Olimpiade Tokyo adalah Olimpiade Bersejarah bagi Para Ibu
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Olimpiade Tokyo akan jadi kompetisi olahraga yang berimbang secara gender.
Sejarah mencatat, perempuan kerap dipinggirkan dalam kompetisi olahraga, sedangkan para lelaki mendominasi olahraga papan atas selama berabad-abad. Namun, kita patut bersyukur sekarang lantaran representasi perempuan global dalam olahraga terkerek naik. Salah satunya berkat advokasi organisasi, seperti IOC Women in Sport Commission.
Pusat dari gerakan ini adalah peningkatan visibilitas atlet perempuan papan atas yang bersaing dan berhasil di Olimpiade, menginspirasi atlet Olimpiade perempuan masa depan di seluruh dunia. Namun, hambatan utama masih tetap ada, terutama yang dihadapi oleh para atlet yang juga menjadi ibu.
Menyusui di Olimpiade
Para ibu telah berkompetisi di Olimpiade sejak Olimpiade Paris 1900 ketika atlet perempuan pertama kali berpartisipasi. Namun, Olimpiade Tokyo 2020 telah menonjolkan hambatan yang dihadapi oleh para ibu dan para calon ibu saat mereka bersaing untuk mendapatkan tempat yang didambakan dalam daftar Olimpiade.
Pemain basket veteran Kanada Kim Boucher baru-baru ini membuat permohonan melalui media sosial agar diizinkan membawa putrinya yang berusia tiga bulan (yang masih menyusui) ke Tokyo. Jawaban awal panitia penyelenggara adalah tidak, mengingat pembatasan pandemi. Ketika tekanan media internasional meningkat, sikap komite berubah.
Baca juga: Perempuan Indonesia Catat Sejarah, Emas buat Apriyani-Greysia
Dalam sebuah pernyataan kepada CBC, panitia mengatakan, “Kami memahami bahwa tidak ada anak-anak yang tinggal di Desa Olimpiade (pusat penginapan para atlet) selama Olimpiade sebelumnya. Namun demikian, mungkin ada keadaan khusus, terutama yang berkaitan dengan anak-anak bayi.”
Dengan keputusan itu, Boucher dan putrinya akan menghadiri Olimpiade bersama-sama.
Pertarungan menuju Kualifikasi
Pada 2018, impian petinju Olimpiade Kanada Mandy Bujold untuk memulai sebuah keluarga menjadi kenyataan ketika putrinya lahir.
Mengetahui dia ingin bersaing di Olimpiade lainnya, Bujold mengarahkan pandangannya ke Tokyo 2020. Rencananya hampir tertunda ketika gugus tugas tinju Komite Olimpiade Internasional mengumumkan, kriteria kualifikasi untuk Olimpiade Tokyo akan didasarkan pada peringkat di tiga turnamen, yang Bujold tidak berkompetisi karena kehamilannya.
Bujold melawan, membawa kasusnya ke Pengadilan Arbitrase Olahraga, yang memutuskan pada 30 Juni, akomodasi atau penyesuaian harus dibuat untuk perempuan yang sedang hamil atau setelah melahirkan selama periode kualifikasi.
Baca juga: Prestasi Pesenam Simone Biles dan Sisi Gelap Kehidupan Atlet Perempuan
Para Ibu Menciptakan Gelombang
Setelah hampir dua dekade karier yang berhasil meraih enam medali emas Olimpiade selama empat Olimpiade dan kemenangan kejuaraan dunia yang tak terhitung jumlahnya, sprinter Amerika Allyson Felix bisa saja pensiun dengan warisan yang tak tertandingi di trek dan lapangan ketika dia hamil pada 2019.
Namun, dia tidak melakukannya. Sebaliknya, pemegang banyak medali emas Olimpiade ini kembali ke Tokyo untuk Olimpiade kelimanya — dan yang pertama sebagai seorang ibu.
Baca juga: Perjuangan Naomi Osaka yang Layak Dijadikan Panutan Perempuan
Setelah putus dengan sponsor lama Nike, advokasi vokal Felix telah memaksa perusahaan besar untuk mempertimbangkan kembali bagaimana mereka mendukung atlet perempuan sebelum dan sesudah kehamilan.
Tak lama setelah menghadapi reaksi publik terkait perlakuannya terhadap atlet hamil seperti Felix, Nike mengumumkan kebijakan bersalin baru untuk atlet yang disponsori pada Agustus 2019. Kebijakan baru tersebut memperpanjang jumlah waktu gaji dan bonus atlet hamil tidak dapat dipotong, dari 12 menjadi 18 bulan.
Ibu lain yang membuat gebrakan dalam olahraga papan atas adalah Helen Glover, yang menjadi ibu pertama dimasukkan ke dalam tim dayung Olimpiade Inggris bulan lalu.
Yang luar biasa dari kisah Glover bukan hanya dukungan yang baru sekarang tersedia untuknya, tapi juga butuh waktu lama bagi salah satu tim nasional paling produktif dan cabang olahraga yang mendapat dana terbesar untuk mencapai tonggak sejarah ini.
Risetnya Cukup Jelas
Sementara partisipasi dalam olahraga elit biasanya menurun pada atlet hamil, atlet perempuan mendorong perlawanan terhadap narasi masyarakat bahwa mereka seharusnya “santai” selama dan setelah kehamilan dengan memecahkan stereotip dan terus bersaing.
Karena partisipasi perempuan dalam olahraga elit telah tumbuh selama kehamilan dan periode pascapersalinan, demikian juga pemahaman kita tentang dampak kesehatan dari partisipasi olahraga elit selama ini. Penelitian ekstensif telah menunjukkan keamanan dan manfaat melakukan aktivitas fisik selama kehamilan untuk ibu dan anak.
Penelitian cukup jelas: dari pengurangan komplikasi kehamilan besar dari diabetes gestasional hingga pre-eklampsia, hingga peningkatan kesehatan mental dan hasil persalinan. Saran terbaik untuk sebagian besar individu hamil adalah agar berolahraga secara teratur.
Penelitian kami tentang dampak partisipasi olahraga elit selama dan setelah kehamilan pada hasil kesehatan dan kembali ke olahraga baru-baru ini dipublikasikan. Data ini memberikan bukti yang meyakinkan tentang keamanan partisipasi olahraga elit selama kehamilan: atlet papan atas yang menjalani kehamilan, persalinan, dan kelahiran memiliki kebugaran serupa dengan atlet papan tengah dan olahragawan, dan ada beberapa bukti pengurangan penyakit kehamilan umum, seperti nyeri punggung bawah, karena olahraga.
Sekarang kehamilan tidak lagi menandai akhir karier seorang atlet, banyak atlet elit tidak hanya kembali ke olahraga, tapi terus memecahkan rekor pribadi dan dunia sebagai ibu baru. Karena semakin banyak atlet perempuan berlatih dan bersaing di tingkat elit selama tahun-tahun reproduksi, kebijakan olahraga penting dikembangkan untuk mendukung kesehatan dan kesejahteraan semua atlet.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.