Issues Opini

Sekolah Anak Korban Perceraian Bermasalah? Salahkan Saja Ibunya

‘Single parents’ sering jadi kambing hitam dalam urusan pendidikan anak. Padahal kita perlu memberi mereka dukungan lebih banyak.

Avatar
  • August 2, 2023
  • 6 min read
  • 1213 Views
Sekolah Anak Korban Perceraian Bermasalah? Salahkan Saja Ibunya

Belakangan, kita dihantam tsunami informasi tentang ilmu parenting (pengasuhan anak). Anehnya, gaya pengasuhan orang tua yang mayoritas dibebankan pada ibu, seolah jadi standar tunggal dalam pengasuhan anak. Jika tak diikuti, maka perempuan atau ibu tak akan layak dicap sebagai orang tua yang baik, ideal, atau teladan.

Lebih aneh lagi, narasi terkait pengasuhan anak cuma menekankan pada peningkatan peran ibu dalam pendidikan anak dan keluarga tradisional yang “utuh”. Sementara, kita masih kurang menaruh perhatian pada pengasuhan anak dari keluarga rentan, terutama anak-anak dengan orang tua tunggal (single parent).

 

 

Baca juga: Ibu Tunggal dan Pencarian Cinta Kedua

Mengkambinghitamkan Orang Tua yang Bercerai

Orang tua, terutama yang bercerai, kerap dianggap sebagai faktor risiko utama atas tingkah laku anak. Mereka dianggap bertanggung jawab penuh atas kesuksesan anaknya di masa depan.

Narasi yang ada biasanya menyatakan bahwa perpisahan orang tua menyebabkan berbagai masalah pada anak. Di Amerika Serikat, misalnya, buruknya performa pendidikan anak kerap dikaitkan sebagai dampak dari perceraian orang tua. Anak-anak dari kelompok ini juga dianggap cenderung mengalami kendala akademis dan putus sekolah lebih awal.

Padahal, studi menunjukkan, perceraian tidak selalu berdampak pada prestasi akademik anak-anak dari orang tua yang berisiko tinggi untuk berpisah. Justru, mayoritas anak yang tinggal dengan ibu tunggal cenderung bisa melanjutkan pendidikan higga perguruan tinggi. Selain itu, perbedaan performa akademik siswa tidak begitu terlihat antara siswa dari keluarga yang berpisah ataupun tidak.

Baca juga: Bibit-bibit Kekerasan dalam Olok-olok Status Janda

Tantangan Partisipasi Orang Tua Tunggal

Orang tua tunggal juga kerap disalahkan karena tidak bisa berpartisipasi pada pendidikan anaknya, terutama di sekolah. Padahal, mereka banyak mengalami kendala untuk terlibat dalam kegiatan di sekolah.

Orang tua tunggal biasanya tergolong kelompok ekonomi lemah dan rentan masuk dalam kemiskinan. Mereka pun harus mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup di tengah minimnya dukungan finansial maupun pengasuhan dari mantan pasangan – membuat mereka mengemban kerentanan yang berlipat.

Selain itu, mereka juga biasanya terkendala kurangnya dukungan sosial.

Bagi orang tua tunggal dari kelas ekonomi menengah ke atas, misalnya, Asisten Rumah Tangga (ART), suster, atau daycare bisa menjadi opsi untuk membantu pengasuhan atau pekerjaan domestik selama anak ditinggal bekerja atau saat mereka harus berpartisipasi dalam kegiatan orang tua di sekolah.

Sedangkan, masyarakat ekonomi lemah biasanya bekerja di sektor pertanian atau terlibat dalam pekerjaan rentan (prekariat) yang mendapat upah harian. Mereka menjadi tak punya pilihan mewah seperti meninggalkan pekerjaan untuk menghadiri acara di sekolah anak. Mereka pun kerap tidak memiliki hari libur khusus, apalagi hak cuti.

Wajar jika orang tua tunggal jarang bisa berpartisipasi dalam kegiatan sekolah, meskipun mereka tetap menunjukkan keterlibatannya ketika anak belajar di rumah.

Baca juga: Menjadi Janda dan Lapis-Lapis Perjuangan di Baliknya

Stigma terhadap Kelompok Rentan di Dunia Pendidikan

Perceraian seharusnya dilihat sebagai kondisi netral – bebas penghakiman atau stigma terhadap orang tua maupun anaknya sebab mereka termasuk kelompok rentan. Kerentanan ini dipengaruhi oleh beberapa faktor; Sulitnya orang tua tunggal mendapat pekerjaan dan pendapatan yang memadai, beban pengasuhan yang timpang, hingga minimnya dukungan emosional.

Sayangnya, stigma tersebut masih kami temukan dalam beberapa penelitian kualitatif yang dilakukan SMERU Research Institute dengan kalangan pendidik. Hal ini justru dapat menghambat anak-anak dengan orang tua tunggal untuk bisa mendapat pendidikan secara optimal.

Misalnya, pada studi diagnostik bersama INOVASI tentang rendahnya capaian belajar siswa di Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat di Nusa Tenggara Barat (NTB) pada 2016, sebagian informan termasuk guru acap kali menganggap ketidaktuntasan belajar murid sebagai kesalahan orang tua, terutama mereka yang bercerai. Sedangkan, motivasi belajar siswa yang rendah dianggap dampak ketidakharmonisan keluarga.

Pada studi kualitatif lain bersama program RISE di Kota Yogyakarta pada 2021, sebagian guru mengganggap berbagai permasalahan siswa seperti malas, berbicara kasar, tidak semangat mengikuti pelajaran maupun kurang sopan selama pembelajaran dikarenakan kurangnya interaksi orang tua dengan anak akibat perceraian.

Kesalahan persepsi tersebut menyebabkan adanya kecenderungan pandangan negatif yang melekat terhadap kelompok rentan. Stigma seperti ini berpotensi melanggengkan atau bahkan meningkatkan kesenjangan tingkat pendidikan antara anak dari keluarga kaya dan miskin.

Apalagi, angka perceraian di Indonesia semakin meningkat selama satu dekade terakhir, dan diklaim sebagai yang paling tinggi di Asia dan Afrika. Artinya, jumlah keluarga yang masuk ke dalam kelompok rentan berpotensi semakin bertambah.

Baca juga: Dear Janda: Kamu Perempuan Berdaya, Kamu Berhak Bahagia

Dukungan bagi Orang Tua Tunggal

Alih-alih menyalahkan orang tua, masyarakat dan pemerintah selayaknya memberikan perhatian khusus bagi keluarga yang mengalami persoalan seperti ini untuk memastikan anak-anaknya tetap mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Terdapat beberapa program yang dapat membantu anak-anak dengan orang tua tunggal mengatasi beban mental akibat stigma masyarakat dan minimnya dukungan sosial.

Pertama, advokasi ke sekolah perlu dilakukan untuk memberikan dukungan kepada orang tua tunggal agar dapat berpartisipasi dalam pendidikan anaknya di sekolah.

Lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Zimbabwe, misalnya, mendorong pihak sekolah untuk memberikan fleksibilitas waktu terkait pertemuan orang tua. Mereka juga memberikan materi pelajaran terkait struktur keluarga nontradisional sehingga siswa bisa berempati dengan kondisi temannya.

Kedua, kelompok dukungan seperti komunitas orang tua tunggal juga dapat dikembangkan untuk memberikan ruang bagi orang tua tunggal berinteraksi dan berbagi kisah dengan orang lain.

Di Kanada, suatu eksperimen untuk menyediakan kelompok dukungan (support group) bagi ibu-ibu tunggal yang merasa kesepian menunjukkan dampak positif. Para peserta merasa lebih tenang dalam mendidik anak dan memiliki komunikasi yang lebih baik dengan anak mereka.

Kebijakan Berbasis Komunitas

Selain inisiatif masyarakat, pemerintah daerah juga dapat membantu meringankan beban orang tua tunggal melalui kebijakan pendidikan berbasis komunitas. Di antaranya adalah program Sekolah Keluarga (SK) di Bukittinggi dan Jam Belajar Masyarakat (JBM) di Yogyakarta.

Riset menunjukkan bahwa kedua kebijakan tersebut berdampak positif pada peningkatan kualitas pengasuhan orang tua serta motivasi belajar siswa dan partisipasi orang tua dalam pendidikan anaknya.

Walaupun kedua kebijakan tersebut tidak secara spesifik ditujukan untuk mengatasi kendala yang dihadapi kelompok rentan, temuan kami menunjukkan ibu-ibu tunggal banyak merasakan manfaat.

Menurut peserta, mereka tidak hanya merasakan kestabilan emosi tapi juga bisa membangun komunikasi yang lebih bagus dengan anak yang pada akhirnya membawa perubahan positif pada capaian belajar anaknya. Sebelum mengikuti SK, misalnya, seorang ibu yang bercerai dan berasal dari kelompok ekonomi lemah mengatakan bahwa anaknya mengalami kendala akademis pada tujuh mata pelajaran. Setelah menerapkan ilmu pengasuhan yang diberikan program SK, dan juga berbagi dengan peserta lain, materi yang tidak tuntas berkurang menjadi satu mata pelajaran saja.

Sementara pada pelaksanaan JBM, masyarakat dalam satu rukun warga (RW) turut memonitor anak usia sekolah dan memastikan lingkungan yang kondusif pada jam-jam belajar yang sudah disepakati. Akibatnya, hasil observasi partisipatif kami menunjukkan ibu-ibu tunggal di sebuah bantaran kali terbantu dengan adanya pengawasan yang diberikan oleh tetangganya ketika ia harus bekerja.

Berdasarkan praktik baik di atas, kita bisa menyimpulkan, tanggung jawab pengasuhan anak – terutama dari kelompok rentan – seharusnya tidak dibebankan pada keluarga saja, seperti peribahasa yang berbunyi “it takes a village to raise a child” (butuh peran orang sekampung untuk bisa membesarkan seorang anak).

Kolaborasi dan dukungan dari pihak sekolah, komunitas, dan pemerintah menjadi hal yang patut diusahakan agar semua anak mendapatkan pendidikan yang berkualitas, terlepas dari latar belakang keluarganya.

Namun, perlu dicatat bahwa meski dampak dari kebijakan berbasis komunitas cukup menggembirakan, keterlibatan ibu masih mendominasi pengasuhan anak. Arah kebijakan ke depan perlu lebih mendorong pelibatan ayah baik di rumah, sekolah, maupun komunitas.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Risa Nihayah

Risa Nihayah, Peneliti Kualitatif, SMERU Research Institute.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *