenai gender ini perlu diarusutamakan atau dijadikan arus utama, terlebih bagi para pembuat peraturan dan kebijakan yang mengatur hajat hidup banyak orang, agar pengetahuan ini mendatangkan manfaat yang lebih luas.
Penggunaan perspektif gender sebagai salah satu landasan bertindak merupakan makna dari pengarusutamaan gender. Upaya ini perlu dilakukan dalam pemerintahan sebagai langkah awal menciptakan pemerintahan yang inklusif. Pengetahuan mengenai ragam gender yang tidak hitam putih dapat memperluas khazanah para penyusun kebijakan agar tidak serta merta mengecualikan individu menggunakan parameter yang terbatas dan biner. Pengetahuan ini pun dapat dijadikan jalan untuk melihat dan mengeliminasi ketimpangan yang tercipta akibat cara pandang biner yang memosisikan satu pihak berkuasa dan pihak lain dikuasai dalam diskursus publik.
Misi pengarusutamaan gender yang menekankan kesetaraan pada setiap individu dengan beragam jenis seksualitas, orientasi, identitas, dan ekspresi dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara perlu diamini. Tidak hanya itu, pengarusutamaan gender di dalam institusi pemerintahan menginginkan diakhirinya kedangkalan pemerintah dalam memandang publik sebagai individu-individu yang hanya dapat dinilai dari pelekatan gender pada dirinya.
Langkah pembatasan dan perlawanan terhadap LGBT bukanlah solusi untuk menciptakan ketertiban umum. Yang diperlukan adalah penarikan narasi LGBT sebagai ancaman.
Jika saja Pemerintah Kota Depok serta jajaran pemerintah di daerah lain maupun nasional yang telah dan berniat menyusun Perda serupa mengadopsi pengarusutamaan gender, perhatian terhadap publik dapat dialihkan lebih konstruktif daripada memperhatikan urusan pribadi warga yang tidak berkaitan langsung dengan urusan publik.
Ketertiban umum, sebagaimana tujuan yang ingin dicapai melalui penyusunan Perda tersebut dapat berada di dalam genggaman jika pemerintah berhenti membangun narasi LGBT sebagai masalah dan penyimpangan sosial. Narasi tersebut yang selalu direproduksi akan menguatkan rasa terancam atas kehadiran LGBT dan menciptakan ketakutan tersendiri di masyarakat.
Anggapan bahwa ketertiban publik terganggu merupakan hasil dari ketakutan mengenai ancaman LGBT yang dibangun oleh asumsi-asumsi negatif dalam penarasian LGBT. Oleh karena itu, peleburan ancaman dapat mengembalikan relasi sosial antar masyarakat agar tidak antagonistis dan rentan gesekan karena memandang pihak lain sebagai lawan yang mengancam sehingga ketertiban yang diinginkan dapat dicapai.
Langkah pembatasan dan perlawanan terhadap LGBT bukanlah solusi untuk menciptakan ketertiban umum. Yang diperlukan adalah penarikan narasi LGBT sebagai ancaman. Dalam hal ini pemerintah sebagai otoritas di masyarakat harus mengambil peran, setidaknya tidak ikut mereproduksi narasi yang ada.
Selain itu, energi yang diinvestasikan pemerintah untuk mengecualikan LGBT cenderung kontraproduktif. Pemerintah hanya melihat dimensi orientasi seksual warganya sebagai jalan untuk menegasikan eksistensi mereka di ruang publik. Padahal LGBT juga memiliki potensi untuk membangun dan memajukan daerah jika dilihat dari dimensi identitasnya yang lain, seperti identitas profesi. Seharusnya pemerintah memberikan ruang bagi mereka untuk berkolaborasi bersama untuk memaksimalkan potensi, sebab akan sulit menarik warga yang berpotensi untuk turut berpartisipasi dalam pembangunan dan pemajuan daerah jika sejak awal eksistensinya ditekan.