Di Indonesia, sebanyak 80 juta orang menggunakan bahasa tutur Bahasa Jawa. Meski paling banyak, tapi penelitian membuktikan, pengguna Bahasa Jawa di antara kelompok muda semakin menurun. Alasannya, Bahasa Jawa sudah semakin jarang diturunkan dari orang tua pada anaknya.
Menariknya, merebaknya musik pop dalam bahasa daerah menimbulkan harapan baru untuk kelestarian bahasa-bahasa tersebut. Hal ini, misalnya, telah terjadi pada bahasa Maori di Selandia Baru dengan munculnya karya musik berbahasa Maori oleh penyanyi-penyanyi ternama.
Di Indonesia, dangdut koplo membuat Bahasa Jawa jadi trendi lagi di kalangan kaum muda. Variasi dangdut dari Jawa Timur ini sekarang dipopulerkan oleh penyanyi, seperti Happy Asmara, Tasya Rosmala, dan Denny Caknan.
Kentalnya budaya digital dan percampuran bahasa dalam lirik-lirik Denny Caknan, misalnya, menimbulkan pertanyaan: Bagaimana dampaknya terhadap pelestarian Bahasa Jawa?
Baca juga: Ibu Enggak Suka Melihatku Karaokean: Enggak Baik untuk Anak Perempuan
Sejarah Dangdut Koplo: Musik Minggiran yang Menasional
Sebenarnya, apa bedanya dangdut koplo dan dangdut versi tradisional, atau “dangdut Rhoma”?
Jawabannya, dangdut koplo menggunakan kendang dengan gaya yang berbeda dari sebelumnya. Bila kendang dalam dangdut tradisional lebih didominasi suara “dut,” kendang di dangdut koplo lebih didominasi suara “dang.” Suara kendang ini mirip dengan yang ada di sejumlah musik tradisional, terutama Sunda.
Dangdut koplo juga memiliki ciri khas “tempo-cepat.” Tempo cepat inilah yang menjadikan musik dangdut gaya baru ini disebut sebagai “koplo,” istilah yang para era 90-an merujuk kepada psikotropika yang sempat populer.
Banyak seniman dangdut koplo pada masa awal perkembangannya berasal dari kawasan Pantura. Dangdut koplo kemudian menjadi semakin populer, terutama ketika terjadi kontroversi “Inul vs Rhoma” yang mendapat sorotan nasional.
Kini, dangdut koplo telah mendapat penerimaan secara nasional dan eksistensinya tidak bisa dimungkiri lagi. Musik yang berasal dari daerah pinggiran tersebut mendapat penerimaan penuh dan memiliki para penggemar fanatiknya sendiri.
Dalam lagu-lagu dangdut koplo Denny Caknan – musisi muda yang tengah menikmati popularitas nasional – kita bisa melihat berbagai potensi dangdut koplo dalam melestarikan bahasa di kalangan anak muda.
Baca juga: Menjadi Perempuan dalam Skena Musik
Budaya Kaum Muda dalam Lagu Dangdut Koplo
Lagu-lagu dangdut koplo dari Denny Caknan menarik perhatian pendengar muda karena mengandung banyak unsur budaya kontemporer dan budaya digital. Lewat lagu-lagu semacam “Los Dol” dan “Angel,” pendengar dapat melihat bagaimana hubungan asmara dimediasi oleh media sosial, dan bagaimana bahasa budaya digital melebur dalam komunikasi keseharian.
Los Dol membahas peran penting media digital dalam ekspresi emosi dan hubungan asmara kontemporer. Dalam lagu, misalnya, sang tokoh utama digambarkan seolah memberikan rasa cinta yang tulus karena membebaskan orang yang ia sayangi untuk tetap sesekali berkomunikasi dengan mantannya melalui WhatsApp.
Di sini, muncul pula kata-kata semacam “paket data,” “chattingan,” dan praktik mengaburkan kontak dengan mengganti namanya.
Pada lagu Angel, Denny Caknan menyamakan perasaan cinta yang tidak bisa seinstan praktik memberikan “like” di Instagram, atau bagaimana rasa cinta yang menipu itu seperti orang kena “prank” – praktik lazim dalam pembuatan konten digital. Karakter dalam lagu memuji kekasihnya dengan mengatakan bahwa cantiknya “orisinal”, bukan hasil edit atau filter.
Tema-tema yang dekat dengan keseharian generasi muda ini menjadikan lagu-lagu Denny Caknan terasa nyaman buat para pendengarnya. Bahasa Jawa yang digunakan untuk membahas tema digital ini jadi terasa modern dan muda.
Tak hanya itu, daya tarik Denny Caknan juga tampaknya didongkrak oleh gaya pembuatan video klipnya yang serupa dengan para influencer media sosial.
Misalnya, ia menggaet figur-figur seperti Dodit Mulyanto, pelawak legendaris Kirun, Cak Percil, Guyon Waton, dan lain-lain dalam video klipnya.
Selain itu, Denny Caknan juga memanfaatkan praktik endorsement (pesan sponsor) dalam video klipnya, yang ia mulai pada era pandemi ketika konser musik dilarang. Praktik modern ala influencer semacam ini ia manfaatkan dengan baik agar musik Jawa Koplo makin bisa diterima di dunia kaum muda yang mendambakan modernitas.
Baca juga: FLEUR!: Yang Berbunga, yang Keras Bersuara
Percampuran Berbagai Bahasa
Bila kita masuk lebih dalam lagi dan melihat aspek kebahasaan dalam lagu-lagu Denny Caknan, kita akan melihat sejumlah fenomena linguistik yang terbilang unik. Kita akan menemukan praktik “translanguaging” dalam lagu-lagu itu.
Dalam Los Dol, Caknan menyisipkan kata-kata dalam Bahasa Inggris dalam lagu berbahasa Jawa. Pada bait “Tutuk-tutuk-no chatting-an karo wong liyo” – atau berarti “Lanjutkan saja chatting dengan orang lain” – kata chatting dari bahasa Inggris langsung dimasukkan ke dalam struktur bahasa Jawa dengan penambahan imbuhan “-an”.
Dalam Angel, kita juga bisa menemukan peralihan bahasa yang luwes. Pada penggalan bait ini, bagian depannya dalam Bahasa Indonesia dan kemudian dilanjutkan dengan Bahasa Jawa:
“Ketika semuanya terasa begitu abot, ku coba untuk tetap rapopo, di saat cinta ini terasa angel” (“Ketika semuanya terasa begitu berat, ku coba untuk tetap tidak apa-apa, di saat cinta ini terasa sulit”).
Bahkan, selanjutnya pendengar akan dipertemukan dengan Bahasa Inggris di bait lain, misalnya:
“Tresno kuwi ra koyo Instagram, seng diklik langsung oleh ati, duh Gusti nopo kulo di-prank” (“Cinta itu tidak seperti Instagram, yang jika diklik langsung mendapat hati, ya Tuhan, mengapa saya dipermainkan”).
Pencampuran tiga bahasa ini menyerupai penggunaan bahasa Jawa dalam keseharian generasi muda yang multilingual.
Sangat sering terjadi ketika seorang penutur Bahasa Jawa tanpa disadari memasukkan kata, frasa, klausa, atau bahkan kalimat Bahasa Indonesia dalam percakapannya, yang pada dasarnya menggunakan Bahasa Jawa.
Baca juga: Penggunaan Bahasa Daerah Tingkatkan Kemampuan Belajar Siswa di Indonesia Timur
Revitalisasi Bahasa Jawa
Hal-hal di atas membuat lagu-lagu Denny Caknan sebagai contoh bagaimana aliran dangdut koplo bisa dimanfaatkan sebagai upaya aktif revitalisasi bahasa di kalangan kaum muda.
Penggunaan alih bahasa dalam liriknya kami anggap bukan merusak Bahasa Jawa, tapi justru meningkatkan daya tarik bahasa Jawa dan mempopulerkannya di ruang publik.
Ini disebut “normalisasi bahasa”, seperti yang juga dilakukan ilmuwan komputer dari Columbia University di Amerika Serikat (AS), John E. Ortega dan rekan-rekannya beberapa tahun lalu terhadap bahasa suku Amazon dengan bantuan teknologi. Melalui dangdut koplo, justru terjadi normalisasi bahasa Jawa lewat hiburan massa.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.