Issues Opini Politics & Society

Mendadak Pulang, Balada Buruh Migran Perempuan Terjebak Stigma dan Beban Ganda

Apa yang terjadi setelah buruh migran perempuan pulang? Riset terbaru menemukan, mereka menghadapi stigma dan harus berburu pemasukan darurat di tengah beban ganda.

Avatar
  • December 1, 2023
  • 7 min read
  • 900 Views
Mendadak Pulang, Balada Buruh Migran Perempuan Terjebak Stigma dan Beban Ganda

Puluhan ribu Pekerja Migran Indonesia (PMI) kehilangan mata pencaharian di berbagai negara penempatan. Ini terjadi buntut pandemi COVID-19 yang juga memengaruhi sektor perekonomian. Alhasil, mereka terpaksa kehilangan pekerjaan dan kembali ke negara asal.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, pada semester pertama tahun 2020 saja, tercatat 32.401 PMI telah pulang ke Indonesia, 70,4 persen dari angka tersebut adalah perempuan.

 

 

Di negara penempatan, problematika yang dialami PMI selama pandemi COVID-19 antara lain adalah pemutusan hubungan kerja, keterlambatan pembayaran gaji, gaji lebih rendah dari kesepakatan kontrak, pembayaran gaji yang ditangguhkan, terpapar COVID-19 dari majikan, dan ketiadaan asuransi kesehatan.

Selain itu, mereka juga dihadapkan pada masalah imigrasi seperti berakhirnya masa berlaku visa dan izin kerja. Kondisi tersebut masih diperburuk dengan pembatasan perjalanan, kendala bahasa, dan ketidakpastian yang timbul akibat krisis. Ini bisa menyeret status mereka yang awalnya legal menjadi ilegal karena dokumen yang kadaluawarsa.

Kami melakukan kajian pustaka dan wawancara mendalam dengan lima pekerja migran perempuan asal Banyuwangi, Jawa Timur, untuk memahami kondisi para PMI perempuan ini sepulangnya mereka ke Indonesia. Kami memilih Banyuwangi sebagai lokasi studi karena–di antaranya–status Jawa Timur sebagai penyumbang pekerja migran perempuan terbesar dan karena banyaknya pekerja perempuan di Banyuwangi berasal dari area rural dengan kerentanan ekonomi yang tinggi yang kemudian menjadi PMI secara ilegal.

Riset kami menemukan, para pekerja migran yang terpaksa pulang ini tak hanya menghadapi stigma dari masyarakat. Mereka juga harus berburu pemasukan darurat di tengah kesibukan mereka mengurus rumah tangga.

Baca juga: Jatuh Bangun Buruh Migran Kirim Remitansi: ‘Kami Cuma Dianggap Barang Jualan’

Perubahan Pandangan Masyarakat

Berbagai problematika yang dialami para PMI di negara tempat mereka bekerja membuat mereka tak memiliki banyak pilihan. Dalam kondisi sulit tersebut, mereka memandang repatriasi atau pulang kampung menjadi solusi yang paling masuk akal. Namun sayangnya, situasi COVID-19 mengakibatkan perubahan pandangan masyarakat pada pekerja migran.

Sebelum pandemi, mereka mempunyai kedudukan sosial yang tinggi dan kebanggaan terhadap komunitasnya karena dianggap sebagai penyelamat ekonomi keluarga. Namun pada masa pandemi, sebagian masyarakat bahkan keluarga sendiri menganggap mereka sebagai pembawa transmisi virus COVID-19 dari luar negeri.

Dalam beberapa kasus, masyarakat merespons secara berlebihan, panik, bahkan menunjukkan perlakuan diskriminatif dan stigma negatif terhadap kepulangan PMI. Misalnya, mereka tidak mengizinkan PMI kembali ke rumahnya atau memasuki kampung mereka, dan yang melanggar akan dikenakan sanksi berat.

Setelah berhasil pulang dan bertemu dengan keluarganya, bukan berarti masalah PMI perempuan yang pulang telah usai. Justru ini adalah awal dari beberapa permasalahan lanjutan yang harus mereka hadapi, antara lain perihal ketiadaan pemasukan dan beban dalam rumah tangga.

Baca Juga: Perlindungan Untuk PRT Migran yang Tidak Maksimal

Berburu Pemasukan Darurat

Menurut informasi yang didapatkan dari wawancara kami, sebelum bekerja sebagai buruh migran, sebagian besar pekerja perempuan ini adalah ibu rumah tangga yang bergantung pada upah harian suami mereka atau sebagai buruh musiman di bidang pertanian dengan upah harian Rp25.000 (US$1,7).

Berdasarkan data BNP2TKI pada 2019, lebih dari 80 persen perempuan PMI bekerja di sektor informal, seperti menjadi pekerja rumah tangga, babysitter, pengasuh lansia, pekerja perkebunan, dan petugas kebersihan, yang sebagian besar memerlukan keterampilan serupa pekerjaan rumah tangga di rumah sebelum bermigrasi. Namun, penghasilan mereka bisa mencapai enam kali lipat dari pemasukan mereka di dalam negeri.

Sebelum pandemi, uang kiriman remitan berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan dan mendorong kepemilikan tabungan. Namun, pasca-repatriasi mendadak, tabungan tersebut hanya bertahan beberapa bulan saja.

Karena itu, PMI perempuan dipaksa untuk beradaptasi dengan cepat terhadap situasi. Sebagian dapat kembali bekerja dengan akumulasi pengalaman dan modal selama berada di luar negeri.

Sayangnya, berpindah profesi ini bukan hal mudah karena usia mereka yang lebih tua, status perkawinan, dan latar belakang pendidikan yang rendah. Pilihan mereka terbatas pada aktivitas yang tak memiliki keterampilan khusus.

Wawancara kami mengungkapkan dalam situasi ini, mereka berupaya mendapatkan pemasukan darurat melalui dua jalur alternatif yaitu secara individual dan kolektif.

Secara individu, banyak dari mereka yang memilih kembali ke lahan pertanian. Berdasarkan wawancara kami, sebagian dari mereka juga kembali ke pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan tinggi seperti pengemudi ojek online.

Sedangkan secara kolektif, mereka terlibat dalam kegiatan UMKM mulai dari menjahit hingga membuat kerajinan asli Banyuwangi. Pada masa pandemi, aktivitas UMKM dapat bertahan dan bahkan berkembang karena terhubung dengan platform digital untuk belanja daring.

Selain melalui aktivitas di atas, mereka juga memiliki potensi untuk mengembangkan usaha dengan memanfaatkan jaringan yang mereka kembangkan selama bekerja di luar negeri. Dengan kata lain, tabungan yang didapat selama bekerja di luar negeri dapat menjadi modal untuk berwirausaha dalam situasi krisis.

Baca Juga: Perawat Migran Indonesia di Jepang: Gaji Tinggi, Tetapi Apakah Bahagia?

Beban Ganda dalam Rumah Tangga

Saat masih menjadi pencari nafkah utama bagi keluarga, para perempuan pekerja migran ini tak lagi mengalami subordinasi dan memiliki suara yang kuat dalam membuat keputusan pengelolaan rumah tangga.

Namun, sekembalinya mereka dari luar negeri, tanggung jawab urusan rumah tangga seperti mengurus anak, melayani suami, dan memasak dikembalikan kepada mereka. Sementara itu, mereka juga harus berburu pemasukan darurat karena keluarga mereka telah lama bergantung pada kiriman uang remitansi.

Memiliki peran ganda sebagai ibu dan pekerja secara bersamaan merupakan tantangan besar selama masa pandemi COVID-19. Pada periode ini, perempuan dituntut––menurut norma tradisional masyarakat––untuk cerdas dalam mengelola perekonomian dan menjalani gaya hidup keluarga yang sehat untuk memberikan yang terbaik bagi keluarganya.

Pembagian tugas berbasis gender ini tetap berlaku meskipun perempuan telah mencari nafkah untuk keluarga. Kondisi ini masih sejalan dengan penelitian satu dekade lalu yang menekankan bahwa perempuan yang mendapat shift pertama di tempat kerja akan melanjutkan “shift kedua” di rumah.

Dengan adanya shift pertama dan kedua, perempuan mempunyai porsi tanggung jawab rumah tangga yang paling banyak. Akibatnya mereka berisiko mengalami masalah kesehatan psikologis dan mental. Besarnya peran dan tanggung jawab tersebut juga dapat memicu munculnya kekerasan dalam rumah tangga.

Baca Juga: Derita Anak Buruh Migran: Ditinggalkan Orang Tua, Jadi Korban Kekerasan

Pembelajaran untuk Masa Depan

Standardisasi peran gender ini berakar pada kuatnya budaya patriarki yang masih dianut oleh sebagian besar masyarakat. Dalam konstruksi tradisional, mereka masih diidentikkan dengan peran sebagai istri dan ibu. Di sisi lain, mereka juga berusaha mengidentifikasikan diri mereka dengan konstruksi egaliter karena mereka juga bisa menghasilkan nafkah.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa para PMI perempuan yang pulang akibat COVID-19 merupakan perempuan transisi yang memiliki ideologi tradisional dan egaliter. Namun, hal ini tidak menyurutkan upaya mereka dalam memenuhi kebutuhan keluarga meskipun pendapatan mereka jauh lebih rendah dibandingkan saat mereka bekerja sebagai PMI.

Rasa takut terpapar COVID-19 tidak ada apa-apanya dibandingkan rasa takut tidak mampu menafkahi keluarga. Mereka tetap bekerja sesuai kemampuannya untuk menunjang penghidupan keluarga. Oleh karena itu, pengalaman pahit akibat pandemi COVID-19 ini harus dijadikan pembelajaran untuk masa depan yang lebih baik.

Penelitian kami menunjukkan, meski banyak tantangan seperti rendahnya tingkat literasi digital, namun para perempuan ini masih bisa mengambil langkah untuk memasuki digitalisasi ekonomi. Hal ini juga dilakukan untuk membantu pelaku usaha lokal dalam memanfaatkan peluang dari perubahan perilaku konsumen yang mengarah ke belanja daring selama pandemi.

Keterlibatan mereka dalam UMKM atau wirausaha harus dikembangkan dan didukung para pemangku kepentingan. Dalam hal ini pemerintah wajib untuk memberikan program pemberdayaan sebagai upaya reintegrasi mereka pascakepulangan. Jika dapat dioptimalkan, mereka tidak perlu kembali bekerja sebagai PMI pascapandemi.

Selain itu, upaya peningkatan pemahaman perempuan mengenai persamaan hak dan hubungan dalam rumah tangga harus terus dilanjutkan. Sudah saatnya sistem “kerja sama” dalam mencari nafkah maupun mengurus rumah tangga dibudayakan dalam setiap keluarga dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan.

Theresia Octastefani, Dosen Politics and Government, Universitas Gadjah Mada dan Bayu Mitra A. Kusuma, Dosen Public Policy, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Theresia Octastefani dan Bayu Mitra A. Kusuma

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *