Baru-baru ini ramai diberitakan tentang ditangkapnya seorang dokter yang diduga melakukan praktik aborsi di salah satu klinik di Raden Saleh, Jakarta Pusat. Aborsi terus menjadi masalah kesehatan masyarakat yang menimbulkan sentimen dan perdebatan sosial, politik, hukum, budaya dan agama, tidak hanya di Indonesia, tapi juga di hampir semua negara.
Bahkan kata “aborsi” sendiri memiliki definisi yang berbeda-beda yang sering kali mencerminkan opini sosial dan politik dari suatu negara, tidak hanya berdasarkan pada pengetahuan ilmiah. Bicara soal aborsi, ada beberapa terminologi yang umum, misalnya, (1) dapat terjadi secara tidak sengaja atau biasanya disebut keguguran; atau (2) dilakukan secara sengaja atau dilakukan ketika embrio/janin hasil konsepsi belum dapat hidup di luar kandungan. Tulisan ini akan mengacu pada definisi kedua.
Tidak hanya di Indonesia, perdebatan soal aborsi telah ada sepanjang diketahui bahwa kehamilan dapat terjadi karena hubungan seksual. Kemudian negara merasa perlu mengatur bagaimana pemilik rahim seharusnya memperlakukan kandungannya tersebut.
Dalam artikelnya Abortion Around the World: An Overview of Legislation, Measures, Trends, and Consequence (2018), akademisi Perancis dan Swiss, Agnès Guillaume dan Clémentine Rossier menuliskan, praktik aborsi sering distigmatisasi karena peran perempuan masih sangat terkait dengan melahirkan anak. Kecaman sosial terhadap aborsi berhubungan dengan konsepsi peran perempuan dalam masyarakat. Negara yang menganggap peran ibu sebagai peran utama perempuan akan menganggap pilihan untuk tidak memiliki anak atau melakukan aborsi sebagai sesuatu yang menyimpang.
Aborsi Tak Aman Sang Pembunuh Diam-diam
Dahulu, semua negara umumnya melarang aborsi karena metode aborsi yang dilakukan membahayakan nyawa perempuan. Misalnya, dengan menggunakan tongkat, gantungan baju, dan metode lain yang bukan berdasarkan pada standar prosedur medis. Seiring perkembangan teknologi dan penetapan standar medis, maka beberapa negara telah melakukan pengaturan untuk memungkinkan aborsi dilakukan dengan alasan tertentu.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengakui aborsi sebagai salah satu prosedur medis, bahkan mengeluarkan beberapa panduan pelaksanaan aborsi yang aman. WHO melakukan klasifikasi aborsi berdasarkan metodenya, yaitu, pertama, aborsi aman jika dilakukan dengan metode yang direkomendasikan sesuai standar medis, menyesuaikan dengan usia kehamilan, serta dilakukan oleh petugas yang kompeten. Kedua, aborsi tidak aman ketika kehamilan diakhiri baik oleh orang yang tidak memiliki keterampilan, atau di lingkungan yang tidak sesuai dengan standar medis minimal, atau keduanya.
Baca juga: PKBI Dorong Pemerintah Berikan Layanan Aborsi Aman
Lalu bagaimana dengan hukum aborsi di Indonesia? Hukum terkait pelarangan aborsi tercantum dalam Pasal 364 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah berusia 100 tahun lebih itu. Dalam Kitab yang selalu menjadi pegangan aparat penegak hukum ini, aborsi tidak boleh dilakukan atas dasar apa pun. Pada saat peraturan ini dibuat, pelarangan tersebut masuk akal karena belum ditemukannya prosedur medis melakukan aborsi yang aman.
Perubahan aturan hukum terjadi di Indonesia ketika Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disahkan, yang merupakan kemajuan mengikuti perkembangan teknologi kesehatan. Kemajuan ini berarti negara mengakui bahwa aborsi adalah salah satu prosedur kesehatan, seperti halnya kontrasepsi. Semangat dari UU ini adalah melindungi nyawa perempuan dari praktik aborsi yang tidak aman, yang memberikan pengecualian untuk korban pemerkosaan dan indikasi kedaruratan medis yang mengancam nyawa ibu/anak dalam kandungan (Pasal 75-77).
Sayangnya, pelaksanaan UU Kesehatan yang telah ada selama 11 tahun ini mangkrak di tengah jalan. Aturan pelaksanaan UU tersebut baru dikeluarkan beberapa tahun kemudian, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi atas Indikasi Kedaruratan Medis dan Kehamilan Akibat Pemerkosaan.
Meskipun aturan baru telah dikeluarkan, pelaksanaannya terhambat karena belum ada tempat yang ditunjuk pemerintah dan alur rujukan yang jelas bagi pelaksanaan UU dan aturan turunannya. Belum juga menjalankan amanat, Pemerintah dan DPR sedang berusaha lari dari tanggung jawab dan merancang pengaturan aborsi di dalam RKHUP yang akan membawa pengaturan aborsi mundur lebih dari satu abad.
Badan PBB untuk Dana Kependudukan (UNFPA) pada 2019 memproyeksikan rata-rata terdapat 4,5 juta kelahiran per tahun di Indonesia. Data Family Planing 2020, lembaga di bawah Yayasan PBB, menunjukkan adanya 2,6 juta kehamilan tidak diinginkan (KTD) terjadi di Indonesia pada 2019. Data lain dari Prof. Budi Utomo, MPH, Pakar Kesehatan Masyarakat dari Universitas Indonesia (2001) memperkirakan bahwa 2 juta aborsi per tahun terjadi di Indonesia, dengan rasio 43 aborsi untuk 100 kelahiran hidup, atau 30 persen kehamilan. Artinya, setiap tahun 1,5 juta perempuan terancam nyawanya akibat tidak tersedianya akses aborsi aman.
Dokter dan tenaga kesehatan yang ditangkap karena melakukan aborsi aman adalah bukti nyata dan korban dari kegagalan pemerintah menjalankan amanat UU dan perlindungan bagi warganya.
Bukan Pro-Life, Pro-Choice, Tapi No-Choice
Perdebatan yang paling ramai di dunia terkait aborsi adalah antara kutub pro-choice dan pro-life. Pro-life adalah kutub yang menentang aborsi, berpegangan bahwa hasil konsepsi/embrio telah memiliki hak hidup dan bahwa aborsi sama dengan pembunuhan. Kelompok ini mengklaim sebagai penyokong hak atas kehidupan, yang justru terlihat sebagai hak atas kelahiran (pro-life).
Di sisi lain, kelompok yang mendukung legalisasi (pengaturan) terkait aborsi atau dikenal dengan nama pro-choice. Argumen kelompok ini bersandar bahwa umumnya perempuan memiliki hak untuk mengambil keputusan atas tubuhnya sendiri (pro-choice). Pembagian biner ini menambah friksi dan pelabelan yang membuat diskusi aborsi semakin panas. Kondisi antara satu negara dengan negara lain yang tidak sama tentunya akan sulit meletakkannya hanya ke dalam dua kotak.
Di Indonesia, misalnya, keputusan untuk melakukan aborsi ketika KTD terjadi bukanlah sebuah pilihan bagi perempuan, karena pilihan seharusnya didasari dengan pengetahuan yang cukup setelah mendapat informasi yang lengkap dan disediakannya pilihan-pilihan tersebut oleh negara.
Pertama, apakah pengetahuan mengenai seksualitas yang menyeluruh sudah diberikan untuk mencegah terjadinya KTD? Jawabannya, tidak. Padahal pendidikan seksualitas komprehensif adalah salah satu rekomendasi WHO untuk mencegah perempuan mengalami aborsi yang tidak aman.
Kedua, minimnya pencegahan KTD melalui penggunaan kontrasepsi yang efektif, termasuk kontrasepsi darurat. Nyatanya ketika korban pemerkosaan melapor kepada aparat penegak hukum, apakah korban mendapatkan pil kontrasepsi darurat? Tidak. Bahkan keberadaan pil kontrasepsi darurat ini sulit dijangkau karena ketakutan akan mempromosikan seks bebas dan dianggap sebagai alat aborsi. Padahal pil ini bekerja untuk mencegah konsepsi dan hanya efektif bila diberikan dengan segera. Kontrasepsi sendiri hanya disediakan untuk pasangan yang telah menikah. Jadi kontrasepsi bagi perempuan dewasa yang belum menikah masih sulit didapatkan.
Baca juga: Edukasi Kontrasepsi dan Pencegahan Kehamilan Masih Rendah
Ketiga, KTD karena pemerkosaan dan korban ingin melanjutkan kehamilannya tanpa diketahui lingkungannya, ke mana dia harus pergi selama lebih dari sembilan bulan? Untuk ini, beberapa organisasi yang berbasiskan hak perempuan, hak anak, maupun organisasi keagamaan menyediakannya, namun tentunya memiliki keterbatasan sumber daya.
Keempat, seperti yang dipaparkan di atas, negara gagal melaksanakan amanat UU dan aturan turunan terkait aborsi dalam kondisi yang tercantum.
Idealnya, untuk aborsi menjadi sebuah pilihan, setiap individu memiliki pengetahuan, akses dan layanan yang komprehensif terkait seksualitas, termasuk kesehatan reproduksi, dan tidak diskriminatif. Sehingga bila KTD terjadi, pemilik rahim, terutama, memiliki pilihan yang aman untuk meneruskan kehamilan (dengan adanya penyediaan rumah aman dan proses kelahiran), atau untuk melakukan aborsi aman.
Ketika prasyarat itu tidak dipenuhi, maka aborsi di Indonesia bukan merupakan pilihan melainkan pembiaran negara terhadap keputusasaan perempuan yang kemudian merenggut nyawa. Lalu bagaimana nasib dokter yang ditangkap tadi dan tenaga kesehatan yang melakukan pertolongan terhadap keputusasaan perempuan? Bagi saya, mereka adalah bukti nyata dan menjadi korban semata dari kegagalan pemerintah menjalankan amanat UU dan perlindungan bagi warganya.