Issues Opini Safe Space

Setahun Setelah UU TPKS, Nestapa Penyintas Masih Berlanjut

Meski sudah berumur setahun, UU ini tak cukup memastikan ada ruang aman untuk para perempuan yang jadi penyintas kekerasan.

Avatar
  • July 5, 2023
  • 6 min read
  • 2373 Views
Setahun Setelah UU TPKS, Nestapa Penyintas Masih Berlanjut

Peringatan Pemicu: Cerita Pemerkosaan

Perempuan Tuli itu diperkosa pamannya yang telah berusia 77 tahun di sebuah desa sepi, bibir Danau Toba. Pemerkosaan yang dilakukan dua minggu lalu itu dipergoki kerabat yang terusik oleh suara berisik. 

 

 

Begitu mendapat laporan, tetua keluarga pun mengonfirmasi. Penyintas, usianya kepala 3, mengakui dirinya telah diperkosa. Dengan bahasa isyarat, ia bilang pemerkosaan itu yang kedua kali. Ia tak berani buka mulut karena diancam akan dihabisi. 

Pelaku yang rumahnya berhadapan dengan penyintas, dipanggil. Setelah sempat berkelit, pria bercucu ini mengakui perbuatannya. Seperti sebelumnya saat ia ketahuan selingkuh dengan istri keponakan dan perempuan bersuami lainnya, ia minta maaf.

Maaf tentu tak cukup. Keluarga besar akhirnya membuat kesepakatan. Atas nama kewibawaan keluarga, kasus ini mesti ditutup rapat. Lalu akan ditunggu perkembangan apakah penyintas nanti hamil atau tidak. Jika ternyata berbadan dua, pelaku harus bertanggung jawab termasuk dalam biaya persalinan dan yang lain. Soal teknis akan dibahas selanjutnya.  

Pelaku dan penyintas (diwakili paman kandungnya) bersepakat. Surat perjanjian bermaterai lantas mereka teken di hadapan peserta rapat keluarga. 

Selepas kejadian itu, seolah-olah tak ada yang berubah pada diri pelaku. Ia masih berkegiatan seperti biasa, termasuk menghadiri prosesi adat (perkawinan, kematian, dan yang lain). Adapun korban, ia bermuram durja dan lebih banyak berdiam di rumah. Ironis, juga tak adil. Penyintas dipaksa tak berdaya atas nama kehormatan keluarga. Bukan tak mungkin, perempuan yatim piatu itu bakal disuruh menelan pil aborsi yang tak aman, jika memang betulan hamil.

Perkosaan ‘incest’—pelaku dan korban berkerabat dekat—jamak di  negeri kita. Sampai hari ini, perkara banyak yang diselesaikan ‘secara kekeluargaan’ atau berakhir damai. Di negeri kita ini nama baik keluarga masih bisa menjadi celah bagi para penjahat kelamin untuk meloloskan diri dari jerat hukum. 

Baca juga: UU TPKS Sudah Sah, Apa Tantangan Selanjutnya?

Penerapan UU TPKS

Tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) relatif masih saja jamak di Indonesia. Sesuatu yang mudah dimengerti sebab meski sebentar lagi akan berusia 78 tahun, Indonesia masih tetap berwajah agraris-feodal; Penampakannya saja yang modern.  

Kekerasan seksual itu aneka jenisnya, mulai dari pelecehan ringan hingga perkosaan yang diwarnai penganiayaan serta perbudakan seksual. Korbannya? Kebanyakan perempuan. Pelaku utama biasanya para lelaki yang lebih berkuasa. Suami, pacar, atasan, dosen, guru, tentara, polisi, dan sejenisnya. Bisa juga kerabat sendiri , termasuk ayah (kandung, tiri, atau angkat), saudara laki-laki, paman, atau sepupu. 

Sebagai gambaran betapa gentingnya keadaan, ada baiknya kita cermati data dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Lembaga ini menyebut,  pada periode 2001-2012 setidaknya 3 perempuan jadi korban kekerasan seksual saban hari. Dari 4.336 kasus di 2012, misalnya, perkosaan dan pencabulan ada 37,36 persen  (1.620 kasus). 

Pada 2013 angka kasus kekerasan seksual naik menjadi 5.629 kasus. Dalam setiap 3 jam sedikitnya ada 2 perempuan yang menjadi korban. Kisaran usia korban 13-18 tahun dan 25-40 tahun. 

Di 2021, Komnas Perempuan menerima pengaduan 2.204 kasus kekerasan seksual berupa perkosaan dan pencabulan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual, pemaksaan aborsi, dan pemaksaan kontrasepsi. Tempat kejadian termasuk di kampus dan pesantren. Pelakunya dosen, mahasiswa senior, dan ustaz. Tentu saja di lembaga pendidikan lainnya yang sama-sama berbasis teologi (termasuk di sekolah pendeta) kejahatan serupa pun  terjadi.

Data dari Komnas Perempuan ini pastilah serupa puncak gunung es. Artinya, ini tak mencerminkan realitas sebenarnya, sementara di luar sana masih banyak yang tak mengadu. Mereka memilih diam. Ada yang takut, ada pula yang bingung harus mengadu kemana. 

Baca juga: Tok! RUU TPKS Sah Jadi Undang-undang: Momen Bersejarah Bangsa

Dalam kekerasan seksual  ‘incest’ , umpamanya, kemungkinan kasus akan ditutup-tutupi kian besar. Tujuannya basi, yakni untuk menjaga ‘harkat dan martabat’  keluarga. Dengan macam-macam cara—termasuk suap, ancaman, intimidasi, dan siksaan—korban akan dipaksa bungkam. Kisah di atas tadi contohnya. 

Korban kekerasan seksual di tempat kerja, pesantren, gereja bisa juga memilih diam demi nama institusi. 

Penyebabnya sekali lagi, karena dalam banyak kasus perkosaan, alih-alih dibela dan dilindungi korban justru direviktimisasi. Merekalah yang dituduh sebagai biang kerok. Tidak menutupi aurat, genit, atau menggoda, sehingga pelaku kemudian terangsang. Ada kalanya korban yang merupakan penyandang disabilitas pun dituding demikian. 

Korban yang kemudian memutuskan untuk menuntut keadilan, menemui sejumlah kendala. Umumnya mereka orang miskin, buta hukum, dan atau bermukim di tempat yang jauh dari kota. Mereka tidak tahu harus menempuh jalur apa dan tak punya dana. Kalau pun sudah tahu jalurnya, banyak yang terlambat bertindak.

Bisa jadi saat mereka melaporkan kasus, tidak ada lagi jejak kekerasan seksual yang tersisa di alat kelaminnya: Luka sobek atau cairan sperma. Padahal itu merupakan bukti penting bagi penyidik. Seharusnya memang visum et repertum langsung dilakukan seusai kejadian. Masalahnya, terutama bagi kaum jelata, bagaimana proses untuk melakukannya dan dari mana pula biaya untuk menjalaninya. 

Bila tim penyidik tak menemukan jejak kekerasan seksual di alat kelamin korban, sangat mungkin kasus tak akan lanjut atau di-SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan). Seolah-olah penderitaan penyintas diinvalidasi. Tak heran jika beberapa di antara mereka sampai menderita post-traumatic disorder. Ini jelas petaka.

Sementara, korban yang sadar hukum karena memang terdidik dan mampu secara ekonomis, bisa jadi tak segera melapor ke otoritas terkait dan menjalani visum et repertum. Malu atau tak sudi jika aib sampai diketahui orang lain kemungkinan jadi penyebabnya. Dalam kasus Putri Candrawathi misalnya, ia tak langsung melaporkan kekerasan yang dialaminya di rumah Magelang. Istri Ferdy Sambo itu sedang menunggu hasil kasasi setelah divonis hukuman penjara 20 tahun. 

Baca juga: Masa Depan RUU TPKS: Jokowi Dukung, Puan Masih Maju-Mundur?

UU TPKS Menjamin Hak Korban, tapi itu Belum Cukup

Setelah pemberlakuan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), sebenarnya secara teoritis ruang gerak bagi para korban kian lapang. Salah satu pasal bahkan memastikan suara korban mesti didengar oleh siapa saja, termasuk otoritas yang menangani kasus. 

Pada Pasal 21 ayat (1) dinyatakan: “Penyidik,  penuntut umum, dan hakim yang menangani perkara tindak pidana kekerasan seksual harus memenuhi persyaratan (a) memiliki integritas dan kompetensi tentang penanganan perkara yang berperspektif hak asasi manusia dan korban dan (b) telah mengikuti pelatihan terkait penanganan perkara tindak pidana kekerasan seksual.”

Lantas,  di Pasal 22 ditegaskan: “Penyidik penuntut umum dan hakim melakukan pemeriksaan terhadap saksi/ korban/ tersangka/ terdakwa dengan tetap menjunjung tinggi hak asasi manusia,  kehormatan, martabat tanpa intimidasi dan tidak menjustifikasi kesalahan, tidak melakukan viktimisasi atas cara hidup yang termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau yang menimbulkan trauma bagi korban atau yang tidak berhubungan dengan tindak pidana kekerasan seksual.” 

Sedangkan di Pasal 23 disebutkan: “Perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam undang-undang.”

Pasal-pasal itu membuktikan UU TPKS sudah sangat maju. Namun, usianya yang baru setahun membuat banyak kalangan termasuk penegak hukum belum benar-benar memahaminya. Seperti kata hakim perempuan yang juga anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Albertina Ho, masih perlu banyak waktu untuk mensosialisasikannya. Yang tak kalah penting UU itu harus mendidik semua stake holders.

Bagaimana memastikan UU TPKS dan turunannya nanti (sejauh ini belum ada) dijalankan dengan baik, butuh pengawalan ketat, kata pegiat Jaringan Gusdurian Alissa Wahid. Siapa saja yang harus mengawal, kita semua, termasuk kamu yang sekarang sedang membaca artikel ini. Jangan sampai luka batin dan fisik penyintas kekerasan terus tinggal. Mari beri mereka harapan.

Rin Hindryati dan P. Hasudungan Sirait berlatar jurnalis, kedua penulis sedang giat melakukan penelitian ihwal tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia.



#waveforequality


Avatar
About Author

Rin Hindryati and P Hasudungan Sirait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *