Culture Prose & Poem

Doa yang Terjawab oleh Corona

Doa seorang istri agar terbebas dari suami yang suka menyiksanya terkabul karena pandemi virus corona: sebuah cerita pendek.

Avatar
  • September 8, 2020
  • 6 min read
  • 880 Views
Doa yang Terjawab oleh Corona

Mungkin aku akan dihujat, namun pandemi wabah virus ini seakan jawaban atas doa-doaku selama ini.

Sebelum wabah, hidupku sudah payah. Awalnya, aku menikah dengan seorang lelaki yang awalnya tampak alim, baik, sopan, dan lembut. Sangat tipikal, bukan? Kamu pasti sudah sering mendengar cerita-cerita semacam ini. Seorang istri yang mengira mendapatkan suami idaman, sebelum akhirnya lebih banyak menerima tamparan.

 

 

KDRT. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Begitulah istilah populernya. Banyak yang hanya bisa memandangku dengan tatapan kasihan, lebih banyak juga yang mencela. Itu yang biasa terjadi bila aku berani bercerita. Komentar mereka sudah bisa kutebak, karena sudah terlalu sering mendengarnya.

“Aduh, kasihan. Sabar, ya. Semoga suamimu segera berubah. Sabarmu akan berbuah surga.”

“Kamu enggak mencoba melawan?”

“Kamu enggak minta cerai? Ngapain pernikahan itu terus kamu pertahankan, kalau lagi-lagi kamu yang jadi korban?”

“Kamu suka melawan suami, ya? Suami enggak mungkin kayak begitu kalo istrinya menurut.”

“Sabar ya, Bu. Kalau saran kami, Ibu lebih baik coba berdamai lagi sama suami. Mungkin Bapak akan lebih tenang dan lembut kalau Ibu lebih mau menuruti Bapak.”

Ha-ha. Komentar yang itu-itu saja. Aku lelah. Sangat muak. Murka pun datang dan pergi, silih berganti dengan pasrah di hati. Berulang kali aku berdoa kepada Tuhan, meminta untuk segera dibebaskan dari derita ini. Tidak hanya secara fisik, suami juga kerap melukai batinku dengan kata-kata yang kasar. Berbagai alasan dipakainya untuk membenarkan semua perbuatannya padaku.

Baca juga: Lemari dan Pelakor

Masakanku yang menurutnya kurang enak dan membosankan. (Padahal, dia juga paling pelit soal uang belanja, meski juga melarangku bekerja di luar rumah). Rumah yang tidak pernah benar-benar rapi. (Dialah yang paling banyak hobi membuang sampah sembarangan, tapi tetap aku yang harus memungut semuanya.) Dia tidak pernah sedikit pun membantu, hanya ongkang-ongkang kaki. Aku yang pemalas dan hanya menjadikan kehamilanku sebagai alasan untuk lebih banyak beristirahat.

Saat aku akhirnya menuruti kemauannya, aku kelelahan hingga keguguran. Kembali aku disalahkan lagi olehnya. Tidak bisa menjaga diri. Gagal merawat diri. Malas dandan. Suka melawan, meski aku hanya ingin mendebat dan mengutarakan pendapatku. Bukankah pernikahan seharusnya lebih adil dari semua yang dilakukannya padaku? Bukankah istri seharusnya punya suara, seperti halnya lelaki sebagai manusia?

Pernah aku mencoba bunuh diri. Gagal. Dia menemukanku dan melarikanku ke UGD. Aku selamat. Aktingnya di depan para dokter dan suster begitu memukau, sehingga mereka semua percaya dia suami yang penyayang. Bah, air mata buaya sang psikopat. Akulah istri yang depresi. Tidak tahu terima kasih.

Sejak itu, aku pulang dan tidak boleh keluar rumah lagi. Ya, bahkan sebelum pandemi sialan ini mengharuskan semua orang lebih banyak tinggal di rumah untuk mencegah penularan. Hah, aku lebih sudi mati kena corona ketimbang hidup sehari lagi dalam penjara atau neraka buatannya.

Baca juga: Mammi Melarangku Menikah

Dulu, aku masih bisa sedikit bebas saat dia pergi bekerja. Aku bisa ke pasar, ke perpustakaan, hingga ketemu keluargaku sendiri. Pokoknya, menghirup udara kebebasan untuk diriku sendiri. Aku baru pulang saat dia ribut mencari. Tak peduli tamparan dan makian yang akan kudapat saat pulang lagi, yang penting aku masih punya waktu sendiri.

Kini, aku makin terpenjara di rumah sendiri. Dia sudah tidak keluar rumah lagi. Semua pekerjaannya bisa dilakukan secara online. Aku wajib melayaninya 24 jam sehari, tanpa henti. Tak peduli aku lelah setengah mati.

Tak peduli, aku lebih sangat ingin mati daripada menderita begini.

Sejak keguguranku waktu itu, aku belum hamil lagi. Kalau dipikir-pikir, baguslah kami tidak sampai punya anak. Aku tak tega mewariskan kekerasan yang sama pada jiwa murni tak berdosa.

Tuhan, mengapa Kau begini tega?

***

Ternyata, tanpa kusangka, doa-doaku selama ini terbalas dengan sendirinya.

Dia marah-marah, seperti biasa. Kali ini, entah apa alasannya. Aku tak peduli lagi. Lalu, aku sudah siap dengan tamparan dan makian berikutnya.

“Dasar istri enggak berguna! Pantas saja kamu keguguran. Kalo punya anak, pasti kamue nggak bakalan becus mengurusnya!”

Entah kenapa, saat dia hendak menyakitiku lagi, tanpa sengaja dia tersandung kakiku di dekat kakinya. Lelaki berbadan besar itu jatuh tertelungkup di lantai, tepat di sampingku. Saat itu, aku melihat seutas kabel kipas angin yang tidak dipakai di sampingnya. Tanpa pikir panjang lagi, kuraih kabel itu dan langsung kulilitkan di sekeliling lehernya. Kutarik kuat-kuat sebelum dia sadar apa yang terjadi.

“Istri…durhaka….masuk…neraka…”. Oh, aku sudah lama di neraka, sayang.

Entah kekuatan mana yang tiba-tiba ada dalam tubuhku. Suamiku, yang berbadan dua kali lipat besarnya badanku, berusaha menarik kabel yang terlanjur melilit erat di sekeliling lehernya. Aku sudah menduduki punggungnya dan terus menarik kabel sekuat tenaga, seperti penunggang kuda yang ingin mengerem mendadak.

Telingaku terasa berdengung-dengung. Pandanganku mengabur. Kudengar suaranya yang tercekik, lebih parah daripada kucing yang hendak memuntahkan bulu. Rasanya seperti berabad-abad, karena aku sempat mendengar ucapan paraunya yang terputus-putus.

“Istri…durhaka….masuk…neraka…”

Oh, aku sudah lama di neraka, sayang, pikirku dengan perasaan dingin. Suaranya yang tercekat masih kudengar beberapa saat lagi, sebelum akhirnya…

…sunyi. Dia berhenti meronta-ronta. Kepalanya terkulai di lantai. Butuh beberapa detik lagi untuk tanganku yang gemetaran sebelum kulepaskan kabel itu. Kucek denyut nadinya.

Sudah tidak ada.

Aku berdiri dan terengah-engah. Kupandangi sekelilingku. Malam sudah beranjak. Sepi, karena kami tinggal di rumah yang cukup terpencil dari tetangga-tetangga lainnya.

Apa yang harus kulakukan?

***

Jam menunjukkan hampir tengah malam. Aku sudah mandi dan berganti pakaian. Pakaianku sebelumnya ternoda tanah dan masuk keranjang cucian. Aku terlalu lelah. Besok saja lah.

Sekopku juga sudah harus dicuci. Semoga aku tidak lupa.

Kutatap halaman belakang yang kini terlihat agak berbeda. Di tengahnya ada gundukan tanah yang masih baru. Aku juga harus meratakannya besok pagi. Bahaya bila tiba-tiba ada yang mau berkunjung kemari.

Baca juga: Suamiku Menjadi Serigala Ketika Malam Tiba

Apa yang harus kukatakan bila mereka mencari suamiku? Ah, aku bisa meniru tulisan dan tanda tangannya. Aku bisa membuatnya seakan-akan dia memutuskan untuk meninggalkanku begitu saja. Kurasa tidak akan banyak yang peduli untuk mencarinya. Istri ditinggal suami? Ah, cerita biasa. Paling mereka lagi-lagi hanya akan menyuruhku bersabar, karena sabar (katanya) berbuah surga.

Paling juga ada yang akan menyalahkanku sebagai penyebab suami tidak betah. Makanya, dia lebih memilih hengkang dengan perempuan lain. Mungkin juga dia sudah kawin lagi dengan yang lebih muda. Aku ditinggal begitu saja. Bukan cerita istimewa. Pasti sudah sangat banyak yang mengalaminya.

Kurasa, ada untungnya juga seluruh dunia cenderung menganggap perempuan selalu lebih lemah. Tidak ada yang akan curiga. Mana mungkin aku, yang sering jadi sasaran kemarahan suamiku – baik secara fisik maupun mental – mampu membalas dendam dan membunuh? Tidak mungkin, kan? Yang ada, malah aku yang bisa mati di tangannya.

Mungkin bukan Tuhan yang menjawab doaku. Mungkin Setan. Entahlah. Aku sudah lama berhenti berharap, karena jawaban sesama manusia lebih banyak yang itu-itu saja. Sama. Untuk apa melapor, bila tidak akan ada yang percaya? Untuk apa, bila lagi-lagi akulah yang selalu dianggap bersalah?

Mungkin Tuhan hanya ingin menyadarkan bahwa aku harus bangkit dan mengatasi masalah ini sendiri. Tidak ada yang benar-benar peduli.



#waveforequality


Avatar
About Author

Ruby Astari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *