Health Issues Lifestyle Opini

Antara Annie Ernaux dan Perjuangan Saya Mencari Aborsi Aman

Akses aborsi aman dan legal akan membantu banyak perempuan melanjutkan hidupnya. Ini cerita saya melakukan aborsi di luar negeri.

Avatar
  • July 7, 2023
  • 8 min read
  • 1609 Views
Antara Annie Ernaux dan Perjuangan Saya Mencari Aborsi Aman

Peringatan Pemicu: Cerita aborsi yang mungkin membuat kurang nyaman.

Mata saya menyapu ruangan klinik kandungan pagi itu. Ada dinding putih dengan lukisan teratai merah jambu yang bergantung di sana. Ada beberapa perempuan yang sama-sama menunggu giliran dipanggil. Giliran saya maju belum tiba. Karena itulah saya menghabiskan waktu dengan membaca.

 

 

Saya mengambil buku peraih Nobel Sastra 2022 berjudul “The Happening”, karya Annie Ernaux. Ketika membelinya, saya bangga akhirnya ada penulis perempuan yang mengisahkan pengalaman perempuan dan memenangkan Nobel Sastra. Terlebih setelah sekian lama penghargaan itu didominasi oleh lelaki berlatar penutur asli Bahasa Inggris.

Beberapa bulan setelah suka cita kemenangan Ernaux, saya menyadari pengalamannya turut saya rasakan hari ini: Melakukan aborsi.

Ernaux pernah bilang, “As was often the case, you couldn’t tell whether abortion was banned because it was wrong or wrong because it was banned. People judged according to law, they didn’t judge the law (Seperti yang sering terjadi, kita tidak bisa mengatakan aborsi dilarang karena itu adalah tindakan yang salah atau (aborsi) salah karena dilarang. Orang-orang cenderung memutuskan benar-salah menurut hukum tanpa mempertanyakan kebenaran hukum itu sendiri).”

Baca juga: 4 Alasan Kenapa Aborsi Aman dan Legal Diperlukan

Di Klinik Aborsi

Buku “The Happening” sudah mulai saya baca ketika dikabarkan berbadan dua oleh dokter di Jerman, tempat saya tinggal. Itu adalah penulisan ulang buku harian atau jurnal Annie Ernaux, seorang perempuan Prancis. Tulisan-tulisannya lebih banyak mengangkat pengalaman perempuan, termasuk pengalaman dirinya sendiri berhubungan dengan orang tua.

Semua ditulis dalam Bahasa Prancis. Agak janggal ketika Nobel Sastra memenangkan ‘The Happening’, mengingat biasanya karya yang menang adalah fiksi bukan realitas. Sementara, Ernaux mendasarkan bukunya pada realitas yang dialami perempuan yang melakukan aborsi ilegal di Prancis pada 1963.

Kini, hampir seluruh negara Eropa Barat sudah melegalkan aborsi. Begitu juga, ketika dokter kandungan menyatakan saya hamil, ia memberikan pilihan apakah mau melanjutkan atau menghentikan kandungan. Dengan mantap saya bilang mau aborsi secepatnya.

Membandingkan apa yang terjadi pada Annie Ernaux 60 tahun silam, membuat saya merasa beruntung atas perjuangan feminis di dunia. Berkat mereka, para perempuan di sini berhak menentukan nasib tubuh dan hidupnya.

Masalahnya, tak semua orang seberuntung saya. Buat sebagian orang, aborsi masih dianggap sebagai pembunuhan dan membunuh adalah tindakan yang salah. Mereka berpandangan, zigot tidak bisa hidup tanpa inangnya. Mereka juga menolak perempuan dan tubuhnya adalah medium supaya zigot bisa berkembang. Padahal zigot bahkan belum jadi manusia, sementara perempuan yang dihinggapi zigot sudah punya kehidupan. Sebagian perempuan cuma mau melanjutkan hidup tanpa kehamilan.

Baca juga: Di Indonesia, Aborsi Bukan Sebuah Pilihan

Feminisme dan Perjuangan Hak Aborsi

Perjuangan untuk menuntut praktik penghentian kehamilan dimulai oleh feminis gelombang kedua. Kira-kira sekitar 1960-an, atau di abad yang sama ketika Annie Ernaux melakukan praktik aborsi. Gerakan ini berangkat dari kesadaran perempuan atas hak tubuh dan akses kesehatan reproduksi. Kata kuncinya sederhana: Tubuh perempuan adalah miliknya sendiri.

Di tahun-tahun itu, gerakan feminisme bangkit kembali dan menuntut praktik kesehatan yang belum berpihak kepada perempuan, termasuk penghentian kehamilan atau pengendalian kesuburan.

Di Inggris, Stella Browne dan kawan-kawannya menuntut hak perempuan untuk menghentikan kehamilan sejak 1936 melalui Abortion Law Reform Association (ALRA). Kampanye ALRA ini baru berhasil tiga puluh tahun setelahnya ketika Perang Dunia II berakhir dan Inggris merilis Abortion Act di 1967.

Sementara pada dekade yang sama di Chicago, Amerika Serikat, pengabaian atas hak aborsi membuat para perempuan membangun klinik aborsi sendiri bernama JANE Collective atau Abortion Counseling Service of Women’s Liberation.

Di Jerman, pengakuan atas aborsi diresmikan pada 1972 menyusul negara Prancis pada 18 Januari 1975 melalui Abortion in Law 75-17.

Pentingnya legalitas aborsi ini menurut pengalaman Ernaux, terjadi karena pemerintah dan masyarakat masih menganggapnya sebagai hal tabu. Ia sendiri merasakan langsung betapa susahnya mencari bantuan kala itu. Kesana kemari sendirian mencari informasi tentang tempat yang legal untuk melakukan aborsi, namun justru ditolak oleh dokter. Calon dokter yang ia percaya pun tak membantu banyak, melainkan justru membuat kehamilannya berlanjut.

Akhirnya, ia berakhir di ruang tamu perempuan imigran yang membantu menghentikan kehamilannya. Caranya dengan memasukan sejenis jarum operasi ke dalam rahim Ernaux. Tindakan ini sangat berbahaya, tetapi ia merasa sudah di ujung tanduk. Pilihannya hanya ada dua: Kematian janin dan melanjutkan hidup atau zigot hidup tapi sang inang kehilangan seluruh hidup yang pernah ia punya.

Akibatnya tindakan aborsi berbahaya ini, Annie Ernaux mengalami pendarahan hebat di toilet asrama kampus seminggu setelahnya. Ia nyaris meninggal dunia. Dia tidak menyalahkan perempuan imigran yang dia sebut sebagai madame P-R, karena sosok itu adalah satu-satunya yang membantu mengakhiri kehamilannya. Bahkan di saat semua dokter, bahkan calon dokter dan perawat menolak.

Dalam “The Happening”, ia juga mencoba membayangkan berapa banyak perempuan lain, yang datang dari kelas pekerja mendapat perlakuan tidak layak oleh tenaga medis. Ia menyorot bagaimana dokter memperlakukan perempuan kelas pekerja dan perempuan yang belajar di universitas berbeda. Seakan-akan perempuan kelas bawah tidak berhak memiliki tubuhnya sendiri.

Saya membandingkannya dengan posisi saya yang hendak melakukan aborsi. Karena tinggal di negara yang melegalkan aborsi, saya diberikan informasi langsung oleh dokter kandungan. Walaupun dokter tersebut tidak bisa melakukan praktik aborsi seperti yang saya inginkan, ia tetap merujuk saya ke klinik yang lain. Di klinik rujukan ini saya berada sekarang.

Saya membayangkan bagaimana tenaga kesehatan sengaja menjebak dan menyusahkan perempuan yang hendak menghentikan kehamilannya karena alasan melanggar hukum. Ancaman hukuman bagi petugas medis membuat banyak perempuan lari ke praktik aborsi tidak aman, seperti memasukan jarum operasi ke dalam rahim atau praktik lainnya.

Baca juga: Hak Aborsi yang Kontroversial Hukum

Proses Aborsi

Ketika nama saya akhirnya dipanggil, saya dibawa ke sebuah ruangan di mana saya bertemu dengan dokter khusus anestesi. Dokter menanyakan nama, riwayat penyakit, dan golongan darah saya. Apakah saya pernah mengalami pendarahan hebat atau operasi sebelumnya dan apakah memiliki alergi dengan obat-obatan tertentu.

Selepas dari dokter anestesi, saya diizinkan masuk ke ruangan operasi. Namun ketika mendorong pintu yang memisahkan ruang tunggu dengan ruang operasi, seorang perawat mencegah saya. Ia bertanya apakah saya sudah memiliki orang yang akan menjemput setelah prosedur dilakukan. Saya kaget dan baru sadar akan dibius total. Saya butuh dijemput supaya bisa pulang ke rumah dengan selamat.

Dengan segera saya telepon suami untuk menjemput di klinik satu jam dari sekarang. Suami tahu, hari ini saya akan melaksanakan prosedur penghentian kehamilan tetapi kami tidak tahu bahwa saya akan dibius total hingga saya harus dijemput setelahnya. Suami mengiyakan dan saya diperbolehkan masuk ruang operasi.

Saya belum pernah masuk ruang operasi. Di sana saya melihat kursi bersandar dengan tumpuan kaki, seperti kursi pemeriksaan ginekologis pada umumnya, namun lebih kokoh. Sebelah kanan kursi operasi terpasang mesin pemeriksa denyut jantung dan beberapa alat yang saya tidak bisa kenali.

Dokter anestesi yang sebelumnya saya temui menyambut dengan ramah kemudian memasangkan jarum di lengan kiri saya. Kami bercakap-cakap sebentar, ia bertanya apa hal yang paling ingin saya lakukan ketika prosedur selesai. Saya jawab, “Makan, saya ingin makan. Saya lapar sekali dan selama kehamilan ini saya tidak bisa mencium bau makanan.”

Mungkin ia tersenyum mendengar respons tersebut, tapi saya tidak bisa melihat ekspresinya di balik masker dan jubah operasi.

Kemudian dokter kandungan yang akan melakukan operasi datang. Dia mengucapkan, “Halo.” Dengan sekejap, tangan saya berat sekali lalu saya sudah tidak lagi berada di ruang operasi.

Saya kembali sadar di ruang istirahat. Saya tidak merasakan apa-apa hanya sedikit keram di perut seperti menstruasi pada umumnya. Saya mengecek vagina dan merasakan ada kapas seperti tampon menyumbat di dalam. Ternyata proses aborsi itu memakan waktu satu jam.

Suami sudah menelepon apakah sudah selesai dan apakah saya baik-baik saja. Prosedur aborsi yang saya lakukan adalah metode vakum dengan bius total. Saya merasa sangat lega dan lapar di saat yang bersamaan. Saya kenakan pakaian lalu pergi ke ruangan di mana suami menunggu.

Perawat yang sama menanyakan kabar dan apakah saya cukup kuat untuk pulang. Saya mengangguk dan melirik kepada suami yang ekspresi kekhawatirannya tidak bisa disembunyikan. Suami menggenggam tangan saya lalu kami berjalan meninggalkan gedung klinik.

Aborsi di Indonesia

Di Jerman, negara memang mendukung praktik aborsi aman untuk perempuan. Namun tidak di Indonesia. Di Indonesia sendiri, proses penghentian kehamilan legal berdasarkan Undang-Undang Kesehatan 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Aborsi diperbolehkan apabila kehamilan tersebut akibat perkosaan atau kehamilan membahayakan kesehatan sang ibu. Ada juga syarat bahwa kondisi kandungan harus di bawah 6 minggu.

Hal ini menyedihkan karena perempuan biasanya baru sadar dirinya hamil ketika kandungan berusia 6 minggu. Sebagaimana diceritakan dalam “The Happening”, perempuan membutuhkan waktu untuk menyadari dirinya hamil, lalu mencari informasi tentang aborsi.

Kita harus melihat dalam kasus aborsi, perempuan adalah induk tempat zigot/janin berkembang. Perempuan yang berhak menentukan apakah ia mau hamil atau tidak. Penghentian kehamilan adalah hak asasi perempuan, terlepas dalam kondisi sosial apakah ia menikah atau tidak, berhubungan konsensual atau non-konsensual.

Perempuan berhak melanjutkan hidupnya, seperti saya. Namun membayangkan pengalaman sulit aborsi perempuan-perempuan lainnya, membuat saya berpikir: Jarak hidup dan mati ternyata begitu dekat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Nadya Karima Melati

Nadya Karima Melati adalah aktivis/sejarawan feminis yang bermukim di Bonn, Jerman. Buku pertamanya adalah “Membicarakan Feminisme” (2019).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *