‘Herstory’: Mengangkat Pahlawan-pahlawan Perempuan di Tepi Sejarah
Magdalene menerbitkan buku 'Herstory' yang mengangkat 100 tokoh perempuan yang berkontribusi pada sejarah Indonesia.
Di Hari Pahlawan ini bisakah kamu sebutkan 10 nama pahlawan nasional perempuan selain Kartini, Cut Nyak Dhien, dan Dewi Sartika? Kemungkinan besar kamu akan berakhir dengan garis-garis kerutan yang lebih dalam di dahi. Atau jika mentok, kemudahan teknologi bisa membantumu dengan mesin pencari, supaya lebih mudah mendapat jawabannya.
Sampai 2020 ini, ada 191 orang telah diangkat sebagai pahlawan nasional Indonesia, namun hanya 15 di antaranya yang perempuan atau 7,8 persen. Sejarawan Andi Achdian mengatakan, tidak mengherankan jika generasi sekarang tidak hafal nama-nama pahlawan perempuan di Indonesia, karena kalah bersaing dengan 176 nama pahlawan laki-laki.
“Gelar pahlawan itu dibuat sebagai simbol untuk membangun kebesaran kebangsaan oleh Presiden Soekarno pada 1958. Tapi baru enam tahun kemudian pahlawan perempuan masuk dalam daftar, dan itu pun baru tiga–Cut Nyak Dhien, Cut Meutia, dan Kartini,” ujar Andi dalam webinar Pahlawan Perempuan di Tepi Sejarah yang diadakan Magdalene dengan Elex Media Komputindo pada Kamis (5/11).
Menurut Andi, yang juga pengajar program studi Sosiologi di Universitas Nasional, kepenulisan sejarah yang maskulin menciptakan sistem penentuan kepahlawanan yang birokratis dan sering kali hanya berpaku pada perannya dalam ranah peperangan, pemberontakan, atau tokoh-tokoh politik yang tidak takut melakukan lobi-lobi politik pada penguasa. Sedangkan perempuan yang turut mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan kemerdekaan justru tidak dilihat sebagai perjuangan yang heroik, ujarnya.
Baca juga: Mengenang Laskar Perempuan Pejuang Kemerdekaan
Ita Fatia Nadia, peneliti dan penulis sejarah perempuan, menyebut historiografi Indonesia sebagai penulisan sejarah yang androsentris, artinya dibangun berdasarkan memori-memori maskulin di mana laki-laki dijadikan sebagai simbol nasionalisme.
“Jadi pahlawan nasional itu identik dengan otot dan kekerasan. Akibatnya dalam berbagai periode kepenulisan sejarah, gerakan perempuan banyak yang dihancurkan dan menyebabkan nama-nama pahlawan perempuan itu terhapus begitu saja,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa penghilangan jejak perempuan dalam historiografi Indonesia tidak bisa lepas dari ideologi yang memandang gender di setiap periodenya. Pada masa kolonial, ada istilah imperialis maskulin di mana perempuan tidak mendapatkan suara dalam posisinya, padahal di tahun 1920-an sudah ada organisasi-organisasi perempuan progresif yang melawan poligami, memperjuangkan buruh, pendidikan dan politik sudah gencar.
Pada masa kemerdekaan barulah muncul istilah maskulin nasionalis, lalu kemudian diperparah pada masa Orde Baru, yang menghancurkan gerakan perempuan lewat Gerwani dengan menggunakan narasi seksualitas menyusul gerakan 30 September 1965. Selama periode itu pula perempuan-perempuan progresif berhaluan kiri dilenyapkan dalam narasi sejarah, yang berakibat pada kekosongan tokoh pahlawan perempuan selama 20 tahun, kata Ita.
“Saat masa kolonial, perempuan jarang dibahas dalam sejarah, saat sudah merdeka, Orde Baru menggiring pergerakan perempuan itu kembali ke ranah domestik. Jadinya historiografi yang hidup di dalam memori generasi sekarang itu hanya sebatas di situ-situ saja,” ujar Ita.
Penghancuran gerakan perempuan yang kembali dihadirkan
Sedikitnya jumlah perempuan pahlawan nasional, dan penghancuran gerakan perempuan di masa Orde Baru, menggambarkan bagaimana problematiknya penulisan sejarah kepahlawanan yang menepikan perempuan. Angka sekecil itu masih jauh dalam mencatat peran perempuan yang sesungguhnya dalam sejarah bangsa ini.
Latar belakang itu pula yang akhirnya mendorong Magdalene membuat buku ketiganya bertajuk Herstory: Perempuan Nusantara Di Tepi Sejarah yang mengangkat 100 tokoh perempuan berpengaruh sejak masa kerajaan Nusantara sampai dengan periode sekarang. Herstory ingin merebut kembali narasi-narasi sejarah perempuan yang dihilangkan.
Dalam buku ini, tokoh-tokoh perempuan tidak hanya dilihat dari peran dan dedikasinya dari segi narasi besar seperti politik dan pergerakan saja. Lebih dari itu, Herstory mengangkat sosok-sosok perempuan lintas bidang, mulai dari sejarah; perempuan revolusioner; pergerakan politik dan pemerintahan; akademisi dan ilmuwan; olahraga; budaya; reformis sosial sampai dengan dunia bisnis dan profesional.
Hera Diani, Redaktur Pelaksana dan salah satu pendiri Magdalene, mengatakan, buku ini adalah langkah awal untuk menarik pembaca awam agar mengetahui geliat perempuan dalam sejarah Indonesia yang. Buku ini diharapkan bisa membuka mata banyak pihak bahwa perempuan punya kontribusi besar dalam sejarah Indonesia, ujarnya.
“Masih banyak sekali perempuan-perempuan hebat di Indonesia yang namanya tidak dikenal atau bahkan dihapus oleh sejarah. Sampai sekarang masih terjadi peminggiran perempuan di bidang politik, pendidikan, sastra, sampai sains,” ujar Hera dalam acara yang sama.
Baca juga: Mulan, Saya, dan Patriarki yang Sosiopat
Sosok-sosok yang selama ini jarang dibicarakan akan kita temui dalam buku ini, seperti Evie Pottieray misalnya. Ia adalah perempuan revolusioner asal Indonesia yang pergi ke Belanda untuk menimba ilmu, dan giat melawan Nazi serta mendorong kemerdekaan Indonesia dari negeri Belanda. Dari segi pergerakan, ada nama Umi Sardjono yang dulunya adalah Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Gerwani, yang mungkin tidak akan pernah ada dalam kurikulum buku sejarah anak sekolah.
Di sektor budaya, ada sastrawan Siti Rukiah Kertapati, yang berotak brilian dengan karyanya yang kritis dan progresif layaknya karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Namun karena ia yang tergabung dalam organisasi yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), yakni Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), seluruh karyanya dilarang oleh rezim Orde Baru dan namanya tidak dikenal sebagai legenda sastra Indonesia.
Masih banyak lagi tokoh-tokoh lain yang akan meningkatkan rasa penasaran selama membaca. Dimasukkannya tokoh-tokoh perempuan hebat saat ini seperti Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, dan Maria Farida Indarti; dan perempuan-perempuan pejuang alam, yakni Sukinah Kartini Kendeng dan Aleta Baun; serta cendekiawan Islam Musdah Mulia, juga menjadi bukti lain penolakan perempuan untuk kembali tenggelam dalam sejarah di masa mendatang.
Buku Herstory: Perempuan Nusantara di Tepi Sejarah sudah dapat dipesan di tautan ini.
Ilustrasi oleh Karina Tungari.