Environment Issues Opini Travel & Leisure

Dosa Pariwisata Indonesia: Gentrifikasi, Ketimpangan, dan Eksploitasi

Potret gentrifikasi pariwisata di Indonesia: ketimpangan dan eksploitasi di kawasan konservasi.

Avatar
  • September 27, 2023
  • 6 min read
  • 4660 Views
Dosa Pariwisata Indonesia: Gentrifikasi, Ketimpangan, dan Eksploitasi

Kebakaran di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru karena penggunaan flare saat pengambilan foto pre-wedding baru-baru ini tak hanya menimbulkan pertanyaan soal etika pengunjung di tempat wisata. Isu ini juga menunjukkan semakin maraknya fenomena gentrifikasi pariwisata di Indonesia, termasuk di kawasan konservasi.

Gentrifikasi merupakan perubahan karakteristik wilayah akibat penetrasi kapital dan mobilitas masyarakat kelas menengah atas yang berpotensi menaikkan standar hidup wilayah tersebut di atas jangkauan masyarakat setempat. Gentrifikasi terjadi akibat komodifikasi ruang, yaitu ketika nilai guna ruang diuangkan demi mengejar keuntungan.

 

 

Baca juga: Tren ‘Healing’ di Medsos: Penyempitan Makna yang Punya Dampak Negatif

Dalam perkembangannya, isu gentrifikasi juga tidak terbatas pada fenomena yang terjadi di wilayah urban, tetapi juga di pedesaan, ruang kosong, maupun kawasan lindung.

Isu gentrifikasi makin mendesak untuk dibahas mengingat makin besarnya perhatian dan dukungan pemerintah terhadap pariwisata sebagai sektor prioritas yang dianggap salah satu sumber pertumbuhan baru ekonomi Indonesia.

Secara kasat mata, gentrifikasi pariwisata memang terlihat menyejahterakan. Destinasi wisata diubah menjadi lebih modern, indah, dan tertata rapi. Namun, seperti halnya industri lain, gentrifikasi pariwisata juga berisiko merusak alam dan menimbulkan kesenjangan.

Destinasi Super Prioritas = Destinasi Super Mahal?

Pariwisata pada dasarnya adalah industri yang menjual lokalitas, baik itu budaya lokal, sejarah tempat, maupun bentang alamnya. Itulah mengapa gentrifikasi pariwisata tersebar mengikuti di mana lokasi komoditas berada.

Keindahan alam Gunung Barujari dan Danau Segara Anak di Taman Nasional Gunung Rinjani. Rinjani-Lombok UNESCO Global Geopark

Meski bersifat lokal, status sebagai sektor prioritas membuat investasi skala besar–baik dari modal asing maupun dalam negeri–mengalir ke lokasi pariwisata maupun daerah sekitarnya.

Arus modal membuat hotel-hotel dan fasilitas lainnya, termasuk jalan raya, menjamur untuk memanjakan turis kelas atas. Segudang fasilitas itu kemudian menggantikan bentang alam termasuk permukiman di sekitarnya. Perubahan inilah yang menunjukkan gentrifikasi pariwisata.

Kita bisa melihat fenomena ini terjadi di lima lokasi pariwisata super prioritas yang diharapkan menjadi “Bali Baru” oleh Pemerintah–termasuk Borobudur, Mandalika, dan Labuan Bajo.

Baca juga: ‘Peep Show’ ala Times Square: Berkah Muncikari, Musibah Perempuan

Di Kawasan Candi Borobudur sebagai salah satu UNESCO World Heritage, misalnya, kisaran tarif salah satu hotelnya dapat mencapai Rp15-90 juta per malam. Meski sudah lama menjadi destinasi wisata, pembangunan di kawasan pedesaan di Magelang, Jawa Tengah ini kini semakin marak dengan adanya status destinasi super prioritas.

Mandalika, kawasan pantai selatan Lombok, Nusa Tenggara Barat yang dulunya hanyalah ‘ruang kosong’ tak berpenghuni kini menjadi salah satu node dalam jejaring kapital global.

Lokasi KEK Mandalika pada masa lalu berupa ‘onbewoond bergterrein’ yang berarti wilayah perbukitan yang tak berpenghuni. Sumber utama peta: Universitaire Bibliotheken Leiden (layout diolah oleh penulis)

Pada November 2021, Presiden Jokowi meresmikan Sirkuit Internasional Pertamina Mandalika di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika. Pemerintah juga membangun jalan bypass Bandara Internasional Lombok-Mandalika dengan cepat untuk mendukung acara motoGP.

Selain itu, jejaring hotel global seperti Pullman juga resmi beroperasi untuk mendukung pariwisata khususnya hajatan global seperti motoGP dan World Superbike/WSBK di Sirkuit Mandalika.

Di Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur, pembangunan pariwisata juga berkembang sangat pesat. Meski jauh dari ibu kota provinsi, Labuan Bajo berkembang layaknya kota besar. Hotel dan resor mewah, jasa pelayaran pinisi mewah, termasuk kawasan pertemuan dan konferensi di Golo Mori bisa ditemukan di Kabupaten Manggarai Barat.

Pada Mei lalu, Labuan Bajo bahkan menjadi tuan rumah untuk hajatan internasional Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-42 ASEAN 2023.

Meski berkembang dengan pesat, pariwisata tidak serta merta menyejahterakan. Di Labuan Bajo misalnya, walaupun Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat menetapkan upah minimum kabupaten setara dengan upah minimum provinsi, banyak perusahaan di sektor pariwisata kedapatan melanggar aturan tersebut.

Ekspansi Kapital di Gunung dan Laut

Jika ditelisik lebih jauh, gentrifikasi pariwisata tidak hanya terjadi di Borobudur, Mandalika dan Labuan Bajo, tetapi juga di lokasi lainnya di Indonesia. Untuk mendukung data dalam tulisan ini, saya mencoba membuat riset kecil untuk memetakan akomodasi pariwisata yang berada di wilayah non-perkotaan Nusantara.

Dengan Google Maps dan peta interaktif dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), saya mencoba mengidentifikasi fasilitas pariwisata yang bersinggungan dengan kawasan konservasi seperti taman nasional, taman wisata alam (TWA), hutan lindung, dan kategori kawasan hutan lainnya.

Selain itu, saya juga membatasi pencarian akomodasi dengan tarif Rp800ribu sampai Rp25 juta per malam. Asumsinya, mahalnya tarif menunjukkan orientasi profit dan siapa saja yang bisa menjadi turis di destinasi tersebut, yakni masyarakat kelas menengah ke atas.

Baca juga: Sulitnya Mendirikan Rumah Ibadah: “19 Tahun Kami Berjuang untuk Dapat Izin Gereja”

Dari hasil penelusuran, saya menemukan sekitar 69,8 persen dari total 232 fasilitas pariwisata tersebut berada di kawasan konservasi yang tersebar di seluruh Indonesia.

Misalnya, beberapa amenitas ada yang beroperasi di dalam taman nasional, seperti di kawasan Tangkahan, Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh-Sumatra Utara, dan kawasan Menjangan di Taman Nasional Bali Barat.

Kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Gili Trawangan-Gili Meno-Gili Air atau Gili Tramena bahkan memiliki ratusan amenitas dengan tarif di atas Rp1 juta.

Peta sebaran akomodasi di wilayah Gili Tramena dengan tarif di atas satu juta rupiah per malam. Google

Keindahan alam memang selalu yang kita cari. Berdasarkan data KLHK, kunjungan wisata alam ke kawasan konservasi pada 2022 tercatat sebanyak 5,1 juta wisatawan domestik dan 189 ribu wisatawan mancanegara.

Secara hukum, kegiatan wisata di dalam kawasan konservasi, bahkan di kawasan lindung memang dibolehkan.

Baca Juga:

Namun, beberapa fakta menunjukkan risiko pariwisata terhadap alam. Kebakaran di Taman Nasional Bromo, misalnya, berimbas pada ekosistem serta rusaknya sistem perpipaan air warga sekitar. Kebakaran yang pernah terjadi di Taman Nasional Komodo tahun 2018, juga diduga disebabkan oleh ulah wisatawan.

Di Mandalika, dua desa terendam banjir akibat pemangkasan bukit-bukit dan belum siapnya sistem drainase di wilayah Kawasan Ekonomi Khusus ini.

Pariwisata untuk Siapa?

Kita perlu kritis dalam melihat apakah kegiatan pariwisata mengarah ke industri yang berlebihan dan berpotensi merusak alam di sekitarnya.

Tidak hanya soal ancaman terhadap alam, kita juga perlu mengawal dampak sosialnya. Meski dianggap sebagai sumber pertumbuhan baru, pembangunan pariwisata sering kali menimbulkan kesenjangan sosial dengan masyarakat lokal. Pariwisata juga cenderung hanya bisa diakses oleh masyarakat menengah ke atas. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009, berwisata adalah hak setiap orang.

Untuk menekan dampak gentrifikasi pariwisata, pemerintah harus memperkuat regulasi agar sektor ini tidak hanya dinikmati oleh pebisnis besar. Pemerintah dapat membatasi kepemilikan aset properti pariwisata dan memperkuat pengawasan untuk mencegah eksploitasi berlebihan atas nama pariwisata.

Pemerintah harus bisa menjamin bahwa pembangunan pariwisata harus bisa melibatkan dan menyejahterakan warga lokal, serta menjunjung konservasi agar keadilan sosial dan kelestarian alam dapat terwujud.The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.



#waveforequality


Avatar
About Author

Dwiyanti Kusumaningrum

,  Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *