‘Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso’: Bobroknya Sistem Peradilan Kita
‘Ice Cold: Murder, Coffee and Jessica Wongso’ mengurai bobroknya sistem peradilan Indonesia dan bagaimana rasanya diadili media.
Jessica Kumala Wongso mendadak jadi “selebriti” pada 2016 gara-gara kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin yang menyeret namanya. Dua sahabat lama itu bertemu untuk minum kopi Vietnam di café Olivier, Jakarta. Lalu tak butuh waktu lama sampai Mirna kejang-kejang dan meregang nyawa. Tak ada terduga pelaku lain mengingat Jessica adalah orang yang memesan dan mentraktir kopi itu untuk Mirna.
Media massa di Indonesia tak ketinggalan meliput kasus ini. Berbulan-bulan nama Jessica selalu muncul di berbagai tajuk koran dan TV nasional. “Pembunuh bertangan dingin” hingga “psikopat” menjadi label tetap dari media buat mantan mahasiswa di kampus Australia tersebut.
Kini tujuh tahun berlalu sejak Jessica dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Saat kasusnya sudah mulai redup dan tak lagi disorot media, Netflix dalam film dokumenter berjudul Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso (2023) kembali menghidupkan memori orang Indonesia tentang kasus legendaris itu. Filmnya ramai jadi buah bibir di X (Twitter) hingga 4 Oktober 2023, bahkan menjadi top movie di Netflix Indonesia.
Berdurasi 1 jam 26 menit, film ini disutradarai oleh Rob Sixsmith, yang juga menggarap The Raincoat Killer: Chasing a Predator in Korea (2021). Banyak kalangan diwawancara, dari pakar hukum, keluarga Mirna, para jaksa penuntut umum, kecuali Jessica. Narasi versi Jessica muncul diwakilkan oleh buku diarinya dengan alasan ia dilarang diwawancara.
Tak mau dapat kesan berat sebelah, Sixsmith menyajikan narasi kopi sianida dalam dua babak. Upayanya cukup berhasil, dan sesuai dugaan, pendapat publik pun terbelah usai menonton film ini.
Diadili Media, Ditekan Massa
Sejak ditetapkan sebagai terdakwa pembunuhan Mirna, sosok Jessica relatif paling dicari wartawan. Dalam persidangan yang digelar sebanyak dua puluh kali, media tak pernah luput meliput kasusnya secara langsung. Kasus pidananya bak sinetron berjilid-jilid yang dinikmati semua masyarakat tanpa peduli kelas sosial.
Sayang, kasus pidana ini tidak diliput secara berimbang. Dikutip dari BBC, Hardly Stefano, koordinator bidang isi siaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) bilang, durasi penyiaran sidang Jessica dan narasi versi korban lebih besar ketimbang terdakwa.
“Terkesan ada penggiringan opini publik karena proporsi keluarga korban jauh lebih besar, sehingga terkesan mengadili,” kata Hardly pada BBC.
Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Wisnu Prasetya Utomo, pengamat dari pusat studi media dan komunikasi, Remotivi. Diwawancarai BBC, Wisnu mengatakan selain proporsi keluarga korban, banyak liputan media juga yang tidak berkaitan langsung dengan kasus pidana pembunuhan ini. Dalam hal ini siaran diarahkan untuk tidak mencari latar belakang kasus, tetapi mengarahkannya pada satu opini saja.
“Misalnya ada TV yang menyiarkan pendapat tetangga-tetangga Jessica, yang tak berhubungan, tapi itu diulang dan didramatisasi. Ini jadi problematis karena jadi sorotan, sejak awal publik seolah digiring,” jelasnya.
Baca juga: Akankah Serial Netflix ‘Gadis Kretek’ Romantisasi Industri Rokok?
Akibat peliputan tendensius, respons masyarakat pada persidangan Jessica yang masih berjalan cukup keras. Banyak masyarakat yang rela datang jauh-jauh ke persidangan Jessica untuk membela Mirna seraya menjatuhkan Jessica.
Pembela Mirna bahkan sampai menggelar aksi protes di depan pengadilan Tinggi Negeri sambil membawa poster bertuliskan Justice for Mirna. Kaos dan pin bergambar Mirna, juga banyak dipakai oleh para pendukungnya. Trial by mob atau diadili oleh massa secara otomatis terjadi pada Jessica.
Tahun-tahun itu, Jessica resmi jadi musuh publik nomor satu di Indonesia. Masyarakat Indonesia percaya seratus persen Jessica adalah pelaku pembunuhan, kendati sidang belum memutuskan. Mereka lantas mendesak para aparat penegak hukum untuk segera memidanakan perempuan berkewarganegaraan Australia tersebut. Jessica sekeluarga mengalami intimidasi dan sering dipojokkan selama masa persidangan.
Trial by mob ini tidak terjadi kalau saja sejak awal media bersikap objektif dalam meliput berita Jessica. Buat pengamat media dan peneliti, trial by mob adalah efek langsung yang timbul karena media telah melakukan main hakim sendiri pada Jessica di mana fenomena ini disebut sebagai trial by press.
Dikutip dari penelitian tahun 2016 yang dimuat jurnal Masalah-Masalah Hukum Universitas Diponegoro, trial by the press terjadi ketika media memberitakan dugaan kasus pidana yang sudah ditangani aparat penyidik (pre-trial publicity) hingga masuk ke pengadilan (publicity during trial). Sehingga, menyebabkan pemojokan pihak tertuduh sampai ia kesulitan memeroleh peradilan yang bebas dan tak berpihak (fair trial).
Dalam kasus trial by press, opini masyarakat yang terbentuk oleh berita mampu menyudutkan terdakwa dan keluarganya sebagai pencari keadilan. Ujung-ujungnya ini dapat menekan majelis hakim dalam memberi putusan pidana yang bebas (free), adil (fair), dan tidak memihak (impartial).
Dalam penelitian Diadili Media: Studi Kasus Etika dan Hukum Media Massa: Jessica Kumala Wongso, Bersalah Sebelum Diputuskan Pengadilan (2016) disebutkan, pers mengabaikan asas praduga tak bersalah. Ini adalah asas hukum acara yang menginginkan agar setiap orang yang menjalani proses perkara tetap dianggap sebagai tidak bersalah, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Kode Etik Jurnalistik pasal tiga misalnya secara jelas menyatakan, pers diwajibkan menghargai asas hukum acara ini. Sebab, asas praduga tak bersalah adalah salah satu hak asasi setiap manusia yang dijamin undang-undang. Ini memberikan perlindungan bagi tersangka atau terdakwa yang sedang menjalani proses peradilan terhadap pemberitaan pers.
Pengabaian media terhadap asas praduga tak bersalah diperparah karena tidak ada sanksi yang diberikan dari Dewan Pers. Berbagai pemberitaan dibiarkan liar tanpa regulasi dan pemantauan ketat dan masyarakat yang belum dewasa memaknai berita hanya menelan saja isi pemberitaan seadanya.
Baca juga: ‘Moving’: Eksploitasi Segar Genre Superhero
Bobroknya Sistem Peradilan Indonesia
Layaknya kebanyakan dokumenter true crime yang mengajak penonton untuk memahami kasus tidak dalam pandangan hitam putih saja, Ice Cold: Murder, Coffee, and Jessica Wongso juga berusaha menguliti kasus pembunuhan Mirna dari dua sisi. Dalam babak pertama, film ini fokus menggali kesaksian keluarga korban yang terdiri dari ayah Mirna, Edi Darmawan dan kembaran Mirna, Sandy Salihin beserta para jaksa penuntut umum.
Sedangkan di babak kedua, Sixsmith selaku sutradara mencoba membalik framing publik tentang Jessica yang sejak awal sudah dicap sebagai pelaku pembunuhan. Dengan fokus pada wawancara dengan para ahli dan pengacara Jessica, berbagai kejanggalan dalam persidangan dibuka. Kejanggalan yang membuat penonton mempertanyakan tentang sistem peradilan Indonesia.
Di luar dari pemberitaan pers yang tendensius, penyimpangan prosedural dan kesalahan hukum telah terjadi di kasus ini sejak awal. Mengutip penelitian Indonesia’s Criminal Justice System On Trial: The Jessica Wongso Case (2021) Jessica telah mengalami diskriminasi berlapis selama namanya masuk ke radar aparat penegak hukum.
Simon Andrew Butt, pakar hukum Indonesia asal Australia yang menulis penelitian ini mengatakan, polisi menginterogasi Jessica tanpa didampingi pengacaranya. Padahal seperti yang termaktub dalam Pasal 54 KUHAP, terdakwa berhak mendapat bantuan hukum.
Lebih dari itu, polisi juga menggeledah rumah orang tuanya tanpa surat perintah yang sebenarnya dijamin dalam Pasal 33 KUHAP. Ia kemudian ditahan tanpa alasan yang masuk akal. Ia juga dipaksa untuk menghadiri rekonstruksi kejahatan yang dituduhkan bahkan otopsi yang wajib dilakukan untuk memberikan kejelasan atas kasus tersebut tidak dilakukan hingga persidangan selesai.
Penyimpangan prosedural dan kesalahan hukum dalam kasus inilah yang membuat Jessica kehilangan hak dasar hukum, yaitu the right to a fair trial. Ini adalah hak atas peradilan adil yang merupakan pemenuhan hak untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang negara dalam melaksanakan proses peradilan.
Dikutip dari laman resmi Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Universitas Indonesia, terdakwa didudukkan sebagai pihak yang melawan negara. Ada ketidaksetaraan kedudukan antara terdakwa dengan jaksa penuntut umum sebagai representasi negara. Kewenangan yang dimiliki oleh jaksa penuntut umum sendiri menguntungkan mereka.
Hal ini menimbulkan potensi penyalahgunaan wewenang sehingga mampu menghilangkan tujuan dari proses persidangan itu sendiri, yakni mencari kebenaran materiil. Jika tujuan proses persidangan hilang maka dalam prosesnya kegagalan pengadilan (miscarriage of justice) jadi tak terelakkan. Dalam kasus Jessica, kegagalan pengadilan diawali dari tidak digunakannya prinsip mendasar dari fair trial dan hukum acara pidana, yaitu asas praduga tidak bersalah.
Terlepas jika sebenarnya Jessica memang benar membunuh Mirna, sejak tahap penyidikan dan selama proses persidangan berlangsung ada kesan dan perlakuan seolah-olah Jessica sudah dipastikan bersalah. Hal ini dapat dilihat dari berbagai pernyataan dan klaim yang keluar dari berbagai pihak baik di dalam ruang sidang maupun di ruang luar sidang.
Pengabaian asas praduga tak bersalah yang diperparah dengan penyimpangan prosedural dan kesalahan hukum kemudian tentu menimbulkan pernyataan penonton tentang sistem peradilan di Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Erasmus A. T. Napitupulu, Executive Director dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), tingkat bersalah di Indonesia itu tinggi sekali. Polisi dan jaksa penuntut umum mempunyai kuasa lebih besar yang membuatnya tidak seimbang dengan kewenangan advokat.
Baca juga: ‘Cold Blooded Intern’: Cerita Ibu Rumah Tangga yang Berjuang Meraih Impiannya
Relasi kuasa yang timpang ini membuat posisi hakim tidak lagi menjadi wasit atau berada di posisi tengah. Sebaliknya, hakim adalah penentu putusan peradilan. Hal ini bisa terjadi lantaran Indonesia menganut peradilan pidana sistem inquisitorial. Dilansir dari Hukum Online, sistem inquisitorial menekankan aspek pencarian kebenaran materiil oleh hakim sehingga hakim berperan aktif dalam mempelajari berkas dan bukti.
Sedangkan, sistem adversarial menekankan aspek penjaminan terhadap hak asasi tersangka dan adanya penilaian juri (hakim bersifat pasif). Dalam sistem ini pula berkas awal bersumber dari Jaksa penuntut umum saja. Maka bukan tidak mungkin hakim termakan “framing” jaksa penuntut umum karena berkas yang dikirim kepada hakim adalah berkas yang mendukung kepada pendakwaan, yang menunjukkan terdakwa bersalah.
Sayangnya, dalam sistem peradilan macam ini advokat juga tidak berhak melihat atau memperoleh semua bukti yang dikumpulkan polisi dan jaksa selama penyelidikan mereka. Sebaliknya, mereka hanya dapat mengakses bukti-bukti yang ada dalam “berkas perkara”, yang dikumpulkan oleh polisi dan jaksa, yang kemudian menyerahkannya ke pengadilan sebelum persidangan.
Mengutip dari penelitian Butt kembali, karena hal inilah polisi dan jaksa penuntut umum dapat menyembunyikan informasi dari pihak pengacara terdakwa. Berkas yang meringankan terdakwa atau berkas yang menunjukkan fakta yang berimbang bisa jadi sengaja tak dimasukkan.
Hal ini terjadi pada kasus Jessica di mana pengakuan Saputra (suami Mirna) membunuh istrinya, hasil tes pendeteksi kebohongan Wongso, dan catatan wawancara selama dugaan hipnotisme misalnya tidak digubris sama sekali.
Untuk mencegah ketidakadilan ini dan hukuman salah yang dijauhkan ke terdakwa, banyak negara dengan sistem hukum lebih progresif mewajibkan jaksa penuntut untuk mengungkapkan semua bukti yang diperoleh selama investigasi kepada pihak pembela. Inilah yang tidak terjadi di Indonesia.
Pada akhirnya terlepas dari apakah Jessica benar membunuh Mirna atau tidak, aparat penegak hukum dan sistem peradilan Indonesia gagal menciptakan peradilan yang adil dan tak memihak padanya. Persis yang dikatakan Edi Darmawan, ayah Mirna pada menit-menit terakhir dokumenter.
“Membunuh tanpa bukti, 20 tahun penjara. Saya yakinkan jaksa dan hakim. Akhirnya begitulah, berakhir bahagia. Saya menang.”